KOMPAS.com – Kanjeng Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi, Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, meninggal dunia pada Minggu (2/11/2025) pagi di RS Indriati Solo Baru, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Raja berusia 77 tahun itu mengembuskan napas terakhir pukul 07.29 WIB.
Menurut Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Eddy Wirabhumi, salah satu kerabat Keraton Kasunanan Surakarta, jenazah PB XIII akan dimakamkan dengan tata adat keraton di Astana Raja-Raja Mataram Imogiri, Yogyakarta.
“Rencana akan dimakamkan di Astana Raja-Raja Mataram Imogiri, Yogyakarta. Sebelumnya, jenazah akan disemayamkan di Pendapa Paningratan, di belakang pendapa utama Keraton,” ujar KPH Eddy Wirabhumi saat ditemui di Keraton Kasunanan, Minggu (2/11/2025).
“Kemungkinan besar pemakaman dilakukan setelah Selasa Kliwon, yakni Selasa (4/11/2025), sekitar pukul 13.00 atau 14.00 WIB,” tambahnya.
Baca juga: Jenazah Raja Keraton Kasunanan Solo PB XIII Tiba di Sasana Putra
Makam Raja-Raja Mataram Imogiri, atau yang dikenal sebagai Pasarean Pajimatan Imogiri, terletak di atas Gunung Merak, wilayah Desa Girirejo dan Desa Wukirsari, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dikutip dari budaya.jogjaprov.go.id, kompleks pemakaman ini dibangun pada tahun 1632 oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613–1645), Raja Mataram Islam yang juga menjadi orang pertama dimakamkan di sana.
Imogiri berasal dari kata hima (kabut) dan giri (gunung), yang berarti “gunung yang diselimuti kabut”.
Kompleks ini disebut Pajimatan, dari kata “jimat” atau pusaka. Sultan Agung dianggap sebagai “pusaka hidup” dan leluhur utama dinasti Mataram Islam.
Pemilihan bukit sebagai lokasi makam tidak lepas dari kepercayaan masyarakat Jawa pra-Hindu, yang menganggap tempat tinggi sebagai lokasi sakral bersemayamnya roh leluhur.
Baca juga: Pakubuwono XIII Wafat di Rumah Sakit Indriati Solo
Keyakinan itu terus bertahan hingga masa Islam, di mana ketinggian juga dianggap simbol kemuliaan dan kedekatan dengan Sang Pencipta.
Bangunan Pasarean Imogiri didominasi oleh bata merah khas arsitektur Jawa-Islam abad ke-17.
Menariknya, bata-bata itu tidak direkatkan dengan semen, melainkan dengan metode kosod, bata digosok hingga keluar cairan pekat yang menjadi perekat alami.
Untuk menuju kompleks utama, para peziarah harus menaiki ratusan anak tangga yang disusun pendek untuk memudahkan langkah mereka yang mengenakan busana adat.
Hingga kini, ziarah ke area sakral masih mensyaratkan pakaian adat Jawa lengkap.