ChatGPT Versus Manusia: Bagaimana Membedakannya?

Dapatkah Anda membedakan apakah tulisan yang Anda baca saat ini ditulis oleh manusia atau dibuat oleh kecerdasan buatan?

Oleh Ahmad Arif

02 Mei 2025 11:38 WIB · Humaniora

Semakin banyak orang, termasuk siswa, mahasiswa, dan jurnalis yang memakai kecerdasan buatan untuk menulis. Karena teknologi terus berkembang, semakin sulit membedakan antara konten yang dihasilkan kecerdasan buatan dan yang dihasilkan manusia.

Baru-baru ini, platform sosial media X ramai dengan unggahan yang mempertanyakan media daring yang dituding menggunakan AI atau kecerdasan buatan dalam beritanya. Sebab, ada kalimat di tubuh berita yang mencirikan kerja ChatGPT, yaitu ”Apakah kamu ingin saya bantu mengubahnya ke gaya penulisan berita straight news atau feature?”

Tak lama kemudian, kalimat di tubuh berita politik internasional itu telah dihapus oleh media bersangkutan. Tanpa ”insiden” sisipan kalimat khas ChatGPT, publik akan sulit membedakan, apakah artikel itu ditulis AI atau manusia, dalam hal ini jurnalis.

Penggunaan AI dalam jurnalisme saat ini memang meluas walaupun umumnya sebagai alat bantu. Kerja akhir umumnya masih ada di tangan jurnalis atau editornya. Sejauh mana penggunaan AI dalam produksi berita sebaiknya juga disampaikan secara terbuka untuk transparansi kepada pembaca.

New York Times dalam terbitannya pada 7 Oktober 2024 lalu, misalnya mengumumkan, ”Kami tidak menggunakan AI untuk menulis artikel, dan jurnalis pada akhirnya bertanggung jawab atas segala sesuatu yang kami publikasikan.” Namun, mereka menggunakan AI untuk menyaring data yang digunakan untuk pelaporan investigasi, membuat versi audio dari artikel mereka, dan menawarkan rekomendasi artikel.

”Kecerdasan buatan juga membantu kami membuat The Times lebih mudah diakses oleh lebih banyak orang. Anda dapat mendengarkan sebagian besar artikel kami melalui teknologi suara otomatis, dan membaca artikel dalam bahasa Spanyol yang dibuat dengan bantuan model terjemahan. Kami mengedit terjemahan secara menyeluruh sebelum dipublikasikan,” tulis editorial New York Times.

Bulan lalu, media Il Foglio dari Italia mengumumkan untuk mencetak edisi yang sepenuhnya dibuat dengan AI. Surat kabar harian dengan sirkulasi sekitar 29.000 eksemplar itu menjadi media cetak pertama di dunia yang mencetak hasil tulisan kecerdasan buatan, meliputi tajuk utama, artikel, sidebar, bahkan surat kepada editor. Mereka melakukan itu sebagai eksperimen untuk melihat respons pembaca sehingga pembaca tahu mana yang ditulis AI dan jurnalis.

Di luar etika penggunaan AI, yang saat ini masih menjadi perdebatan, pembaca akan semakin sulit melihat perbedaan produk mesin dan manusia. Tak hanya di jurnalisme, penggunaan AI di dunia pendidikan bahkan lebih marak lagi.

Pengujung melihat AI Trns Screen, salah satu teknologi berbasis kecerdasan buatan yang dipamerkan dalam ajang GITEX ASIA 2025 x Ai Everything Singapore yang berlangsung di Marina Bay Sands, Singapura, Kamis (24/4/2025)
Kompas/Vina Oktavia
Pengunjung melihat AI Trns Screen, salah satu teknologi berbasis kecerdasan buatan yang dipamerkan dalam ajang GITEX ASIA 2025 x Ai Everything Singapore yang berlangsung di Marina Bay Sands, Singapura, Kamis (24/4/2025).

Menurut Higher Education Policy Institute, Inggris, pada Februari 2024, lebih dari separuh siswa menggunakan AI generatif untuk membantu penilaian mereka, dan sekitar 5 persen siswa mengakui menggunakannya untuk menyontek. Sementara survei dari Universitas Stanford yang dirilis pada Desember 2023 menunjukkan, antara 60 dan 70 persen siswa di 40 sekolah di AS yang diteliti menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas sekolah mereka.

Di dunia mahasiswa, penggunaan AI juga sangat tinggi. Menurut laporan Riipen pada 2024, sekitar 56 persen mahasiswa telah mengakui menggunakan AI untuk tugas atau ujian, dengan 60,8 persen mahasiswa melaporkan bahwa mereka pernah menyontek di beberapa titik dalam karier akademis mereka, sering kali tanpa rasa bersalah.

Banyak mahasiswa juga menggunakan alat seperti Word Spinner untuk memanusiakan teks yang dihasilkan AI, membuatnya terdengar seolah-olah ditulis oleh orang sungguhan. Karena konten yang dihasilkan AI sering kali memiliki pola yang dapat dideteksi, siswa menggunakan Word Spinner untuk menulis ulang dan menyempurnakan esai mereka untuk menghindari deteksi oleh guru dan alat deteksi AI.

Manerep Pasaribu menjelaskan tentang kecerdasan buatan dan inovasi dalam bedah buku karyanya bertajuk Perspektif Manajemen Strategis Kewirausahaan dan Inovasi: Menjawab tantangan di Era Kecerdasan Buatan, di Kompas Institute, Jakarta, Sabtu (12/4/2025).
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Manerep Pasaribu menjelaskan tentang kecerdasan buatan dan inovasi dalam bedah buku karyanya bertajuk "Perspektif Manajemen Strategis Kewirausahaan dan Inovasi: Menjawab tantangan di Era Kecerdasan Buatan", di Kompas Institute, Jakarta, Sabtu (12/4/2025).

Membedakan karya mesin dan manusia

Seiring dengan semakin canggih dan meluasnya penggunaan AI, membedakan tulisan hasil AI dengan tulisan yang dibuat manusia menjadi semakin sulit. Lembaga pendidikan tinggi dan para pendidik tengah mengintensifkan upaya untuk mendeteksi dan mencegah kecurangan AI.

Alat utama untuk memerangi kecurangan AI yang kerap dipakai adalah perangkat lunak deteksi plagiarisme, seperti Turnitin dan alat deteksi AI lainnya. Mereka menggunakan teknologi yang sama untuk mendeteksi pola yang menjadi ciri khas tulisan yang dihasilkan AI, menganalisis kiriman berdasarkan basis data besar sumber akademis dan karya siswa.

Meskipun demikian, ada kekhawatiran tentang keakuratan alat tersebut, termasuk risiko positif palsu dan kemampuan mereka membedakan antara konten yang dihasilkan AI dan karya siswa asli dengan andal. Sementara itu, identifikasi secara manual juga tidak mudah.

Membedakan tulisan hasil AI dengan tulisan yang dibuat manusia menjadi semakin sulit.

Para peneliti dari University of California San Diego dan Universitas Jilin, China, dalam sebuah eksperimen dengan ChatGPT di sebuah sekolah menengah atas di daerah tersebut, menunjukkan kesulitan identifikasi karya yang ditulis AI dan pelajar. Laporan ini ditulis Tal Waltzer dan Gail Heyman dari Department of Psychology di jurnal Human Behavior and Emerging Technologies tahun 2023.

Para peneliti menguji guru dan siswa dengan sepasang esai—satu oleh siswa sekolah menengah atas dan yang lainnya oleh ChatGPT—dan meminta mereka mengidentifikasi esai mana yang merupakan karya manusia dan mana yang merupakan karya model bahasa AI. Guru menjawab dengan benar 70 persen, sedangkan siswa memperoleh nilai rata-rata 62 persen.

Nilai-nilai itu mungkin tidak tampak buruk. Namun para peneliti mengatakan angka-angka itu seharusnya jauh di atas 90 persen jika mudah untuk membedakannya. Kepercayaan diri juga tidak berkorelasi dengan akurasi. Orang-orang yang mengira mereka dapat mengenali karya AI tidak lebih baik daripada mereka yang kurang yakin dengan kemampuan mereka.

”Kami terkejut bahwa guru yang memiliki pengalaman dengan ChatGPT atau memiliki riwayat mengajar bahasa Inggris di sekolah menengah merasa tugas tersebut sangat kesulitan (membedakan tulisan AI dan siswa),” kata penulis senior Gail Heyman.

Data penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam berbagai bidang yang dirilis perusahaan AI asal Amerika Serikat, Anthropic, dalam laporan bertajuk Indeks Ekonomi Anthropic.
ARSIP ANTHROPIC
Data penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam berbagai bidang yang dirilis perusahaan AI asal Amerika Serikat, Anthropic, dalam laporan bertajuk Indeks Ekonomi Anthropic.

Temuan ini menggarisbawahi kekhawatiran yang meluas tentang siswa yang berpotensi menyerahkan esai yang dibuat AI sebagai karya mereka sendiri dan lolos begitu saja. ”Namun, salah satu aspek yang paling menarik—dan meresahkan—dari penelitian kami adalah bahwa guru berkinerja lebih buruk pada tugas identifikasi ketika sepasang esai menyertakan esai siswa yang ditulis dengan sangat baik. Bahkan, banyak guru mengatakan bahwa mereka menduga esai yang ditulis dengan lebih baik dibuat oleh ChatGPT,” kata Heyman.

Temuan ini menunjukkan bahwa guru lebih cenderung ’menuduh’ esai yang ditulis dengan baik sebagai hasil buatan AI. Hal ini bisa menjadi positif palsu yang memiliki beberapa implikasi yang berpotensi mengkhawatirkan dalam lingkungan kelas dunia nyata.

Sentuhan personal

Penelitian baru dari University of East Anglia (UEA) Inggris, yang diterbitkan dalam Written Communication pada 30 April 2025, memberi perspektif menarik untuk mengetahui celah perbedaan karya manusia dan AI. Penelitian ini membandingkan karya 145 mahasiswa sungguhan dengan esai yang dihasilkan oleh ChatGPT.

Tim peneliti menganalisis 145 esai yang ditulis mahasiswa universitas sungguhan dan 145 lainnya yang dibuat ChatGPT. Ken Hyland dari UEA’s School of Education and Lifelong Learning, yang menjadi penulis utama riset ini, menyebutkan, sejak dirilis ke publik, ChatGPT telah menimbulkan kecemasan yang cukup besar di kalangan guru yang khawatir bahwa siswa akan menggunakannya untuk menulis tugas mereka.

”Ketakutannya adalah bahwa ChatGPT dan alat tulis AI lainnya berpotensi memfasilitasi kecurangan dan dapat melemahkan keterampilan literasi inti dan berpikir kritis. Hal ini terutama terjadi karena kita belum memiliki alat untuk mendeteksi teks yang dibuat AI secara andal,” katanya.

Menurut para peneliti, meskipun esai AI ditemukan sangat koheren dan tata bahasanya bagus, esai tersebut kurang dalam satu area penting: tidak memiliki sentuhan pribadi. ”Kami menemukan bahwa esai yang ditulis oleh siswa sungguhan secara konsisten menampilkan serangkaian strategi keterlibatan yang kaya sehingga membuatnya lebih interaktif dan persuasif,” katanya.

Hyland menambahkan, esai-esai yang dibuat mahasiswa penuh dengan pertanyaan retoris, sisipan pribadi, dan seruan langsung kepada pembaca—semua teknik yang meningkatkan kejelasan, koneksi, dan menghasilkan argumen yang kuat.

”Esai ChatGPT, di sisi lain, meskipun fasih secara linguistik, lebih impersonal. Esai AI meniru konvensi penulisan akademis tetapi tidak dapat menyuntikkan teks dengan sentuhan pribadi atau menunjukkan sikap yang jelas. Namun, esai-esai tersebut cenderung menghindari pertanyaan dan membatasi komentar pribadi. Secara keseluruhan, esai-esai tersebut kurang menarik, kurang persuasif, dan tidak ada perspektif yang kuat tentang suatu topik,” katanya.

Pemanfaatan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (Artificial intelligence/AI), ChatGPT, di sebuah kantor di Jakarta, Selasa (7/3/2023). ChatGPT adalah chatbot AI berupa model bahasa generatif yang menggunakan teknologi transformer untuk memprediksi probabilitas kalimat atau kata berikutnya dalam suatu percakapan ataupun perintah teks. Kompas/Hendra A Setyawan (HAS)
KOMPAS
Pemanfaatan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI), ChatGPT, di sebuah kantor di Jakarta, 7 Maret 2023.

Menurut Hyland, ciri khas tulisan AI ini mencerminkan sifat data pelatihan dan metode pembelajaran statistiknya, yang mengutamakan koherensi daripada nuansa percakapan.

Meskipun memiliki kekurangan, penelitian tersebut tidak mengabaikan peran AI di pendidikan—dan juga jurnalisme. Bagaimanapun, laju deras AI tidak akan bisa dibendung. Pada akhirnya, dengan evolusi teknologi, upaya membedakan karya AI dengan karya tulis manusia bakal lebih sulit lagi. Hyland merekomendasikan, alat seperti ChatGPT sebenarnya bisa digunakan sebagai alat bantu pengajaran, jangan menjadi alat untuk jalan pintas.

Maka, yang dibutuhkan saat ini bukan hanya pelajaran dan keterampilan menulis, tapi terutama cara berpikir dan kesadaran moral atau integritas, sesuatu yang tidak dapat ditiru oleh algoritma mana pun.


Kerabat Kerja

Penulis:

Ahmad Arif
 | 

Editor:

Adhitya Ramadhan
 | 

Penyelaras Bahasa:

Lucia Dwi Puspita Sari