KOMPAS.com - Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) kembali memangkas suku bunga acuannya, namun sinyal kebijakan ke depan masih belum pasti. Dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Rabu (29/10/2025) waktu Washington DC, (Kamis 30 Oktober 2025 waktu Indonesia) The Fed menurunkan suku bunga acuan menjadi kisaran 3,75 persen hingga 4 persen.
Pemangkasan ini merupakan yang kedua secara beruntun, dengan hasil voting 10 anggota mendukung dan dua menolak. Gubernur Stephen Miran memilih pemangkasan yang lebih besar sebesar 0,5 poin, sementara Presiden The Fed Kansas City Jeffrey Schmid justru menolak pemangkasan.
Selain menurunkan suku bunga, The Fed juga mengumumkan penghentian kebijakan quantitative tightening (QT) atau pengurangan aset yang selama ini dilakukan. Proses tersebut akan berakhir pada 1 Desember 2025.
Baca juga: Prediksi Rupiah Besok, Usai Melemah ke Rp 16.636 Imbas The Fed Pangkas Suku Bunga
Dalam keterangan pers seusai rapat, Ketua The Fed Jerome Powell menegaskan bahwa langkah selanjutnya belum tentu kembali ke arah pelonggaran.
“Ada pandangan yang sangat berbeda di dalam komite mengenai langkah yang akan diambil pada Desember. Pemangkasan suku bunga lebih lanjut bukanlah sesuatu yang pasti,” ujar Powell di Washington DC, Rabu (29/10/2025) waktu AS, dikutip dari CNBC.
Menurut Powell, sebagian anggota FOMC mulai condong untuk “menunggu satu siklus” sebelum mengambil keputusan baru. Pernyataan itu membuat pasar keuangan bereaksi hati-hati. Berdasarkan data CME Group’s FedWatch, peluang pemangkasan suku bunga pada Desember turun menjadi 67 persen, dari sebelumnya 90 persen.
Sementara itu, saham-saham di bursa Wall Street sempat berbalik melemah setelah pernyataan Powell, meski perlahan pulih pada akhir sesi perdagangan.
Baca juga: The Fed Turunkan Suku Bunga, Ekonom Nilai Jadi Angin Segar bagi Ekonomi Indonesia
The Fed mengambil keputusan ini di tengah keterbatasan data ekonomi karena sebagian besar publikasi statistik pemerintah AS masih tertunda. Hanya indeks harga konsumen (CPI) yang dirilis pekan lalu, menunjukkan inflasi tahunan sebesar 3 persen, didorong kenaikan harga energi dan barang-barang yang terkait tarif impor Presiden Donald Trump.
“Data yang tersedia menunjukkan aktivitas ekonomi masih tumbuh dengan laju moderat. Pertumbuhan lapangan kerja melambat dan tingkat pengangguran sedikit naik, meski tetap rendah hingga Agustus,” demikian pernyataan resmi FOMC.
The Fed menegaskan masih menghadapi risiko penurunan di pasar tenaga kerja, meski tekanan harga belum turun ke target 2 persen.
Kebijakan penghentian QT juga menjadi sinyal penting. Program yang telah berlangsung sejak pandemi Covid-19 itu sebelumnya memangkas neraca The Fed hingga 2,3 triliun dollar AS atau sekitar Rp 37.950 triliun dari total 6,6 triliun dollar AS (setara Rp 108.900 triliun).
Baca juga: The Fed Turunkan Suku Bunga, Fokus ke Risiko Perlambatan Ekonomi