SEMARANG, KOMPAS.com- Jika buku adalah jendela dunia, maka pustakawan adalah penjaga yang memastikan jendela itu selalu terbuka bagi siapa saja.
Namun di balik tugas mulianya, para penjaga jendela ini seringkali harus berjuang dalam kesunyian, menghadapi ketidakpastian status dan kesejahteraan yang membuat mereka sulit memandang masa depan sendiri.
Kisah-kisah perjuangan ini datang dari para pejuang literasi di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Mereka adalah potret dari sebuah profesi penting yang nasibnya kerap terabaikan.
Baca juga: Kisah Tiara, Pustakawan RPTRA Rawa Binong yang Menghidupkan Perpustakaan Anak
Salah satu potret itu adalah Muhammad Tohir (40), Petugas Perpustakaan di SMAN 1 Bringin, Kabupaten Semarang.
Siapa sangka, perjalanannya di dunia literasi dimulai dari peran yang jauh berbeda: sebagai petugas bantu tata usaha dan penjaga sekolah.
Kini, hari-harinya diisi dengan merawat buku-buku yang menjadi sumber pengetahuan bagi para siswa.
“Sehari-hari saya menjaga perpus, memasukan buku induk, mengisi daftar buku di Dapodik (Data Pokok Pendidikan). Tugas saya menggantikan pustakawan sebelumnya yang sudah diangkat menjadi P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) dan dipindahkan di Kalimantan,” ujarnya saat diwawancarai Kompas.com pada Senin, (15/09/2025).
Tohir adalah satu dari tiga pegawai perpustakaan di sekolahnya yang berstatus Pegawai Tidak Tetap (PTT). Honorarium yang ia terima bersumber dari dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) Kemendikbudristek dan disalurkan ke satuan pendidikan di Provinsi Jawa Tengah.
Dari segi kesejahteraan, Tohir berusaha untuk selalu merasa cukup. Meski sebagai kepala keluarga, wajar jika ia ingin hidup lebih makmur.
“Ketimbang dulu gaji saya sudah sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) meskipun saya cukup-cukupkan untuk menghidup istri dan 2 anak saya,” ungkapnya.
Muhammad Tohir (40) salah seorang karyawan perpustakaan di SMAN 1 Bringin Kabupaten Semarang bersua foto disela-sela pekerjaannya di Bringin, Kabupaten Semarang, Senin (15/9/2025) Dengan latar belakang pendidikan SMA, Tohir mengakui kompetensinya belum sebanding dengan pustakawan profesional. Namun, semangatnya untuk mendapatkan kepastian nasib tak pernah padam.
“Ijazah saya masih SMA, sekarang masih pengajuan P3K, masih tahap administrasi, dan harapannya pengangkatan ini bisa terealisasikan,” tambahnya.
Kepala Perpustakaan SMAN 1 Bringin, Yusnita (46), menjelaskan bahwa kemampuan teknis para stafnya banyak terbentuk dari kebiasaan melayani. Keterbatasan tenaga ahli membuat sekolah harus memaksimalkan sumber daya yang ada.
“Dari tiga pegawai perpustakaan ini sebenarnya malah kelebihan. Sebenarnya dua itu sudah cukup, tapi karena kami juga membagi dengan yang di ruang TU, akhirnya kami berikan tiga. Karena kembali lagi, kami tidak ada sarjana perpustakaan, sehingga kami secara tenaga harus dibantu banyak,” ungkap Yusnita.
Baca juga: Sepenggal Kisah Pustakawan Penjaga Api Literasi di Kediri
Kisah berbeda datang dari generasi yang lebih muda. Dian Widya (22), Pustakawan Muda di MA PSA Nurul Amal, Bandungan, membawa idealisme segar dari bangku kuliah.