Oleh: Nafja Livia Avissa
Staf Bidang Literasi dan Penulisan
Aparat penegak hukum memiliki kewajiban fundamental dalam menjalankan proses penegakkan hukum. Sebelum palu keadilan diketuk di meja hijau oleh hakim, terdapat beberapa tahapan yang terangkum dalam hukum acara pidana. Beberapa tahapan tersebut, yaitu penyelidikan, penyidikan, pra peradilan, pemeriksaan persidangan, putusan, upaya hukum, eksekusi, dan pengawasan serta pengamatan. Dalam tahapan penyidikan, salah satu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, yaitu upaya paksa penahanan. Dalam proses penahanan, bukan hal yang baru bahwa terdapat dugaan terjadinya penyiksaan terhadap tahanan baik oleh tahanan lain maupun oleh aparat penegak hukum di dalam Rumah Tahanan Negara (“Rutan”). Belum lama ini, terjadi dugaan kekerasan yang berakibat kematian terhadap salah satu tahanan di Kepolisian Resor Kabupaten Banyumas, Oki Kristodiawan. Kematian Oki Kristodiawan diumumkan oleh Kepala Kepolisian Sektor Baturraden pada 2 Juni 2023 lalu.[1] Kematian Oki diduga tidak terjadi secara “bersih” karena terdapat luka lebam yang ditemukan pada tubuhnya setelah kematiannya. Dalam foto, terkuak luka yang terdapat di sekujur tubuh Oki berupa luka di punggung, luka di tangan kiri, luka di tangan kanan, luka di kaki kiri, dan luka di kaki kanan.[2] Pada kasus kematian Oki yang dinilai janggal, polisi pun telah menetapkan sepuluh tersangka yang merupakan tahanan satu sel Oki, yaitu D, GW, AD, SA, YT, DA, LW, Y, YA, IW. [3] Meskipun sudah ada sepuluh tersangka yang merupakan tahanan satu sel Oki, beberapa pihak termasuk keluarga Oki menduga keterlibatan polisi pada kasus kematian Oki.[4] Atas kecurigaan tersebut, Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, membentuk tim gabungan terkait kasus ini yang menguak 11 polisi yang terlibat dalam kasus tersebut.[5] Dari sebelas polisi yang terlibat, empat diantaranya dianggap lalai mengawasi tahanan sehingga melanggar hukum disiplin.[6] Sedangkan, tujuh dari sebelas polisi yang terlibat telah melanggar kode etik dan empat dari tujuh polisi yang melanggar kode etik tersebut turut melanggar Pasal 170 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”).[7]
Tak hanya Oki, ternyata terdapat lebih banyak kasus terkait dengan penyiksaan dan kekerasan terhadap tahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum utamanya polisi. Kasus ini menjadi pembuka kotak pandora yang menunjukkan sistem hukum acara pidana Indonesia yang masih penuh dengan noda-noda yang perlu dibersihkan. Nyatanya, kasus kekerasan dan penyiksaan terhadap tahanan tidak lagi menjadi hal yang baru dalam proses hukum di Indonesia. Terdapat 693 orang dalam 445 kasus penyiksaan tahanan dalam tahanan oleh polisi dari tahun 2011-2019 berdasarkan data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (“KontraS”) yang termuat pada artikel interaktif Tempo.co.[8] Dari data tersebut, sebanyak 63 orang yang mengalami penyiksaan oleh polisi berakhir meninggal dunia.[9] Metode yang digunakan untuk menyiksa para tahanan hingga menyebabkan sebagian tahanan tewas pun beragam. Dari berbagai metode penyiksaan yang beragam, metode penyiksaan yang sering digunakan yaitu dengan metode dipukul dan terkadang disetrum, dibakar, ditembak, dan lain sebagainya.[10]
Jumlah penyiksaan terhadap tahanan yang tak sedikit, menyadarkan akan masalah yang ada pada praktik proses hukum di Indonesia belum berjalan dengan baik utamanya jika dipandang dari kacamata hak asasi manusia (“HAM”). Permasalahan ini tentunya menimbulkan isu bagaimana regulasi mengenai penahanan dan etik para aparat penegak hukum yang berwenang dalam penahanan di Indonesia sehingga terdapat banyak penyimpangan yang berujung pada terlanggarnya HAM dari para tahanan. Kenyataan yang terlihat pada permasalahan ini menjadi suatu hal yang ironis sebab tujuan penahanan yang sebenarnya bukan untuk menyiksa tahanan, melainkan untuk mempermudah proses penyidikan. Hal ini sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), bahwa penahanan dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan. Penahanan dilakukan oleh penyidik untuk mengurangi kekhawatiran terhadap tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, ataupun mengulangi tindak pidana yang dituduhkan dengan bukti awal yang cukup.[11] Walaupun begitu, penahanan tersangka atau terdakwa yang seharusnya bertujuan untuk mencegah resiko yang tak diinginkan dalam proses hukum malah menjadi bumerang tersendiri. Hal ini karena, adanya permasalahan yang seringkali terjadi dalam Rutan sebagai tempat ditahannya para tersangka atau terdakwa selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.[12]
Penyiksaan terhadap tahanan merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan HAM. Ironisnya, hal ini justru terjadi dalam proses hukum yang ditangani oleh aparat “penegak” hukum yang kemudian terjerat sebagai pelaku menjadi subjek yang melakukan tindakan penyiksaan tersebut. Apapun alasannya, seharusnya tahanan tidak boleh mengalami penyiksaan oleh polisi. Bahkan jika alasan tersebut adalah untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan supaya tahanan tersebut dapat dinyatakan bersalah dalam vonis hakim di pengadilan. Para tahanan ini yang menjadi objek dari penyiksaan tersebut terjadi pada proses penahanan yang prosedurnya diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia, salah satunya pada KUHAP.
Dalam KUHAP, regulasi mengenai penahanan diatur di bagian tersendiri, yaitu Bagian Kedua, pada Bab V dengan Judul “PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN, DAN PEMERIKSAAN SURAT” yang merupakan upaya paksa dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia. Pasal mengenai penahanan dalam KUHAP dimulai dari Pasal 20 KUHAP mengenai alasan penahanan dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan.[13] Dalam pasal ini, disebutkan juga mengenai pihak yang berwenang dalam penahanan untuk tiap-tiap kepentingan yaitu penyidik atau penyidik pembantu, penuntut umum, dan hakim.[14] Selanjutnya, pada Pasal 21 KUHAP yang berisi mengenai syarat dan ketentuan saat melakukan penahanan seperti syarat penahanan berupa syarat objektif dan subjektif dan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang perlu diberikan terhadap keluarga tersangka atau terdakwa dalam melakukan penahanan lanjutan.[15] Pada Pasal 22 KUHAP, disebutkan mengenai jenis-jenis penahanan dan keterangan mengenai masa penangkapan dan penahanan yang mengurangi masa pidana.[16] Pasal 23 berisi mengenai jenis penahanan yang dapat dialihkan oleh penyidik atau penuntut umum, atau hakim ,yang dinyatakan dalam surat perintah tersendiri.[17] Jenis penahanan sesuai dengan Pasal 23 KUHAP terdapat 3 (tiga) jenis penahanan, yaitu penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah, dan penahanan kota.[18] Selanjutnya, disebutkan mengenai tenggang waktu masa penahanan dan perpanjangannya pada Pasal 24-28 KUHAP dan perpanjangan penahanan di luar pasal 24-28 KUHAP pada Pasal 29 KUHAP. Pada Pasal 30 KUHP, disampaikan hak tersangka atau terdakwa yang ditahan dalam tenggang waktu penahanan dan perpanjangan penahanan pada Pasal 24-29 KUHAP secara tidak sah untuk meminta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan pada Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP.[19]
Dari sepuluh Pasal yang terdapat dalam KUHAP, tidak terlalu disebutkan dan dijelaskan mengenai etika dan larangan-larangan bagi aparat penegak hukum yang berwenang agar tidak melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh tersangka atau terdakwa. Untuk itu, terdapat peraturan lain selain KUHAP yang dapat dijadikan sebagai pedoman polisi sebagai acuan etika polisi sehingga mencerminkan nilai-nilai dalam pancasila dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya. Polisi sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan memiliki etika khusus tersendiri yang berlaku bagi profesi polisi yang termuat dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Permenko Polhukam No. 7 Tahun 2022”). Dalam undang-undang ini, terdapat berbagai ruang lingkup yang dijabarkan pada Pasal 2 Permenko Polhukam No. 7 Tahun 2022 yang diantaranya ialah KEPP dan KKEP yang masing-masing merupakan Kode Etik Profesi Polisi dan Komisi Kode Etik Polisi. Selanjutnya, dirincikan lebih lanjut mengenai macam-macam etika dalam KEPP yang harus ditaati kewajiban dan larangan terkait berbagai etika dalam KEPP, yaitu Etika Kenegaraan, Etika Kelembagaan, Etika Kemasyarakatan, dan Etika Kepribadian yang terdapat Pada Pasal 3 ayat (1) Permenko Polhukam No. 7 Tahun 2022.[20]
Pada Pasal 10 ayat (2) Permenko Polhukam No. 7 Tahun 2022, telah diatur mengenai beberapa larangan dalam penegakan hukum diantaranya yaitu pelarangan berkenaan dengan pemaksaan, intimidasi, ataupun penggunaan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan saat pemeriksaan.[21] Selain itu, dalam Etika Kepribadian terdapat larangan khusus, yakni pada tiga poin terakhir dalam pasal tersebut berupa larangan bagi polisi untuk menista atau menghina, melakukan tindakan yang diskriminatif, dan melakukan tindakan kekerasan, kasar, dan tidak patut dalam bersikap yang terdapat pada Pasal 13 Permenko Polhukam No, 7 Tahun 2022.[22] Larangan ini menjadi indikasi bahwa terdapat kemungkinan untuk adanya pelanggaran terhadap larangan tersebut sehingga menimbulkan pemberian sanksi atas pelanggarannya. Untuk itu, terdapat dua jenis sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran KEPP, yaitu sanksi etika dan/atau sanksi administratif seperti yang telah dijabarkan dalam Pasal 107 Permenko Polhukam No. 7 Tahun 2022.[23] Lebih lanjut pada Pasal 108 dan 109 dijabarkan beberapa poin terkait sanksi yang diberikan. Pelanggaran yang dikenakan sanksi etika yang merupakan sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran yang dianggap ringan sedangkan pelanggaran yang termasuk dalam kategori sedang dan berat dikenakan sanksi berupa sanksi administratif.[24]
Sebagai aparat penegak hukum, Polisi berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan HAM dalam menjalankan kewenangannya mengingat proses penegakan hukum dalam upaya paksa sudah bertolak belakang dengan HAM. Oleh karena itu, terdapat Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri No. 8 Tahun 2009”) sebagai aturan tertulis bagi polisi untuk mengimplementasikan HAM dalam menjalankan kewenangannya. Pada Pasal 5 Perkapolri No. 8 Tahun 2009, disebutkan instrumen perlindungan HAM yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun tak terkecuali polisi dalam keadaan apapun salah satu diantaranya adalah hak untuk tidak disiksa.[25] Meskipun begitu, pada Pasal 10 yang memuat aturan yang menyebutkan bahwa polisi tidak boleh melakukan kekerasan, tetapi masih dimungkinkan dengan keadaan tertentu misalnya untuk mencegah kejahatan atau membantu melakukan penangkapan terhadap peraturan ataupun tersangka.[26] Selain itu, dalam undang-undang ini diatur juga mengenai penghormatan HAM yang dispesifikasikan dalam proses penahanan. Dalam bagian tersebut dijelaskan mengenai prinsip-prinsip dan standar internasional HAM yang dicantumkan dalam undang-undang ini terkait penahanan. Salah satu diantara poin-poin dalam Pasal 23, yaitu hak tahanan untuk tidak disiksa, diperlakukan secara keji dan tidak manusiawi, mendapatkan baik perlakukan atau hukuman yang merendahkan martabat manusia, atau pemberian ancaman-ancaman lainnya.[27] Pada Pasal 24 disebutkan mengenai larangan mengenai penggunaan kekerasan baik fisik, mental, maupun seksual yang lebih spesifik dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan ataupun pengakuan.[28]
Selain prosedur dalam penahanan dan pedoman perilaku serta etika bagi aparat penegak hukum (dalam hal ini polisi), penting juga untuk mengetahui regulasi terkait Rutan dibawah naungan Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana utamanya sebagai salah satu lembaga yang bertanggung jawab dalam proses penahanan. Oleh karena itu, regulasi mengenai Rutan perlu dilihat dari peraturan perundang-undangan lain dalam hal ini Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan (“UU Pemasyarakatan”). Selaku peraturan perundang-undangan yang mewadahi pengaturan mengenai sistem pemasyarakatan, salah satu hal yang diatur dalam undang-undang ini terkait bagaimana perlakuan terhadap tahanan. Dalam UU Pemasyarakatan, tercantum pengertian tahanan dan rutan pada Pasal 1 UU Pemasyarakatan. Di sini disebutkan bahwa tahanan merupakan tersangka atau terdakwa yang ditahan di Rutan dan sedang menjalani proses peradilan, sedangkan Rutan merupakan suatu lembaga yang menjalankan fungsi pelayanan terhadap tahanan.[29] Dalam UU Pemasyarakatan, disebutkan pada Pasal 2 mengenai 3 (tiga) tujuan dari sistem pemasyarakatan yang salah satu tujuannya merupakan pemberian jaminan terhadap hak tahanan.[30] Rutan sebagai penyelenggara fungsi pemasyarakatan harus memperhatikan dan menjamin hak tahanan sebagaimana tujuan sistem pemasyarakatan pada Pasal 1 UU Pemasyarakatan. Terkait hak tahanan, terdapat pasal yang merincikan hak tahanan dalam Rutan yaitu pada Pasal 7 UU Pemasyarakatan. Berdasarkan pasal tersebut, tercantum 11 (sebelas) hak tahanan dalam Rutan dan salah satunya berupa keharusan untuk memperlakukan tahanan dengan manusiawi dan memberikan perlindungan dari tindakan penyiksaan, eksploitasi, pembiaran, kekerasan, dan semua tindakan yang membahayakan fisik dan mental.[31]
Meskipun salah satu tujuan UU Pemasyarakatan untuk menjamin hak-hak terhadap tahanan seperti yang tertera pada Pasal 2 dan Pasal 7, tetapi terdapat celah yang memungkinkan untuk terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak tahanan dengan diberikannya kewenangan tertentu terhadap petugas pemasyarakatan. Misalnya pada Pasal 66 ayat (2) UU Pemasyarakatan mengenai penindakan upaya pengamanan, yaitu mengamankan barang terlarang, menggunakan kekuatan, menjatuhkan saksi, dan menjatuhkan tindakan pembatasan.[32] Pada pasal ini terdapat satu poin penindakan yang menarik, yaitu menggunakan kekuatan yang jika dilakukan secara sewenang – wenang yang dapat mengarah ke tindakan kekerasan bahkan penyiksaan.
Walaupun begitu, sudah sepatutnya petugas pemasyarakatan tidak melakukan tindakan yang melampaui kewenangannya dan tetap memperhatikan HAM para tahanan seperti yang tertera pada Pasal 86 UU Pemasyarakatan. Pada Pasal 86 ayat (1) UU Pemasyarakatan, disebutkan bahwa petugas pemasyarakatan berkeharusan untuk menghormati HAM tahanan, anak, dan warga binaan.[33] Selanjutnya, pada Pasal 88 ayat (2) mulai membahas kode etik dan kode etik perilaku yang menjadi pedomaan petugas pemasyarakatan.[34] Pada Pasal 86 ayat (3) dan (4), disebutkan lebih lanjut mengenai pelanggaran terhadap kode etik dan kode etik perilaku. Terhadap adanya pelanggaran, petugas pemasyarakatan diproses sesuai dengan kode etik dan kode etik perilaku yang jika pelanggaran tersebut diduga merupakan tindak pidana maka petugas pemasyarakatan dapat diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam peraturan perundang-undangan tersebut, semua pelanggaran terhadap aturan di dalamnya tidak diatur mengenai sanksi pidana yang biasanya terdapat pada bagian bab akhir undang-undang sebelum ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Pada undang-undang diatas, pelanggaran berupa tindak pidana yang masih terkait dengan aturan yang diatur didalamnya misalnya penyiksaan terhadap tahanan diserahkan pada ketentuan perundang-undangan yang bersifat umum, yaitu KUHP. Akibat belum ada peraturan perundang-undangan yang bersifat lebih spesifik yang mengatur mengenai pidana terhadap penyiksaan tahanan, maka asas lex specialis derogat generalis tidak berlaku karena ketentuan tersebut hanya diatur di peraturan yang bersifat umum.
Masifnya kasus penyiksaan tahanan baik yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang misalnya saja polisi menunjukan adanya pelanggaran terhadap etika profesi polisi sebagaimana telah diatur dalam Permenko Polhukam No. 7 Tahun 2022. Selain dalam etika profesi polisi, larangan bagi polisi untuk menyiksa tahanan pun bertentangan dengan Perkapolri No. 8 Tahun 2009 yang seharusnya sejalan dengan HAM jika menilik dari judul peraturan perundang-undangan tersebut begitu pula dengan implementasinya. Tak hanya polisi yang memiliki pedoman berupa peraturan perundang-undangan, Lembaga Pemasyarakatan pun memiliki UU pemasyarakatan yang berfungsi sebagai regulasi yang menjamin hak para tahanan yang berada di dalamnya. Regulasi tersebut sangat penting mengingat berdasarkan laporan dari Justice Initiative, lokasi penahanan atau Rutan yang berada di bawah Lembaga Pemasyarakatan menjadi lokasi dimana penyiksaan paling sering terjadi.[35]
Tersangka sebagai seorang yang diduga telah melakukan tindak pidana kerap menjadi sasaran penyiksaan dalam proses penahanan. Penyiksaan ini dapat terjadi di seluruh tahap proses penahanan, meskipun seringkali penyiksaan terjadi di tahap awal proses penahanan dan juga disebabkan karena overcrowd serta buruknya kondisi lokasi penahanan tersangka.[36] Terlanggarnya hak dasar tahanan sebagai manusia untuk tidak disiksa menjadi fenomena yang menjadi “budaya lama” yang ada di Indonesia. Hal ini turut disampaikan oleh Poengky Indarti, anggota Komisi Kepolisian Nasional, yang menyebutkan bahwa penyiksaan tahanan telah lama terjadi dan tidak hanya di instansi kepolisian, tetapi juga di tempat penahanan-penahanan lainnya.[37] Adanya kebiasaan buruk ini tentunya disebabkan oleh berbagai aspek kemasyarakatan yang ada di Indonesia.
Di Indonesia, meskipun asas presumption of innocent atau praduga tak bersalah sudah diakui bahkan sudah disebutkan dalam berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi belum seluruhnya di implementasikan dan penerapan dalam prakteknya masih belum maksimal. Hal ini terlihat dari pengaturan pada upaya paksa penahanan yang tertera di KUHAP yang merupakan “kunci pintu masuk” untuk menahan tersangka memberikan syarat yang dirasa cukup senggang sehingga sangat mudah untuk menahan tersangka. Begitupun dengan aturan rentang waktu penahan yang mudah untuk diperpanjang dengan syarat yang cenderung mudah dipenuhi. Mudahnya tersangka untuk dapat ditahan menyebabkan masalah overcrowd Rutan menjadi suatu hal yang tak dapat dihindari yang mengarah pada buruknya fasilitas Rutan dan penyiksaan terhadap tahanan.
Tak hanya itu, penahanan seorang tersangka untuk kepentingan penyidikan masih dapat ditemukan penggunaan ancaman kekerasan dan kekerasan yang berpotensi menjadi tindakan penyiksaan terhadap tersangka guna mendapat pengakuan saat melakukan interogasi.[38] Perlakukan tidak pantas berupa penggunaan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan pada tahanan menunjukkan belum maksimalnya implementasi dari asas praduga tak bersalah. Situasi ini memberikan kesan adanya situasi main hakim sendiri yang masih menjadi budaya di Indonesia. Aparat penegak hukum, sadar atau tidak sadar juga masih ada yang melakukan tindakan main hakim sendiri dengan adanya label khusus yang melekat pada tahanan sehingga terdapat justifikasi terhadap perlakukan tidak pantas dan penyiksaan yang dilakukan. Padahal, tersangka yang ditahan masih menunggu persidangan dan belum terbukti bersalah di pengadilan sehingga idealnya asas praduga tak bersalah dapat tetap berlaku sebagaimana seharusnya sistem due process of law dalam hukum acara pidana.
Ironisnya, penyiksaan yang terjadi di lokasi penahanan lebih sering terjadi terhadap tahanan yang merupakan orang bisa yang diduga melakukan tindak pidana biasa dari pada tahanan yang diduga melakukan tindak pidana luar biasa seperti terorisme.[39] Selain itu, overcrowd lokasi penahanan dapat menyebabkan fasilitas yang ada didalamnya berkondisi buruk yang mengarah pada tindakan penyiksaan yang dilakukan baik oleh aparat penegak hukum, petugas kemasyarakatan, maupun tahanan lainya. Terlebih di sebagian besar negara jarang sekali terjadi pembebasan tahanan dan tersangka tetap ditahan sampai sidang di pengadilan.[40] Padahal kembali ke esensi awal penahanan yang berfungsi untuk mencegah tersangka untuk melarikan diri atau apapun tindakan yang mengganggu dalam proses hukum pidana.[41]
Seharusnya, upaya paksa penahanan tersangka harus dilakukan dengan hati-hati dengan memenuhi semua syarat objektif dan subjektif yang diatur dalam KUHAP. Oleh karena itu, penting untuk mengimplementasikan asas praduga tak bersalah sehingga tidak menimbulkan overkriminalisasi dan penahanan tersangka yang menyebabkan overcrowd lokasi penahanan. Adanya asas praduga tak bersalah membuat jumlah tahanan tidak meluap di rutan karena penyidik berhati-hati terhadap siapa dan bagaimana menahan tersangka. Selain itu, penahanan seharusnya dilakukan hanya ketika sangat diperlukan karena penahanan merupakan upaya paksa yang pada dasarnya melanggar HAM tahanan yang belum dibuktikan bersalah di pengadilan. Hal ini karena tersangka yang ditahan juga belum tentu dinyatakan bersalah di pada proses pemeriksaan pengadilan. Selain HAM yang terenggut selama masa penahanan, bisa jadi tahanan juga mengalami kerugian baik materil maupun immateril. Oleh karena itu, asas praduga tak bersalah menjadi penting dalam penahanan sehingga potensi untuk menimbulkan kerugian terhadap tahanan menjadi berkurang.
Tak hanya akibat dari overcrowd dan buruk nya fasilitas lokasi penahanan serta belum maksimalnya implementasi asas praduga tak bersalah, masalah etik dari aparat penegak hukum dan petugas pemasyarakatan disebabkan oleh etis profesi yang masih “buruk”. Di Indonesia, budaya korupsi masih berakar kuat yang bahkan menyebar luas sehingga terdapat oknum-oknum nakal yang menyiksa tahanan untuk mendapatkan uang dari mereka sebagai praktek institusional yang dianggap biasa.[42] Adanya tindak pidana akan diawali terlebih dahulu dengan pelanggaran etik, sehingga jika menginkan masalah penyiksaan tahanan dapat berkurang perlu adanya perbaikan etik para penegak hukum di Indonesia.
Permasalahan penyiksaan terhadap tahanan pada proses hukum di Indonesia tidak dapat dibiarkan terus terjadi. Akar permasalahan yang mengarah pada penyiksaan tahanan saling bertaut hingga sampai di garis finish dimana penyiksaan tersebut menjadi budaya yang kerap kali terus berulang. Overcrowd lokasi penahanan dan fasilitas penahanan yang buruk menjadi sebab umum yang mengarah pada penyiksaan tahanan. Belum maksimalnya implementasi asas praduga tak bersalah menjadi benang yang menjahit semua akar permasalahan dan masih buruknya etik dari beberapa penegak hukum menjadi batasan akhir untuk terjadinya penyiksaan yang melanggar HAM tahanan sebagai manusia. Oleh karena itu, diperlukan sistem yang lebih baik lagi dengan adanya pembaruan pada KUHAP yang didalamnya terdapat implementasi dari asas praduga tak bersalah yang lebih maksimal dan perbaikan etik bagi para aparat penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981. LN Tahun 1981 No. 76 TLN No. 3209.
Undang-Undang Tentang Pemasyarakatan, UU Nomor 22 Tahun 2022. LN Tahun 2022 No. 165 TLN No. 6811.
Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, PP Nomor 58 Tahun 2010, LN No. 90 Tahun 2010 TLN. No. 5145.
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perkapolri No. 8 Tahun 2009.
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Permenko Polhukam No. 7 Tahun 2022.
BAB DARI BUKU
Duff, RA. “Risk, Responsibility, and Pre Trial Detention.” Dalam Adriana Placani, ed. Risk and Responsibility in Context. Ed. pertama, cet.1, (New York: Routledge, 2023). Hlm. 73 – 93.
INTERNET
Andriansyah, Anugrah. “Upaya Menghapus Segala Bentuk Penyiksaan Di Penjara.” voaindonesia.com, 12 Juni 2022. Tersedia pada https://www.voaindonesia.com/a/upaya-menghapus-segala-bentuk-penyiksaan-di-penjara/6614191.html. Diakses pada tanggal 6 November 2023.
Dirgantara, Rugal Afgani. “Kisah Pilu Tahanan Polresta Banyumas Penuh Luka Lebam, Keluarga Tuntut Keadilan.” Liputan6.com, 7 Juni 2023. Tersedia pada https://www.liputan6.com/regional/read/5312309/kisah-pilu-tahanan-polresta-banyumas-meninggal-penuh-luka-lebam-keluarga-tuntut-keadilan?page=2. Diakses pada tanggal 24 September 2023.
Kumparan. “Polisi: Oki Tewas karena Dianiaya 10 Napi di Dalam Tahanan Polres Banyumas.” Komparan.com, 16 Juli 2023. Tersedia pada https://kumparan.com/kumparannews/polisi-oki-tewas-karena-dianiaya-10-napi-di-dalam-tahanan-polres-banyumas-20nprts2SJt/full. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2023.
Persada, Syailendra. Et al., “Kisah di Balik Terali Besi.” Interaktif.tempo.co. Tersedia pada https://interaktif.tempo.co/proyek/kisah-di-balik-terali-besi/index.html?lg=id. Diakses pada tanggal 25 September 2023.
Rizky, M. “Terkuak dari Foto: Sangat Banyak Luka di Tubuh Oki Tahanan Polresta Banyumas.” Kumparan.com, 17 Juli 2023. Tersedia pada https://kumparan.com/kumparannews/terkuak-dari-foto-sangat-banyak-luka-di-tubuh-oki-tahanan-polresta-banyumas-20oJzTLGlJZ/full. Diakses pada tanggal 24 September 2023.
Birk, Moritz. Et al. “Pre Trial Detention and Torture: Why Pre Trial Detainess Face the Greatest Risk.” Justiceinitiative.org, 24 Juni 2014. Tersedia pada https://www.justiceinitiative.org/publications/pretrial-detention-and-torture-why-pretrial-detainees-face-greatest-risk. Diakses pada 8 November 2023.
Utami, Kristi Dwi. “Empat Polisi Jadi Tersangka dalam Kasus Tewasnya Tahanan di Banyumas.” Kompas.id, 17 Juli 2023. Tersedia pada https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/07/17/empat-polisi-jadi-tersangka-dalam-kasus-tewasnya-tahanan-di-banyumas. Diakses pada tanggal 25 September 2023.
[1]Rugal Afgani Dirgantara, “Kisah Pilu Tahanan Polresta Banyumas Penuh Luka Lebam, Keluarga Tuntut Keadilan,” Liputan6.com, 7 Juni 2023, tersedia pada https://www.liputan6.com/regional/read/5312309/kisah-pilu-tahanan-polresta-banyumas-meninggal-penuh-luka-lebam-keluarga-tuntut-keadilan?page=2, diakses pada tanggal 24 September 2023.
[2]M. Rizky, “Terkuak dari Foto: Sangat Banyak Luka di Tubuh Oki Tahanan Polresta Banyumas,” Kumparan.com, 17 Juli 2023, tersedia pada https://kumparan.com/kumparannews/terkuak-dari-foto-sangat-banyak-luka-di-tubuh-oki-tahanan-polresta-banyumas-20oJzTLGlJZ/full, diakses pada tanggal 24 September 2023.
[3]Kumparan, “Polisi: Oki Tewas karena Dianiaya 10 Napi di Dalam Tahanan Polres Banyumas,” Komparan.com, 16 Juli 2023, tersedia pada https://kumparan.com/kumparannews/polisi-oki-tewas-karena-dianiaya-10-napi-di-dalam-tahanan-polres-banyumas-20nprts2SJt/full, diakses pada tanggal 10 Oktober 2023.
[4]Kristi Dwi Utami, “Empat Polisi Jadi Tersangka dalam Kasus Tewasnya Tahanan di Banyumas,” Kompas.id, 17 Juli 2023, tersedia pada https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/07/17/empat-polisi-jadi-tersangka-dalam-kasus-tewasnya-tahanan-di-banyumas, diakses pada tanggal 25 September 2023.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Syailendra Persada, et al., “Kisah di Balik Terali Besi,” Interaktif.tempo.co, tersedia pada https://interaktif.tempo.co/proyek/kisah-di-balik-terali-besi/index.html?lg=id, diakses pada tanggal 25 September 2023.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Kitab Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981, LN Tahun 1981 No. 76 TLN No. 3209, selanjutnya disebut KUHAP, Pasal 21 ayat (1).
[12]Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, PP Nomor 58 Tahun 2010, LN No. 90 Tahun 2010 TLN. No. 5145, Pasal 1 angka 2.
[13]KUHAP, Pasal 20.
[14]KUHAP, Pasal 20.
[15]KUHAP, Pasal 21.
[16]KUHAP, Pasal 22.
[17]KUHAP, Pasal 23.
[18]Ibid.
[19]KUHAP, Pasal 30.
[20]Peraturan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Permenko Polhukam No. 7 Tahun 2022, selanjutnya disebut Permenko Polhukam No. 7 Tahun 2022, Pasal 3 ayat (1).
[21]Permenko Polhukam No. 7 Tahun 2022, Pasal 10 ayat (2).
[22]Permenko Polhukam No, 7 Tahun 2022, Pasal 13.
[23]Permenko Polhukam No, 7 Tahun 2022, Pasal 107.
[24]Permenko Polhukam No, 7 Tahun 2022, Pasal 108-109.
[25]Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkapolri No. 8 Tahun 2009, selanjutnya disebut Perkapolri No. 8 Tahun 2009, Pasal 5
[26]Perkapolri No. 8 Tahun 2009, Pasal 10
[27]Perkapolri No. 8 Tahun 2009, Pasal 23.
[28]Perkapolri No. 8 Tahun 2009, Pasal 24.
[29]Undang-Undang Tentang Pemasyarakatan, UU Nomor 22 Tahun 2022, LN Tahun 2022 No. 165 TLN No. 6811, selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan, Pasal 1.
[30]UU Pemasyarakatan Pasal 2.
[31]UU Pemasyarakatan, Pasal 7.
[32]UU Pemasyarakatan, Pasal 66 ayat (2).
[33]UU Pemasyarakatan, Pasal 86 ayat (1).
[34]UU Pemasyarakatan, Pasal 86 ayat (2).
[35]Moritz Birk, et al.,“Pre Trial Detention and Torture: Why Pre Trial Detainess Face the Greatest Risk,” justiceinitiative.org, 24 Juni 2014, tersedia pada https://www.justiceinitiative.org/publications/pretrial-detention-and-torture-why-pretrial-detainees-face-greatest-risk, diakses pada 8 November 2023.
[36]Ibid.
[37]Anugrah Andriansyah, “Upaya Menghapus Segala Bentuk Penyiksaan Di Penjara,” voaindonesia.com, 12 Juni 2022, tersedia pada https://www.voaindonesia.com/a/upaya-menghapus-segala-bentuk-penyiksaan-di-penjara/6614191.html, diakses pada tanggal 6 November 2023.
[38]Moritz Birk, et al., “Pre Trial Detention and Torture: Why Pre Trial Detainess Face the Greatest Risk,” justiceinitiative.org, 24 Juni 2014, tersedia pada https://www.justiceinitiative.org/publications/pretrial-detention-and-torture-why-pretrial-detainees-face-greatest-risk, diakses pada 8 November 2023.
[39]Birk, et al., “Pre Trial Detention…”
[40]Ibid.
[41]RA Duff, “Risk, Responsibility, and Pre Trial Detention,” dalam Adriana Placani, ed., Risk and Responsibility in Context, ed. pertama, cet.1, (New York: Routledge, 2023), hlm. 74.
[42]Moritz Birk, et al., “Pre Trial Detention and Torture: Why Pre Trial Detainess Face the Greatest Risk,” justiceinitiative.org, 24 Juni 2014, tersedia pada https://www.justiceinitiative.org/publications/pretrial-detention-and-torture-why-pretrial-detainees-face-greatest-risk, diakses pada tanggal 8 November 2023.