SUMEDANG, KOMPAS.com - Ipul Saepulloh, pemuda asal Sumedang, Jawa Barat, tetap setia menjaga semangat literasi di tengah dominasi teknologi digital.
Lahir pada 25 Februari 1992, Ipul menjalani rutinitas yang sederhana namun bermakna.
Setiap pagi, ia menata rak buku, siang hari bekerja sebagai freelancer desain grafis, sore menulis naskah, dan malam merancang program literasi.
"Saya ingin taman bacaan ini jadi ruang yang selalu bernyawa,” ungkap Ipul kepada Kompas.com, belum lama ini.
Baca juga: Gaji di Bawah UMK dan Status Tak Jelas, Kisah Jerat Klasik Profesi Pustakawan
Kecintaannya terhadap literasi juga terlihat dari karya-karyanya.
Dua bukunya, Kata Benda dan Arunika Terakhir, menjadi bukti bahwa ia tidak hanya menjaga buku, tetapi juga melahirkan karya baru.
Ipul bahkan merintis penerbitan kecil untuk memperluas akses literasi.
Salah satu momen yang paling berkesan bagi Ipul terjadi saat kegiatan lapak baca gratis di Car Free Day Sumedang.
Seorang gadis yang meminjam buku bertema hijab kembali dengan penampilan berbeda seminggu kemudian.
"Dia bilang, dari buku itu ia belajar berhijab,” kenangnya.
Bagi Ipul, kisah ini menunjukkan bahwa buku dapat mengubah cara seseorang menjalani hidup.
Baca juga: Maya, Pustakawan Unej yang Rajin Buat Resensi untuk Tingkatkan Literasi Publik
Ipul mengakui, menjadi pustakawan komunitas bukan hal mudah. Tak ada gaji tetap ataupun tunjangan.
Melalui program Sapedah Baca, ia berkeliling dengan sepeda, membawa buku ke ruang-ruang publik agar masyarakat dapat membaca tanpa harus menunggu perpustakaan.
“Pustakawan itu bukan penjaga buku. Kami adalah fasilitator pengetahuan,” tegasnya.
Kerja keras Ipul tidak luput dari perhatian.