JAKARTA, KOMPAS.com – Jika keberlanjutan adalah tentang mendengarkan, perempuan memiliki keunggulan dalam hal ini. Sejak lama, mereka terbiasa mendengar dengan teliti dan penuh empati.
Dalam menyuarakan keberlanjutan, suara mereka pun konsisten bergema, meski tak selantang lainnya. Dengan ketekunan dan kepedulian tinggi, para perempuan punya peran dalam menautkan kembali hubungan antara manusia dan alam.
Semangat itu terasa kuat dalam sesi “The Voice of Women in Sustainability Movement” di Lestari Summit 2025 yang digelar Kompas Gramedia (KG) Media di Raffles Hotel Jakarta, Kamis (2/10/2025).
Di sesi tersebut, tiga perempuan hadir berbagi kisah dan keyakinan bahwa keberlanjutan tak hanya soal kebijakan dan teknologi, tetapi juga tentang hati yang mau mendengar, memahami, dan bertindak.
Baca juga: Perempuan Adat, Penjaga Alam dan Pengetahuan untuk Kedaulatan Pangan
Datang dengan membawa kegelisahan dan suara-suara yang selama ini terabaikan, mereka adalah Chairperson Paloma Sjahrir Foundation sekaligus Co-Founder Bicara Udara Ratna Kartadjoemena, Direktur Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA) sekaligus penerima Whitley Awards Rahayu Oktaviani, dan Ketua Yayasan Lohjinawi Yasmin.
Ratna memulai kariernya di industri perhotelan dengan mencoba mereduksi dampak bisnis terhadap lingkungan. Pengalaman tersebut membawanya untuk melakukan impact investing dengan mendirikan Paloma Sjahrir Foundation untuk membantu ekosistem pengusaha kecil yang peduli berkelanjutan.
Namun, perjalanan Ratna mengambil momentum baru ketika dia belajar tentang polusi partikulat PM2.5 pada 2018.
"Kok bisa ini suatu masalah tapi belum pernah dibicarakan di Indonesia?" ujar Ratna, menggambarkan kegelisahannya saat itu.
Baca juga: Dari Leuser hingga Jakarta, Perempuan dan Komunitas Muda Jadi Garda Depan Lingkungan
Dari rasa khawatir tersebut, pada 2020—saat pandemi membuat banyak orang bekerja dari rumah—Ratna mengajak dua teman dekatnya, Novita Natalia dan Amalia Ayuningtyas, untuk mendiskusikan masalah udara yang terus diabaikan.
Ketiga ibu tersebut membentuk Bicara Udara dengan visi sederhana tapi kuat untuk menyuarakan hak semua orang atas udara bersih.
Mereka memulai dengan petisi "Stop Bakar Sampah" yang ditandatangani lebih dari 78.000 orang. Langkah awal ini mencerminkan respons publik yang telah lama menunggu momentum untuk menyuarakan kekhawatiran tentang kualitas udara.
Dampak polusi udara ternyata sangat nyata dan mendesak. Penelitian menunjukkan paparan PM2.5 tidak hanya memicu penyakit pernapasan, tetapi juga mengganggu kehamilan, pertumbuhan janin, dan kesehatan jangka panjang anak-anak.
Baca juga: Kisah Perempuan Dayak Melawan Dampak Tambang dengan Cabai
Kisah nyata seperti Ibu Tiara Yunanda yang anaknya dirawat di rumah sakit sebanyak tujuh kali pada 2023 akibat polusi udara menunjukkan urgensi masalah ini.
Bicara Udara kemudian mengembangkan tiga program utama untuk menyebarkan kesadaran, yakni Biru Talks, Biru Voices, dan Biru School Alliance.
Program Biru Talks sendiri adalah platform diskusi publik yang melibatkan para pembuat kebijakan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya