KOMPAS.com - Jepang akan memperkenalkan kebijakan baru yang mewajibkan produsen dan importir baterai seluler, power bank dan perangkat pemanas tembakau serta rokok elektrik untuk mengumpulkan dan mendaur ulang produk-produk tersebut dengan bekerja sama dengan otoritas setempat.
Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk menyelaraskan sistem pengelolaan limbah elektronik Jepang dengan tren ekonomi sirkular global.
Kebijakan ini diperkirakan berlaku mulai tahun fiskal 2026. Kebijakan kemudian akan menetapkan produk-produk yang disebut atas sebagai "barang yang dapat didaur ulang yang ditentukan".
Klasifikasi ini secara formal menempatkan produk tersebut di bawah peraturan dan kewajiban daur ulang yang ketat.
Baca juga: AS Ekspor Sampah Elektronik, Banjiri Asia Tenggara
Termasuk juga akan memperluas kewajiban daur ulang terhadap kategori produk yang lebih baru seperti misalnya rokok elektrik yang sebelumnya tidak tercakup dalam peraturan limbah lama.
Perangkat bertenaga baterai tersebut mengandung logam langka dan menimbulkan risiko kebakaran jika dibuang secara tidak benar.
“Dalam beberapa tahun terakhir, kecelakaan kebakaran yang disebabkan oleh baterai litium terpasang telah meningkat," kata Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang seperti dikutip dari Eco Business, Jumat (31/10/2025).
Namun sebenarnya, produk-produk baru yang diwajibkan untuk didaur ulang mengandung baterai lithium-ion dan mineral penting yang mungkin dapat diambil dan digunakan kembali.
Sebelumnya, sejak 2017, produsen sendiri sebenarnya secara sukarela, bukan diwajibkan oleh hukum saat itu, telah mengumpulkan baterai seluler.
Program ini melibatkan 60 perusahaan anggota Japan Portable Rechargeable Battery Recycling Center (JRBC). Pengumpulan dilakukan di sekitar 8.500 lokasi di seluruh Jepang, termasuk toko operator dan toko ritel.
Pada tahun fiskal 2023, tercatat sebanyak 3,63 juta unit smartphone berhasil dikumpulkan.
Kendati demikian METI dan Kementerian Lingkungan Hidup telah mengakui bahwa sejumlah besar perangkat elektronik kecil yang mengandung logam berharga masih dibuang tanpa didaur ulang.
Meskipun tingkat daur ulang nasional secara keseluruhan mencapai 19,5 persen pada tahun fiskal 2023, total sampah TPA masih sekitar 3,16 juta ton.
Daur ulang kini dipandang sebagai solusi yang menguntungkan secara ganda, baik itu secara ekonomi dan juga mencapai tujuan iklim.
Baca juga: Bangun Kesadaran Sejak Usia Sekolah, LG Ajak Anak Indonesia Peduli Sampah Elektronik
Badan Energi Internasional (IEA) melaporkan bahwa paten dalam daur ulang baterai litium-ion tumbuh rata-rata 56 persen per tahun antara tahun 2017 dan 2022.
Sementara itu perusahaan riset Global Market Insights yang berbasis di AS memperkirakan bahwa pasar daur ulang baterai litium-ion akan mencapai 7,2 miliar dolar pada tahun 2024 dan akan meluas pada tingkat tahunan lebih dari 20 persen hingga tahun 2034.
Daur ulang baterai bekas tidak hanya memperkuat keamanan material tetapi juga mengurangi dampak lingkungan.
Sebuah studi Universitas Stanford menemukan bahwa penggunaan bahan daur ulang untuk baterai mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 81 persen dan mengurangi penggunaan energi sebanyak 89 persen dibandingkan dengan penambangan logam baru.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya