Kini, pelukis asing tak lagi hadir di tengah masyarakat.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
HERYUNANTO
Jean Couteau, Penulis Udar Rasa
Kini, di Bali, tidaklah semudah itu mendapatkan kesempatan berbincang secara santai nan dalam dengan sesama orang asing yang lancar berbahasa Indonesia. Tak sedikit di antara para bule, jika pun bisa berbahasa Indonesia, merasa cukup hanya menggunakan ragam bahasa yang sering disebut ”Melayu” itu. Diimbuhi diksi ”kamu” ini atau ”kamu” itu di setiap jeda—cocok untuk menyampaikan perintah, tetapi terasa agak terlalu tempo doeloe.
Memang! Menariknya, mereka tak sadar betapa dekatnya gaya itu dengan bahasa para menheer zaman kolonial. Dan yang lebih gawat lagi: hal ini kerap dianggap ”normal” oleh lawan bicara Indonesia—tanpa koreksi, tanpa teguran.
Agaknya saya harus hati-hati. Jangan-jangan meleset jadi ”rasis”—apalagi terhadap sesama bule.
Untungnya, masih ada kelompok kecil orang bule yang bisa diajak ngobrol leluasa dalam bahasa Indonesia. Mereka ini justru lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris.
”Bule” jenis ini—maaf ya, tanpa embel-embel ”orang”—ya, bule seperti inilah yang biasanya punya pandangan lebih jeli dan bernuansa kritis soal situasi negeri ini, dibanding para expert instan luar negeri yang sibuk berkoar tentang indeks ini-itu di media sosial atau ruang diskusi ”pinternasional”.
Oleh karena itu, saya selalu senang ketika sesekali bisa bertemu si ”Richard”—bule kategori pinter-terbuka yang berprofesi sebagai pelukis itu. Kami secara spontan menjadikan bahasa Indonesia sebagai lingua franca antara kami berdua: dia, orang Swedia pedalaman; saya, orang Perancis dari Brittany.
Tiba-tiba, di tengah percakapan, sambil mencari topik, dia nyeletuk:
”Tahu, Pak Jean, saya ini salah satu seniman asing terakhir yang masih mengangkat Bali sebagai tema lukisan saya. Ini pertanda apa, ya?”
WOOOAH.
Richard, seperti yang ia jelaskan sendiri, sebenarnya tak sekadar ”bercerita” secara visual tentang Bali yang eksotis, melainkan menjadikan Bali sebagai panggung untuk membicarakan ”tubuh” dan alam.
Topik yang diangkatnya memang menggelitik. Dan, nyatanya berkembang. Richard menyalahkan zaman. Katanya, ”Orang asing tak lagi datang ke Indonesia untuk mempelajari atau mengenal kebudayaan ’yang lain’ nan menarik itu, seperti pada era pascakolonial yang idealis-universalis itu—katakanlah sampai tahun 1980-an. Kini mereka datang sebagai bagian dari lifestyle.”
”Belajar budaya tak lagi relevan. Toh semuanya sudah tersedia di Youtube. Jadi, buat apa mempelajarinya?”
Saya bengong. Itu salah satu pernyataan paling logis yang pernah saya dengar—dan paling menyedihkan.
Pernyataan Richard ini tak keliru. Kini, turis datang bukan untuk memahami kebudayaan Bali atau Indonesia, melainkan untuk mengonsumsi perbedaan eksotis. Caranya? Berfoto Instagram di depan tempat atau peristiwa ikonik. Ingin gaya. Tak lebih dari itu.
Kini, pelukis asing tak lagi hadir di tengah masyarakat. Seniman Bali/Indonesia pun jarang lagi bertemu dengan mereka di warung, atau saling kunjung ke studio untuk berbagi inspirasi.
Para pelukis zaman kini mencerminkan sikap itu. Pada masa lalu—terutama era Walter Spies, nyaris seabad lalu—terdapat semacam persaudaraan visual antara seniman lokal dan asing. Mereka saling belajar di tengah perbedaan. Jarak kultural-politik mulai lebur dalam persaudaraan kuas dan warna. Saling kagum pada capaian kreatif masing-masing.
Kini, pelukis asing tak lagi hadir di tengah masyarakat. Seniman Bali/Indonesia pun jarang lagi bertemu dengan mereka di warung, atau saling kunjung ke studio untuk berbagi inspirasi. Kalaupun mereka tetap berkarya di Bali, otak berkesenian-nya sudah tersambung ke luar—dengan problematika seni global.
Rasa terpesona telah hilang. Hilanglah kekaguman terhadap pawai Melasti, iringan perempuan menyunggi banten, pajengan buah tinggi ke pura, atau pantulan cahaya air sawah yang tenang.
Digantikan oleh protes dan keluhan soal plastik yang menyumbat irigasi, limbah kimia yang meracuni makanan, dan urbanisasi liar yang merusak tampilan pulau yang dulu begitu sempurna cantiknya ini.
Bukankah pengusaha lokal terlupakan oleh para babe-babe tahun 70-an dan 80-an itu yang lebih dulu mengucurkan dana dan memberi izin kepada konco-konco di Jakarta, Mauritius, atau Hong Kong, alih-alih kepada para ahli waris budaya lokal?
Padahal ahli waris itu satu-satunya pihak yang sanggup menjalankan pariwisata budaya dengan tulus dan setia.
Sayangnya, terlambat...
Untuk Bali Selatan, setidaknya.
Maka lindungilah sisa Bali. Lindungilah sisa pulau cantik Indonesia ini dari para menheer-menheer baru—lokal ataupun asing—yang di balik senyum manisnya, hanya menganggap budaya sebagai mantra.