
DALAM cerita klasik The Emperor’s New Clothes, seorang raja diperdaya oleh dua penipu yang mengaku membuat pakaian ajaib yang hanya bisa dilihat oleh orang bijak.
Karena takut dianggap bodoh, semua pejabat berpura-pura memujinya. Hingga akhirnya, seorang anak kecil berteriak jujur, “Raja tidak memakai apa-apa!”
Kadang bangsa ini seperti sang raja. Kita tahu sistemnya salah, tetapi pura-pura baik-baik saja. Kita rayakan kebijakan lama dengan istilah baru, seolah-olah ganti nama berarti ganti nasib.
Setiap kali masalah muncul lagi, kita berpura-pura terkejut—padahal jauh di dalam hati, kita semua tahu: raja memang tak pernah berpakaian.
Kita menjadi bangsa yang sibuk, tetapi tidak bergerak maju. Persoalan lama terus dibahas dengan istilah baru, dan kita bangga karena rodanya masih berputar, padahal arah kita tetap di titik semula.
Persoalan yang sama muncul, dibahas, lalu dilupakan—hingga suatu hari kembali dengan wajah yang serupa.
Maka ketika isu pengangguran di kalangan muda kembali mencuat dalam pembicaraan publik, tak seorang pun benar-benar terkejut. Seolah-olah ini hanya bagian dari siklus tahunan yang terus berulang tanpa penyelesaian nyata.
Pada Februari 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali merilis data yang menunjukkan bahwa penyakit lama itu belum juga sembuh: angkatan muda Indonesia tetap menjadi kelompok paling rentan terhadap pengangguran.
Baca juga: Gen Z yang Terabaikan (Lagi) dari Panggung Kebijakan
Fenomena ini bukan sekadar deretan angka yang datang dan pergi setiap tahun, melainkan cerminan dari persoalan struktural yang tak kunjung terselesaikan— kenyataan yang menandakan bahwa sistem ketenagakerjaan nasional belum mampu menjawab dinamika zaman dan kebutuhan generasi mudanya.
Kelompok usia 15 hingga 24 tahun, yang secara demografis termasuk Generasi Z, kembali mencatatkan diri sebagai segmen dengan tingkat pengangguran terbuka tertinggi di Indonesia.
Jumlah penganggur dalam kelompok ini diperkirakan mencapai sekitar 3,5 juta orang—lebih dari separuh total pengangguran nasional.
Dengan kata lain, lebih dari separuh penganggur di negeri ini adalah anak muda.
Kenyataan ini memperlihatkan adanya persoalan mendasar dalam sistem ketenagakerjaan nasional: lembaga pendidikan belum menyiapkan keterampilan relevan, dunia industri belum cukup adaptif, dan kebijakan negara belum berpihak pada penciptaan lapangan kerja nyata.
Masalah ini bukan sekadar sulitnya mencari pekerjaan. Ia adalah cermin dari ketimpangan serius antara sistem pendidikan dan kebutuhan ekonomi riil yang terus berubah.
Dunia kerja kini menuntut keterampilan adaptif, teknis, dan kontekstual. Sementara sistem pendidikan masih berjalan di atas rel lama yang lebih menekankan teori ketimbang kemampuan praktis.
Akibatnya, jutaan lulusan terjebak di antara dua dunia yang tak pernah bertemu: dunia pendidikan yang penuh idealisme dan dunia kerja yang menuntut pragmatisme.
Mereka memiliki ijazah, tapi tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan pasar. Mereka punya semangat, tapi sistem tidak memberi jalan untuk memulainya.
Dalam jangka panjang, situasi ini melahirkan frustrasi sosial, menurunkan produktivitas nasional, dan mengikis kepercayaan diri generasi muda terhadap institusi negara.
Lebih memprihatinkan lagi, kelompok NEET (Not in Education, Employment, or Training)—yakni mereka yang tidak bekerja, tidak bersekolah, dan tidak mengikuti pelatihan—mencapai 9,9 juta jiwa.
Itu berarti hampir satu dari sepuluh anak muda Indonesia benar-benar terlepas dari aktivitas produktif.