LUWU TIMUR, KOMPAS.com – Matahari baru terbit ketika speed boat kayu yang tim Kompas.com tumpangi meninggalkan Pelabuhan Lampia, Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Minggu (21/9/2025) pagi.
Tepat pukul 06.00 WITA, angin sejuk, hamparan laut biru, dan deru mesin diesel mengiringi pelayaran sekitar satu setengah jam menuju Bulu Poloe. Pulau kecil tak berpenghuni di Teluk Bone ini menyimpan keindahan sekaligus cerita rapuhnya ekosistem laut.
Ketua Yayasan Konservasi Cinta Laut (YKCL) Muh Reza mengatakan bahwa di bentang pesisir Malili, mulai dari Desa Balantang hingga Desa Harapan tempat Pulau Bulu Poloe berada, karang yang benar-benar hidup hanya tersisa sekitar 30 persen dari total 600 hektare.
Menurutnya, kerusakan itu dipicu gelombang laut serta praktik destruktif seperti penggunaan bom ikan dan sianida.
Baca juga: Penurunan Terumbu Karang di Great Barrier Reef Terburuk dalam 40 Tahun Terakhir
Melihat kondisi itu, lanjut Reza, pihaknya bersama PT Vale Indonesia, Sorowako Diving Club (SDC), akademisi Universitas Hasanuddin (Unhas), Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, merancang program konservasi pesisir yang mencakup terumbu karang, mangrove, dan padang lamun.
“Baseline program konservasi dilakukan pada 2022. Fokusnya tidak hanya pada aspek ekologi, tetapi juga sosial-ekonomi karena kerusakan ekosistem membuat nelayan harus melaut lebih jauh dan biaya mereka meningkat,” ucap Reza.
Mengamini Reza, Senior Coordinator Program Terpadu Pengembangan Masyarakat (PTPM) Livelihood PT Vale Sainab Husain Paragay turut menjelaskan mengenai transplantasi yang diupayakan.
Saat itu Vale bersama mitra memetakan tiga ekosistem kunci, yaitu terumbu karang, mangrove, dan padang lamun, serta memotret kondisi sosial-ekonomi nelayan.
Baca juga: Mengapa Terumbu Karang yang Cantik Mendorong Konservasi yang Lebih Kuat
“Kami tidak hanya melihat aspek lingkungan, tapi juga sosial-ekonomi masyarakat. Sebab, jika ekosistem (sekitar) rusak, nelayan terpaksa melaut lebih jauh dan biaya (operasional) mereka membengkak,” ujar Sainab.
Ia menambahkan, masukan ahli juga diadopsi dalam pola kerja program konservasi, antara lain monitoring berkala minimal sebulan sekali untuk lokasi transplantasi baru, serta peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan dan pendampingan.
“Upaya itu melibatkan YKCL sebagai pendamping komunitas, SDC sebagai relawan penyelam, akademisi universitas, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, serta kelompok masyarakat pengawas perikanan,” terang Sainab.
Pada kegiatan monitoring di Pulau Bulu Poloe, tim SDC juga mencoba menanam karang jenis lain, Montipora, dan beberapa karang hias. Langkah ini diharapkan dapat membuat biodiversitas meningkat dan ekosistem lebih seimbang.Perjalanan tim Kompas.com ke Bulu Poloe hari itu adalah untuk mengiringi tim SDC bersama YKCL kembali turun ke dasar laut, tidak hanya untuk menanam, tapi juga memantau karang yang sudah ditanam sebelumnya di rangka besi segi delapan atau disebut spider.
Baca juga: Vale Bakal Luncurkan Program Intervensi Stunting di Tujuh Provinsi
Presiden SDC Merrylin menuturkan, jenis karang yang ditanam sebelumnya hanya Acropora. Namun, pada kesempatan tersebut, pihaknya memutuskan untuk mencoba menanam variasi lain.
“Sekarang kami coba variasi lain seperti Montipora dan karang hias. Harapannya, biodiversitas meningkat dan ekosistem lebih seimbang,” tuturnya.
Merrylin menambahkan, transplantasi karang tidak cukup pada penanaman saja. Harus ada monitoring berkala untuk memastikan kelangsungan hidupnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya