Stres di tempat kerja mengakibatkan kelelahan mental dan fisik yang jika tidak diatasi akan menimbulkan gangguan fisik dan kesehatan mental.
Oleh Margaretha Puteri Rosalina, Albertus Krisna, M Paschalia Judith J
22 Agt 2024 12:00 WIB · Tutur Visual
Artikel terakhir dari liputan Jurnalisme Data "Kesehatan Mental"
Tempat bekerja bisa menjadi sumber stres bagi pekerja. Dari beban pekerjaan yang terlalu berat, lingkungan kerja yang toksik, hingga gaji yang ’pas-pasan’. Stres di tempat kerja ini bisa mengakibatkan kelelahan mental, fisik, dan perilaku yang jika tidak diatasi akan berdampak pada gangguan fisik si pekerja hingga keluarga di rumah.
Sophia (24), karyawan swasta di Bandung, Jawa Barat, dua tahun terakhir sering merasa cemas, mengalami gangguan tidur dan nafsu makan. Terkadang dia juga kurang konsentrasi karena merasa mendengar suara-suara berisik di kepala. Pernah juga dia hampir mengakhir hidupnya.
Itu semua dampak dari beban pekerjaan Sophia yang dirasa terlalu berat, hubungan antara atasan dan bawahan yang kurang baik, serta gaji yang rendah.
Awal tahun lalu, Sophia memberanikan diri menghubungi layanan kesehatan mental. Diawali dengan mengisi skrining tes kesehatan mental secara daring. Setelah itu, ia berobat ke psikiater.
Obat yang diberikan psikiater membantunya untuk mengatasi gangguan yang muncul. Bahkan, per Agustus ini, Sophia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan yang membuatnya stres.
Cerita Sophia menunjukkan dia telah mengalami gangguan kesehatan mental karena pekerjaan. Dia tidak hanya mengalami stres, tetapi sampai mengalami burnout, kelelahan fisik dan mental, sehingga membuatnya tidak bisa bekerja.
Apakah Anda mengalami stres dan burnout di kantor seperti Sophia? Hal ini bisa diketahui dari skrining tes kesehatan mental berikut ini. Jika nilai skor Anda tinggi, sebaiknya segera menghubungi profesional kesehatan mental, seperti psikolog ataupun psikiater.
Interpretasi:
Skor ≤ 15: relatif tenang dan tidak mengalami stres kerja
Skor 16-20: stres kerja yang cukup rendah
Skor 21-26: stres kerja tingkat sedang
Skor 26-30: stres kerja tingkat tinggi atau parah
Skor 31-40: stres kerja yang memiliki potensi berbahaya
Interpretasi:
Kelelahan Emosional:
Skor ≥ 27: tinggi
Skor 19-26: sedang
Skor ≤ 18: rendah
Pencapaian pribadi:
Skor ≥ 10: tinggi
Skor 6-9: sedang
Skor ≤ 5: rendah
Sinisme:
Skor ≤ 34: burnout tinggi
Skor 34-39: sedang
Skor ≥ 40: rendah
Bedanya pada durasi. Respons stres lebih jangka pendek. Burnout durasinya lebih panjang daripada stres dan terjadi berulang-ulang.
Merujuk dari laman Kementerian Kesehatan, stres adalah sebuah reaksi dari seseorang, baik secara fisik maupun emosional, yang dialami apabila terdapat perubahan dari lingkungan yang mengharuskan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dalam jangka waktu tertentu. Adapun burnout adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang yang merasa stres serta kelelahan emosional dan fisik.
Dosen Psikologi Universitas Diponegoro, Ika Zenita, mengatakan, antara stres dan burnout pada pekerja itu saling berkaitan.
”Bedanya pada durasi. Respons stres lebih jangka pendek. Burnout durasinya lebih panjang daripada stres dan terjadi berulang-ulang,” ujar Zenita.
Stres, lanjut Zenita, ditandai dengan respons fisik yang mudah dideteksi oleh masyarakat umum, seperti detak jantung bekerja lebih cepat, keringat dingin bercucuran, sakit perut yang tiba-tiba tidak beralasan, dan ketegangan otot di sekitar kepala.
”Tanda-tanda fisik itu menjadi alarm supaya kita berhenti sejenak dari hal apa yang membuat kita tertekan. Bisa dengan relaksasi, yang tiap orang caranya berbeda-beda,” kata Zenit menjelaskan.
Menurut Zenit, ciri orang yang mengalami burnout adalah mengalami kelelahan yang luar biasa dan merasa tidak berdaya. ”Jika tidak segera ditangani, performa pekerja akan turun, kehilangan minat, dan ujungnya terpikir untuk resign,” kata Zenit.
”Dampak burnout lebih besar daripada stres. Bisa sampai ke depresi, gangguan tidur, gangguan otot kaku, lelah berlebih, hingga kesehatan terganggu,” kata Zenit.
Hal yang sama juga dirasakan Husaein (27), aparat desa di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Bekerja dengan teman sejawat yang mayoritas berusia jauh lebih tua membuat hampir semua pekerjaan dari kawan-kawannya tersebut dilimpahkan ke Husaein.
Akibatnya, bapak satu anak ini akhir-akhir ini sering sakit. Sakit yang dialami mulai dari pusing hingga demam. Bahkan, ia pernah sakit kepala hingga satu minggu tidak kunjung sembuh.
Ketika gangguan itu muncul, Husaein biasanya hanya berdiam diri istirahat di rumah dan itu biasanya berkurang sendiri. Namun, ketika keesokan harinya ia berangkat ke kantor, ia kembali sakit dan akhirnya izin tidak masuk kantor.
Husaein sebenarnya berusaha untuk berkonsultasi dengan psikolog, tetapi tidak ada layanan psikolog yang bisa diakses dengan BPJS Kesehatan di lokasi tempat tinggalnya. Selain itu, adanya stigma bahwa jika berkonsultasi ke psikolog adalah orang gila membuat Husaein membiarkan gejala-gejala gangguan mental yang muncul.
Tak hanya beban pekerjaan yang berat, lingkungan kerja yang toksik juga bisa memengaruhi kesehatan mental pekerja. Salah satunya Melati (26), guru yang tinggal di Banten, yang menilai kantornya tidak memedulikan keselamatan kerja karyawan.
Melati pernah mengalami kecelakaan kerja di kantor dan mengalami patah tulang di area betis belakang lutut. Surat dokter menyatakan Melati harus istirahat sebulan lebih. Sayangnya, pihak kantor tidak memperbolehkan cuti dan tetap harus masuk kantor.
Tidak hanya itu, urusan kantor kadang mengusik Melati di hari libur. Rekan-rekan kantornya pun dinilai suka mencampuri kehidupan pribadi yang membuatnya risih.
Akibatnya, kesehatan mentalnya pun terganggu dan merambat ke kondisi fisik. Dia menderita penyakit asam lambung hingga enam bulan sejak tahun lalu hingga tahun ini. Dia juga merasa pusing dan deg-degan.
Dia mencoba untuk berkonsultasi dengan psikolog. Namun, karena adanya kuota pasien di psikolog rujukan dari fasilitas kesehatan, ia urung untuk melakukan konsultasi.
Penyelesaian stres bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan masalah atau strategi coping. Setiap orang mempunyai cara yang berbeda untuk melepas stres di tempat kerja, dari nongkrong sambil melamun, makan di minimarket, ataupun dengan mendengarkan musik. Bisa juga melepas stres dengan istirahat sejenak di kantor dengan merilekskan otot.
Seperti Melati yang memilih minimarket di dekat kantornya untuk melepas stres karena pekerjaan. Biasanya, dia menghabiskan waktu selama satu hingga setengah jam untuk makan ataupun sekadar nongkrong. Makanan favoritnya adalah spaghetti dan makanan-makanan manis.
”Ya, sudah, aku makan doang, duduk di depan kursi-kursi itu. Kalau ada kerjaan, ya, sambil mengerjakan. Atau, ya, cuma diam saja. Yang penting saya sendiri,” katanya sambil tertawa.
Co-Founder Komunitas Kesehatan Mental Menjadi Manusia Levina Purnamadewi dalam acara ”Focused Work” mengajak pekerja melakukan sesi rehat sejenak saat sibuk bekerja. Levina mengajak mereka mengencangkan dan merilekskan otot yang diselingi latihan pernapasan. Acara tersebut diselenggarakan di Kafe Kroma, Jakarta Selatan, sebagai salah satu rangkaian acara ”Hari Menjadi Manusia” akhir Juli lalu.
”Kita suka duduk dan bekerja berjam-jam. Oleh sebab itu, kami mengarahkan peserta untuk berdiri dan merenggangkan kaki dan tangan supaya peredaran darah lebih lancar. Selain itu, jangan lupa buat ngobrol dengan orang-orang sekitar, jangan hanya berelasi dengan laptop,” tuturnya.
Cuti diperlukan untuk melepas kelelahan supaya sesaat berjarak dari pekerjaan serta bisa memandang kembali pekerjaan kita dengan positif.
Zenit menjelaskan, ada dua strategi coping, yakni emotion focus coping dan problem focus coping. Dalam emotion copus coping, kata Zenit, mengubah emosi negatif ke netral. ”Misalnya, kita meyakinkan diri kita sendiri, ’oh ini baik-baik saja, tidak ada masalah’ gitu. Bisa dengan mendengarkan musik untuk relaksasi,” kata Zenit.
Problem focus coping ini, lanjut Zenit, dengan mencari penyebab stres terlebih dulu. Contohnya, stres karena deadline, bisa jadi ada dua penyebab, yakni manajemen waktu pekerja yang tidak bagus dan beban pekerjaan yang terlalu berat. ”Jika alasan manajemen waktu pekerja, itu terkait dengan individu pekerja. Jika beban pekerjaan terlalu berat, masalah ada di organisasi atau tim kerja,” kata Zenit.
Jika sudah terjadi burnout atau kelelahan, lanjut Zenit, yang diperlukan adalah pemulihan dengan beristirahat. ”Kalau orang kerja, ya, butuh cuti saat merasa sangat lelah,” kata Zenit.
Cuti ini diperlukan, kata Zenit, untuk melepas kelelahan supaya sesaat berjarak dari pekerjaan serta bisa memandang kembali pekerjaan kita dengan positif.
Zenit juga menyarankan supaya perusahaan menyediakan program kesehatan mental bagi karyawanannya. ”Bisa dengan menyediakan psikolog untuk konseling atau terapi atau melatih para pemimpin perusahaan untuk mengenali tanda-tanda jika anak buahnya sudah mulai stres atau burnout,” tutur Zenit.
Sementara itu, jika merasa lingkungan kantor mengganggu kesehatan mental, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Anwar Sanusi mengatakan, pekerja dapat melaporkannya pada layanan aduan masyarakat di Kemenaker. Setiap laporan yang masuk akan diinvestigasi dan, jika laporan itu terbukti benar, Kemenaker akan memberikan sanksi administratif hingga rekomendasi penghentian usaha.
Bagaimana dengan kamu? Setelah mengisi tes skrining kesehatan mental, apakah kamu merasa stres atau, lebih parahnya, merasa burnout?
Apa pun hasilnya, berilah waktu beristirahat sejenak pada tubuhmu saat sibuk bekerja supaya kesehatan mentalmu tetap terjaga!
Kerabat Kerja
Penulis:
Margaretha Puteri Rosalina, Albertus Krisna, M Paschalia Judith JEditor:
Andy Riza HidayatFoto:
Albertus Krisna, Riza Fathoni, Adryan Yoga Paramadwya, Kelik Sugiarto (Olah Foto), Hikmatullah (Olah Foto), Susetyo Wijatmoko (Olah Foto)Cover:
Cahyo HeryunantoPenyelaras Bahasa:
Teguh CandraProduser:
Andy Riza Hidayat, Margaretha Puteri RosalinaVideo:
M Paschalia Judith JIlustrator:
Cahyo Heryunanto