Seandainya Descartes hidup di abad ke-21, barangkali ia akan meralat ungkapan terkenalnya, ”Cogito, ergo sum” menjadi ”Consumo, ergo sum”, yang berarti ”Aku mengonsumsi, maka aku ada”. Dalam masyarakat kontemporer, daya konsumsi telah menggantikan kesadaran sebagai dasar eksistensi manusia. Identitas tidak lagi dibangun dari akumulasi pemikiran dan pengetahuan, tetapi dari apa yang kita miliki, beli, dan pamerkan.
Kekuatan konsumerisme telah mencengkeram hampir seluruh aspek kehidupan. ”The accumulation of goods” kini menjadi ukuran stratifikasi sosial, dan gaya hidup konsumtif menjadi aspirasi lintas kelas.
Fenomena antrean panjang demi makanan viral, telepon seluler (ponsel) edisi baru, atau tiket konser bukanlah sekadar memenuhi kebutuhan, tetapi lebih kepada mengejar nilai simbolik yang melekat pada komoditas itu.
Kegiatan belanja kini sudah menjadi ekspresi eksistensial sehingga momen unboxing dan mengunyah makanan yang seharusnya personal kini dibagikan kepada khalayak umum melalui media sosial.
KOMPAS/NELI TRIANAAntrean panjang di salah satu gerai donat viral di Blok M, Jakarta Selatan, pada 4 Mei 2024 menjelang malam.
Konsumerisme absolut
Sehari saja kita sulit lepas dari aktivitas konsumsi. Dari bangun tidur hingga malam hari, kita disuguhi pilihan untuk membeli. Mulai dari membeli sarapan lewat aplikasi meski kulkas penuh terisi, minuman dari deretan gerai waralaba yang menggoda meski di kantor juga tersedia, hingga berbagai jajanan di sore hari sembari perjalanan pulang kembali.
Aplikasi belanja pun tak henti memanggil lewat notifikasi dengan nada khasnya menggema dari ruang kelas, kantor, toilet, dan ruang publik lainnya.
Semua kegaduhan itu menjadi penanda bahwa kita sudah terhubung dengan jaringan cerdas global yang terus-menerus menawarkan barang sembari memanen data pelanggan.
Di tingkat negara, kemampuan membeli dijadikan ukuran kekuatan ekonomi rakyat. Produk domestik bruto (PDB), indikator utama kemakmuran nasional, dihitung dari seberapa banyak konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan surplus ekspor. Memakai logika ini, semakin banyak kita belanja, maka semakin tinggi nilai kita.
Saat krisis melanda, negara memperbaiki situasi dengan stimulus belanja berupa bantuan tunai, diskon pajak, dan subsidi. Semua itu semata-mata untuk menggenjot konsumsi. Untuk mengimbangi, sektor produksi harus terus bergulir, dari eksploitasi sumber daya di hulu hingga distribusi barang instan di hilir.
Contohnya, di sektor kuliner, tidak peduli berapa kadar kalori, lemak, gula, dan zat kimia, selama laku dijual, akan menggerakkan ekonomi. Kalaupun timbul dampak kesehatan, industri sektor medis siap sedia mengatasi supaya bisa segera sehat dan kembali mengonsumsi. Perhelatan ini semua berkontribusi untuk menaikkan PDB.
Serial Artikel
Warisan Bung Karno dan Dilema Kota Kini
Dalam pandangan Bung Karno: ruang bukan entitas netral, melainkan medan pertarungan gagasan dan simbol kekuasaan.
Saat ini, relasi manusia tereduksi menjadi transaksi, dan bahkan diri pun sudah menjadi komoditas. Untuk mengejar tekanan kebutuhan yang semakin kuat, kini lazim dalam keluarga kedua orangtua harus bekerja.
Tidak perlu khawatir dengan pengasuhan anak karena sudah ada banyak sekolah fullday mulai usia dini dengan berbagai genre: nasionalis, globalis, agamis, atau kombinasi di antaranya.
Kehangatan keluarga, makan bersama, dan pelukan digantikan oleh hadiah, pesan digital, atau hiburan instan.
Dalam kerangka ini, tekanan konsumsi justru menjauhkan manusia dari relasi yang penuh makna, terutama di lingkup keluarga. Di balik ini semua, manusia menjadi makhluk yang terus-menerus merawat luka akibat gaya hidupnya sendiri.
Kita membeli bukan untuk memiliki, tetapi untuk mengisi kekosongan yang segera datang kembali.
Produksi tanpa kendali
Kapasitas produksi dunia telah melampaui nalar. Setiap jam, industri global memproduksi lebih dari 2,5 juta pasang sepatu, 140.000 ponsel, dan 11 juta potong pakaian. Untuk mendukung itu semua, industri plastik memproduksi 12 ton bahan baku tiap detik.
Kecepatan produksi itu cukup untuk memberi setiap orang di bumi ini 13 baju dan 2 pasang sepatu baru setiap tahun (FashionUnited, 2025). Mungkin banyak orang yang merasa tidak membeli sebanyak itu, tetapi berdasar data, yakinlah pasti ada di luar sana yang melakukannya.
Sebuah studi diterbitkan Nature (2020) mengonfirmasi fakta di atas, bahwa pada tahun 2020, untuk pertama kali dalam sejarah, total massa benda buatan manusia, seperti beton, plastik, logam, dan aspal, telah melampaui seluruh biomassa makhluk hidup di bumi.
Massa benda antropogenik kini mencapai sekitar 1,1 triliun ton, telah melampaui total massa seluruh makhluk hidup di bumi, termasuk tumbuhan, hewan darat dan laut, serta seluruh populasi manusia, yang diperkirakan sekitar 1,0 triliun ton.
WILLIAM FAJZEL, DKK. JURNAL PROSIDING NATIONAL ACADEMY OF SCIENCES (2023).Waktu yang dihabiskan untuk setiap aktivitas, rata-rata dari seluruh populasi manusia yang berjumlah sekitar 8 miliar orang, ditunjukkan oleh luas setiap bentuk berwarna dalam diagram Voronoi.
Setiap minggu, manusia menambah sekitar 30 juta ton material baru ke dunia. Semua produksi itu tentu mensyaratkan ekstraksi sumber daya alam sekaligus pembuangan limbah dan sampah kembali ke bumi.
Setiap barang yang diproduksi, pada saatnya adalah janji yang akan dikhianati. Setelah masa pakainya habis, atau bahkan sebelum itu, barang menjadi limbah. Tak sedikit produk yang dibuang bukan karena rusak, tetapi karena pemiliknya bosan, atau karena varian terbaru lebih menarik.
Bahkan, banyak produk baru yang sengaja dibuang oleh penjualnya sebelum tersentuh oleh konsumen demi menjaga kelangkaan pasar atau mengintroduksi tren baru.
Dalam ekosistem seperti ini, sampah bukan dianggap suatu penyimpangan, tetapi menjadi keniscayaan. Kita hidup dalam budaya disposabilitas, segala sesuatu termasuk relasi dan manusia sendiri bisa dibuang ketika tak lagi bernilai.
Menurut What a Waste 2.0, laporan dari Bank Dunia, rata-rata penduduk dunia menghasilkan 0,74 kilogram sampah rumah tangga setiap hari. Jika ditambah limbah industri, pertanian, konstruksi, dan B3 (bahan berbahaya dan beracun), maka total material yang dibuang tiap manusia bisa mencapai 20 kilogram per hari.
Kemajuan bisa dihubungkan dengan peningkatan jumlah limbah yang sebagian besar tidak mampu dinetralisasi oleh lingkungan. Salah satu bukti paling mencolok adalah munculnya ”Great Pacific Garbage Patch”, hamparan sampah plastik terapung yang luasnya diperkirakan mencapai lebih dari 1,6 juta kilometer persegi atau dua kali luas Pulau Kalimantan.
Sampah yang terbuang dari berbagai negara terbawa arus laut, membentuk pusaran permanen di Samudra Pasifik yang menjadi bukti paling otentik dari sistem konsumsi global.
Tak hanya mengancam ekosistem laut, plastik mikro dari area ini kini juga telah masuk ke rantai makanan manusia melalui ikan dan garam laut. Semua yang dibuang bisa jadi akan kembali dalam bentuk lain kepada para pelakunya.
Serial Artikel
Bebas Diskriminasi Bukan Sekadar Menghapus Syarat Usia
Apa tantangan menciptakan lingkungan kerja bebas diskriminasi? Bagaimana perusahaan atau tempat kerja menentukan kualifikasi yang tepat dan bebas diskriminasi itu?
Sejatinya, kita pernah punya kebijaksanaan yang lebih lestari. Anak-anak membuat mainan dari bambu dan kulit buah, bukan dari plastik dan elektronik. Pengobatan rumahan mengandalkan rimpang dan rempah dari kebun sendiri, bukan pil sintetis dalam blister aluminium yang dikirim dari luar negeri.
Rumah nenek menyediakan pangan dari pekarangan, bukan dari swalayan berpendingin. Namun, semua itu kini tergantikan oleh produk instan, berkemasan dan bisa disimpan. Dalam sistem yang mengagungkan transaksi, kearifan menjadi anak tiri.
Mengapa semua seakan larut dalam sistem tanpa ada yang melawan atau sekadar mempertanyakan? Kepatuhan manusia modern terhadap arus konsumsi dan sistem yang mendegradasi lingkungan adalah akibat dari tekanan eksternal sistemik dan dorongan internal psikologis.
Dari sisi eksternal, Noam Chomsky berargumen bahwa sistem informasi dan kekuasaan secara aktif mengarahkan opini publik melalui apa yang ia sebut ”manufaktur persetujuan”.
Media massa, institusi budaya, dan kepentingan ekonomi bekerja bersama untuk membatasi wacana kritis, menciptakan ilusi kebebasan, dan menggiring masyarakat untuk tetap patuh serta konsumtif.
Saking kuatnya pengaruh eksternal ini sampai bisa meruntuhkan struktur tradisional yang sebelumnya dipakai untuk pijakan bagi manusia.
Dalam situasi asing ini, kebebasan justru berubah menjadi beban yang menakutkan sehingga banyak orang memilih untuk melarikan diri dengan mencari perlindungan dalam konformitas, otoritas, dan akumulasi materi.
Pada akhirnya, sistem eksternal yang membentuk kesadaran dan kondisi internal manusia yang takut akan kebebasan saling bersinergi.
Ironisnya, salah satu saluran paling kuat yang dipakai dalam menanamkan ketidakpedulian atau ketakutan berpikir kritis adalah sistem pendidikan.
Kurikulum disusun tidak untuk membentuk manusia sebagai makhluk berpikir yang bebas, melainkan sebagai calon konsumen dan tenaga kerja yang siap pakai. Buku teks jarang mengajarkan bagaimana memaknai kebutuhan, membedakan antara keinginan dan kebijaksanaan, atau memahami jejak ekologis dari gaya hidup.
Pendidikan lebih sering menanamkan semangat berkompetisi demi posisi, gelar, dan penghasilan, daripada mengajarkan solidaritas, kesederhanaan, dan keberlanjutan. Alih-alih membentuk warga yang reflektif dan kritis, pendidikan modern justru dirancang sebagai jalur produksi tenaga kerja untuk menopang sistem ekonomi konsumtif.
Maka, tidak mengherankan jika lulusan terbaik bukan mereka yang mempertanyakan sistem, melainkan mereka yang paling mampu menyesuaikan diri dengannya. Ini adalah bentuk ketidakpedulian struktural yang ditanamkan sejak dini melalui pendidikan, iklan, dan kebiasaan sehari-hari yang tak mengajarkan refleksi kritis terhadap dunia.
Apakah mungkin manusia dapat keluar dari jerat konsumerisme yang demikian dalam, sistemik, dan adiktif?
Sejumlah pemikir kontemporer menunjukkan bahwa jalan itu tetap ada meskipun tentu berat karena melawan arus utama. Mereka mengusulkan beberapa tahapan untuk keluar dari pusaran konsumsi ini, mulai dari kesadaran filosofis hingga praksis sehari-hari.
Tahap awal adalah menyadari adanya kebutuhan palsu. Sadar bahwa mayoritas kebutuhan konsumsi kita bukan muncul dari dalam diri, tetapi dibentuk oleh sistem, iklan, algoritma, dan tekanan sosial.
Kemudian, langkah berikutnya adalah melawan dari dalam melalui kesederhanaan sukarela, di antaranya dengan menggunakan kembali alat-alat lama yang ramah manusia, bukan sistem yang menjadikan manusia pasif dan adiktif.
Dalam praktiknya, ini berarti membatasi penggunaan aplikasi belanja, memilih produk lokal, memakai kembali barang lama, dan mengurangi kecepatan hidup (slow living) agar ruang kontemplasi bisa hadir kembali.
Tahap selanjutnya membangun komunitas dan menekankan pentingnya solidaritas sosial dalam membangun identitas yang tak dibentuk oleh pasar.
Marketplace mereduksi relasi menjadi transaksi, sementara komunitas memberi ruang untuk berbagi. Membentuk koperasi warga, berbagi hasil kebun, atau membuat kelompok belajar menjadi bentuk perlawanan lunak, tetapi bisa berdampak luas.
Selanjutnya adalah mengadopsi etika ekologis dan ekonomi baru. Sebagai contoh ekonomi yang mengedepankan kelestarian alam sekaligus mengarusutamakan ketercukupan dasar manusia adalah ”Doughnut Economics”.
Konsep baru tersebut menunjukkan bahwa kesejahteraan tidak identik dengan pertumbuhan ekonomi, melainkan dengan keadilan sosial dalam batas ekologis (Raworth, 2017).
Ekonomi harus bisa melayani kehidupan seluruh manusia, mengingat paradoks terbesar peradaban modern adalah kenyataan bahwa di satu sisi terjadi overkonsumsi yang ditandai dengan limbah makanan, mode cepat, dan emisi yang eksesif. Sementara di sisi lain, ratusan juta orang masih hidup dalam kelaparan dan sanitasi yang buruk.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), sepertiga dari makanan yang diproduksi global justru terbuang, sementara lebih dari 700 juta orang masih kelaparan. Akar permasalahan sejati bukan soal kekurangan sumber daya, melainkan kegagalan sistem alokasi dan distribusi.
Di sisi lain, kembali ke jalan spiritual juga bisa menjadi pilihan yang kuat dan transformatif dalam menghadapi jerat konsumerisme modern. Prinsip-prinsip spiritualisme memiliki kemiripan esensial dengan jalan yang ditawarkan oleh para pemikir di atas.
Kita pun perlahan kehilangan jati diri sebagai makhluk pecinta kebijaksanaan ”philo-sophia” dan bergeser menjadi makhluk pemuja belanja ”philo-shopping”.
Dalam teologi Islam, terdapat konsep Mizan, yang berarti timbangan atau keseimbangan. Konsep ini mengandung ajaran mendalam bahwa alam semesta diciptakan dalam harmoni yang presisi, dan manusia diperintahkan untuk tidak melampaui batas dan tidak merusak keseimbangannya.
Konsumerisme yang eksploitatif jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip ini karena mengganggu tatanan keseimbangan ekologis dan sosial.
Lebih jauh lagi, dikenal pula konsep Zuhud dan Qona’ah sebagai sikap batin yang tidak terikat pada kepemilikan dan kenikmatan duniawi secara berlebihan. Konsep tersebut memberi ruang bagi manusia untuk hidup cukup, merdeka dari tekanan sosial untuk tampil, dan lebih mampu menunaikan peran spiritual dan sosialnya.
Selain itu, sistem ekonomi Islam juga mengajarkan untuk menghindarkan diri dari utang konsumtif serta sistem usury. Namun, sebaliknya, mengedepankan prinsip zakat, sedekah, dan infak, bukan hanya sebagai kewajiban ritual, tetapi sebagai mekanisme konkret untuk pertumbuhan ekonomi secara wajar dan mendistribusikan ulang kekayaan dalam solidaritas sosial.
Dalam spiritualitas Nasrani, telah muncul upaya penyadaran yang salah satunya melalui ensiklik Paus Fransiskus, ”Laudato Si”. Dokumen ini menyerukan pertobatan ekologis, seraya menekankan bahwa krisis lingkungan tidak terpisah dari krisis sosial dan spiritual. Kemudian, ajaran agama dan budaya Timur sangat kental akan ajaran hidup sederhana, berjiwa sosial, dan keseimbangan kehidupan dengan alam.
Tentu, keluar dari jerat konsumerisme bukan berarti antimateri, tetapi kembali menjadi manusia yang sadar, merdeka sepenuhnya.
Jika hasil perenungan dan spiritualitas tidak dianggap sebagai pemandu arah peradaban, kita pun perlahan kehilangan jati diri sebagai makhluk pencinta kebijaksanaan ”philo-sophia” dan bergeser menjadi makhluk pemuja belanja ”philo-shopping”.
Chandra W Purnomo,Guru Besar Fakultas Teknik UGM
Seandainya Descartes hidup di abad ke-21, barangkali ia akan meralat ungkapan terkenalnya, ”Cogito, ergo sum” menjadi ”Consumo, ergo sum”, yang berarti ”Aku mengonsumsi, maka aku ada”. Dalam masyarakat kontemporer, daya konsumsi telah menggantikan kesadaran sebagai dasar eksistensi manusia. Identitas tidak lagi dibangun dari akumulasi pemikiran dan pengetahuan, tetapi dari apa yang kita miliki, beli, dan pamerkan.
Kekuatan konsumerisme telah mencengkeram hampir seluruh aspek kehidupan. ”The accumulation of goods” kini menjadi ukuran stratifikasi sosial, dan gaya hidup konsumtif menjadi aspirasi lintas kelas.
Fenomena antrean panjang demi makanan viral, telepon seluler (ponsel) edisi baru, atau tiket konser bukanlah sekadar memenuhi kebutuhan, tetapi lebih kepada mengejar nilai simbolik yang melekat pada komoditas itu.
Kegiatan belanja kini sudah menjadi ekspresi eksistensial sehingga momen unboxing dan mengunyah makanan yang seharusnya personal kini dibagikan kepada khalayak umum melalui media sosial.
KOMPAS/NELI TRIANAAntrean panjang di salah satu gerai donat viral di Blok M, Jakarta Selatan, pada 4 Mei 2024 menjelang malam.
Konsumerisme absolut
Sehari saja kita sulit lepas dari aktivitas konsumsi. Dari bangun tidur hingga malam hari, kita disuguhi pilihan untuk membeli. Mulai dari membeli sarapan lewat aplikasi meski kulkas penuh terisi, minuman dari deretan gerai waralaba yang menggoda meski di kantor juga tersedia, hingga berbagai jajanan di sore hari sembari perjalanan pulang kembali.
Aplikasi belanja pun tak henti memanggil lewat notifikasi dengan nada khasnya menggema dari ruang kelas, kantor, toilet, dan ruang publik lainnya.
Semua kegaduhan itu menjadi penanda bahwa kita sudah terhubung dengan jaringan cerdas global yang terus-menerus menawarkan barang sembari memanen data pelanggan.
Di tingkat negara, kemampuan membeli dijadikan ukuran kekuatan ekonomi rakyat. Produk domestik bruto (PDB), indikator utama kemakmuran nasional, dihitung dari seberapa banyak konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan surplus ekspor. Memakai logika ini, semakin banyak kita belanja, maka semakin tinggi nilai kita.
Saat krisis melanda, negara memperbaiki situasi dengan stimulus belanja berupa bantuan tunai, diskon pajak, dan subsidi. Semua itu semata-mata untuk menggenjot konsumsi. Untuk mengimbangi, sektor produksi harus terus bergulir, dari eksploitasi sumber daya di hulu hingga distribusi barang instan di hilir.
Contohnya, di sektor kuliner, tidak peduli berapa kadar kalori, lemak, gula, dan zat kimia, selama laku dijual, akan menggerakkan ekonomi. Kalaupun timbul dampak kesehatan, industri sektor medis siap sedia mengatasi supaya bisa segera sehat dan kembali mengonsumsi. Perhelatan ini semua berkontribusi untuk menaikkan PDB.
Serial Artikel
Warisan Bung Karno dan Dilema Kota Kini
Dalam pandangan Bung Karno: ruang bukan entitas netral, melainkan medan pertarungan gagasan dan simbol kekuasaan.
Saat ini, relasi manusia tereduksi menjadi transaksi, dan bahkan diri pun sudah menjadi komoditas. Untuk mengejar tekanan kebutuhan yang semakin kuat, kini lazim dalam keluarga kedua orangtua harus bekerja.
Tidak perlu khawatir dengan pengasuhan anak karena sudah ada banyak sekolah fullday mulai usia dini dengan berbagai genre: nasionalis, globalis, agamis, atau kombinasi di antaranya.
Kehangatan keluarga, makan bersama, dan pelukan digantikan oleh hadiah, pesan digital, atau hiburan instan.
Dalam kerangka ini, tekanan konsumsi justru menjauhkan manusia dari relasi yang penuh makna, terutama di lingkup keluarga. Di balik ini semua, manusia menjadi makhluk yang terus-menerus merawat luka akibat gaya hidupnya sendiri.
Kita membeli bukan untuk memiliki, tetapi untuk mengisi kekosongan yang segera datang kembali.
Produksi tanpa kendali
Kapasitas produksi dunia telah melampaui nalar. Setiap jam, industri global memproduksi lebih dari 2,5 juta pasang sepatu, 140.000 ponsel, dan 11 juta potong pakaian. Untuk mendukung itu semua, industri plastik memproduksi 12 ton bahan baku tiap detik.
Kecepatan produksi itu cukup untuk memberi setiap orang di bumi ini 13 baju dan 2 pasang sepatu baru setiap tahun (FashionUnited, 2025). Mungkin banyak orang yang merasa tidak membeli sebanyak itu, tetapi berdasar data, yakinlah pasti ada di luar sana yang melakukannya.
Sebuah studi diterbitkan Nature (2020) mengonfirmasi fakta di atas, bahwa pada tahun 2020, untuk pertama kali dalam sejarah, total massa benda buatan manusia, seperti beton, plastik, logam, dan aspal, telah melampaui seluruh biomassa makhluk hidup di bumi.
Massa benda antropogenik kini mencapai sekitar 1,1 triliun ton, telah melampaui total massa seluruh makhluk hidup di bumi, termasuk tumbuhan, hewan darat dan laut, serta seluruh populasi manusia, yang diperkirakan sekitar 1,0 triliun ton.
WILLIAM FAJZEL, DKK. JURNAL PROSIDING NATIONAL ACADEMY OF SCIENCES (2023).Waktu yang dihabiskan untuk setiap aktivitas, rata-rata dari seluruh populasi manusia yang berjumlah sekitar 8 miliar orang, ditunjukkan oleh luas setiap bentuk berwarna dalam diagram Voronoi.
Setiap minggu, manusia menambah sekitar 30 juta ton material baru ke dunia. Semua produksi itu tentu mensyaratkan ekstraksi sumber daya alam sekaligus pembuangan limbah dan sampah kembali ke bumi.
Setiap barang yang diproduksi, pada saatnya adalah janji yang akan dikhianati. Setelah masa pakainya habis, atau bahkan sebelum itu, barang menjadi limbah. Tak sedikit produk yang dibuang bukan karena rusak, tetapi karena pemiliknya bosan, atau karena varian terbaru lebih menarik.
Bahkan, banyak produk baru yang sengaja dibuang oleh penjualnya sebelum tersentuh oleh konsumen demi menjaga kelangkaan pasar atau mengintroduksi tren baru.
Dalam ekosistem seperti ini, sampah bukan dianggap suatu penyimpangan, tetapi menjadi keniscayaan. Kita hidup dalam budaya disposabilitas, segala sesuatu termasuk relasi dan manusia sendiri bisa dibuang ketika tak lagi bernilai.
Menurut What a Waste 2.0, laporan dari Bank Dunia, rata-rata penduduk dunia menghasilkan 0,74 kilogram sampah rumah tangga setiap hari. Jika ditambah limbah industri, pertanian, konstruksi, dan B3 (bahan berbahaya dan beracun), maka total material yang dibuang tiap manusia bisa mencapai 20 kilogram per hari.
Kemajuan bisa dihubungkan dengan peningkatan jumlah limbah yang sebagian besar tidak mampu dinetralisasi oleh lingkungan. Salah satu bukti paling mencolok adalah munculnya ”Great Pacific Garbage Patch”, hamparan sampah plastik terapung yang luasnya diperkirakan mencapai lebih dari 1,6 juta kilometer persegi atau dua kali luas Pulau Kalimantan.
Sampah yang terbuang dari berbagai negara terbawa arus laut, membentuk pusaran permanen di Samudra Pasifik yang menjadi bukti paling otentik dari sistem konsumsi global.
Tak hanya mengancam ekosistem laut, plastik mikro dari area ini kini juga telah masuk ke rantai makanan manusia melalui ikan dan garam laut. Semua yang dibuang bisa jadi akan kembali dalam bentuk lain kepada para pelakunya.
Serial Artikel
Bebas Diskriminasi Bukan Sekadar Menghapus Syarat Usia
Apa tantangan menciptakan lingkungan kerja bebas diskriminasi? Bagaimana perusahaan atau tempat kerja menentukan kualifikasi yang tepat dan bebas diskriminasi itu?
Sejatinya, kita pernah punya kebijaksanaan yang lebih lestari. Anak-anak membuat mainan dari bambu dan kulit buah, bukan dari plastik dan elektronik. Pengobatan rumahan mengandalkan rimpang dan rempah dari kebun sendiri, bukan pil sintetis dalam blister aluminium yang dikirim dari luar negeri.
Rumah nenek menyediakan pangan dari pekarangan, bukan dari swalayan berpendingin. Namun, semua itu kini tergantikan oleh produk instan, berkemasan dan bisa disimpan. Dalam sistem yang mengagungkan transaksi, kearifan menjadi anak tiri.
Mengapa semua seakan larut dalam sistem tanpa ada yang melawan atau sekadar mempertanyakan? Kepatuhan manusia modern terhadap arus konsumsi dan sistem yang mendegradasi lingkungan adalah akibat dari tekanan eksternal sistemik dan dorongan internal psikologis.
Dari sisi eksternal, Noam Chomsky berargumen bahwa sistem informasi dan kekuasaan secara aktif mengarahkan opini publik melalui apa yang ia sebut ”manufaktur persetujuan”.
Media massa, institusi budaya, dan kepentingan ekonomi bekerja bersama untuk membatasi wacana kritis, menciptakan ilusi kebebasan, dan menggiring masyarakat untuk tetap patuh serta konsumtif.
Saking kuatnya pengaruh eksternal ini sampai bisa meruntuhkan struktur tradisional yang sebelumnya dipakai untuk pijakan bagi manusia.
Dalam situasi asing ini, kebebasan justru berubah menjadi beban yang menakutkan sehingga banyak orang memilih untuk melarikan diri dengan mencari perlindungan dalam konformitas, otoritas, dan akumulasi materi.
Pada akhirnya, sistem eksternal yang membentuk kesadaran dan kondisi internal manusia yang takut akan kebebasan saling bersinergi.
Ironisnya, salah satu saluran paling kuat yang dipakai dalam menanamkan ketidakpedulian atau ketakutan berpikir kritis adalah sistem pendidikan.
Kurikulum disusun tidak untuk membentuk manusia sebagai makhluk berpikir yang bebas, melainkan sebagai calon konsumen dan tenaga kerja yang siap pakai. Buku teks jarang mengajarkan bagaimana memaknai kebutuhan, membedakan antara keinginan dan kebijaksanaan, atau memahami jejak ekologis dari gaya hidup.
Pendidikan lebih sering menanamkan semangat berkompetisi demi posisi, gelar, dan penghasilan, daripada mengajarkan solidaritas, kesederhanaan, dan keberlanjutan. Alih-alih membentuk warga yang reflektif dan kritis, pendidikan modern justru dirancang sebagai jalur produksi tenaga kerja untuk menopang sistem ekonomi konsumtif.
Maka, tidak mengherankan jika lulusan terbaik bukan mereka yang mempertanyakan sistem, melainkan mereka yang paling mampu menyesuaikan diri dengannya. Ini adalah bentuk ketidakpedulian struktural yang ditanamkan sejak dini melalui pendidikan, iklan, dan kebiasaan sehari-hari yang tak mengajarkan refleksi kritis terhadap dunia.
Apakah mungkin manusia dapat keluar dari jerat konsumerisme yang demikian dalam, sistemik, dan adiktif?
Sejumlah pemikir kontemporer menunjukkan bahwa jalan itu tetap ada meskipun tentu berat karena melawan arus utama. Mereka mengusulkan beberapa tahapan untuk keluar dari pusaran konsumsi ini, mulai dari kesadaran filosofis hingga praksis sehari-hari.
Tahap awal adalah menyadari adanya kebutuhan palsu. Sadar bahwa mayoritas kebutuhan konsumsi kita bukan muncul dari dalam diri, tetapi dibentuk oleh sistem, iklan, algoritma, dan tekanan sosial.
Kemudian, langkah berikutnya adalah melawan dari dalam melalui kesederhanaan sukarela, di antaranya dengan menggunakan kembali alat-alat lama yang ramah manusia, bukan sistem yang menjadikan manusia pasif dan adiktif.
Dalam praktiknya, ini berarti membatasi penggunaan aplikasi belanja, memilih produk lokal, memakai kembali barang lama, dan mengurangi kecepatan hidup (slow living) agar ruang kontemplasi bisa hadir kembali.
Tahap selanjutnya membangun komunitas dan menekankan pentingnya solidaritas sosial dalam membangun identitas yang tak dibentuk oleh pasar.
Marketplace mereduksi relasi menjadi transaksi, sementara komunitas memberi ruang untuk berbagi. Membentuk koperasi warga, berbagi hasil kebun, atau membuat kelompok belajar menjadi bentuk perlawanan lunak, tetapi bisa berdampak luas.
Selanjutnya adalah mengadopsi etika ekologis dan ekonomi baru. Sebagai contoh ekonomi yang mengedepankan kelestarian alam sekaligus mengarusutamakan ketercukupan dasar manusia adalah ”Doughnut Economics”.
Konsep baru tersebut menunjukkan bahwa kesejahteraan tidak identik dengan pertumbuhan ekonomi, melainkan dengan keadilan sosial dalam batas ekologis (Raworth, 2017).
Ekonomi harus bisa melayani kehidupan seluruh manusia, mengingat paradoks terbesar peradaban modern adalah kenyataan bahwa di satu sisi terjadi overkonsumsi yang ditandai dengan limbah makanan, mode cepat, dan emisi yang eksesif. Sementara di sisi lain, ratusan juta orang masih hidup dalam kelaparan dan sanitasi yang buruk.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), sepertiga dari makanan yang diproduksi global justru terbuang, sementara lebih dari 700 juta orang masih kelaparan. Akar permasalahan sejati bukan soal kekurangan sumber daya, melainkan kegagalan sistem alokasi dan distribusi.
Di sisi lain, kembali ke jalan spiritual juga bisa menjadi pilihan yang kuat dan transformatif dalam menghadapi jerat konsumerisme modern. Prinsip-prinsip spiritualisme memiliki kemiripan esensial dengan jalan yang ditawarkan oleh para pemikir di atas.
Kita pun perlahan kehilangan jati diri sebagai makhluk pecinta kebijaksanaan ”philo-sophia” dan bergeser menjadi makhluk pemuja belanja ”philo-shopping”.
Dalam teologi Islam, terdapat konsep Mizan, yang berarti timbangan atau keseimbangan. Konsep ini mengandung ajaran mendalam bahwa alam semesta diciptakan dalam harmoni yang presisi, dan manusia diperintahkan untuk tidak melampaui batas dan tidak merusak keseimbangannya.
Konsumerisme yang eksploitatif jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip ini karena mengganggu tatanan keseimbangan ekologis dan sosial.
Lebih jauh lagi, dikenal pula konsep Zuhud dan Qona’ah sebagai sikap batin yang tidak terikat pada kepemilikan dan kenikmatan duniawi secara berlebihan. Konsep tersebut memberi ruang bagi manusia untuk hidup cukup, merdeka dari tekanan sosial untuk tampil, dan lebih mampu menunaikan peran spiritual dan sosialnya.
Selain itu, sistem ekonomi Islam juga mengajarkan untuk menghindarkan diri dari utang konsumtif serta sistem usury. Namun, sebaliknya, mengedepankan prinsip zakat, sedekah, dan infak, bukan hanya sebagai kewajiban ritual, tetapi sebagai mekanisme konkret untuk pertumbuhan ekonomi secara wajar dan mendistribusikan ulang kekayaan dalam solidaritas sosial.
Dalam spiritualitas Nasrani, telah muncul upaya penyadaran yang salah satunya melalui ensiklik Paus Fransiskus, ”Laudato Si”. Dokumen ini menyerukan pertobatan ekologis, seraya menekankan bahwa krisis lingkungan tidak terpisah dari krisis sosial dan spiritual. Kemudian, ajaran agama dan budaya Timur sangat kental akan ajaran hidup sederhana, berjiwa sosial, dan keseimbangan kehidupan dengan alam.
Tentu, keluar dari jerat konsumerisme bukan berarti antimateri, tetapi kembali menjadi manusia yang sadar, merdeka sepenuhnya.
Jika hasil perenungan dan spiritualitas tidak dianggap sebagai pemandu arah peradaban, kita pun perlahan kehilangan jati diri sebagai makhluk pencinta kebijaksanaan ”philo-sophia” dan bergeser menjadi makhluk pemuja belanja ”philo-shopping”.