Marak Pasien BPJS Kesehatan Ditolak, Ini  Diduga Biang Masalahnya

Pembayaran klaim tertunda dan klaim bersengketa oleh BPJS Kesehatan terhadap rumah sakit diduga jadi salah satu pemicu banyaknya pasien mengalami penolakan.

Oleh Yola Sastra

03 Jun 2025 17:20 WIB · Kesehatan

PADANG, KOMPAS — Pembayaran klaim tertunda dan klaim bersengketa atau pending claim dan dispute claim antara rumah sakit dan BPJS Kesehatan diduga menjadi biang masalah maraknya pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ditolak atau dilayani buruk oleh rumah sakit. Pemerintah diminta membenahinya secara sistemik agar pasien atau masyarakat tidak lagi menjadi korban.

Penolakan ataupun pelayanan buruk dari RS terhadap pasien peserta BPJS Kesehatan berulang kali terjadi. Kasus terbaru, Desi Erianti (44), warga Kota Padang, Sumatera Barat, meninggal di RS swasta, beberapa jam setelah ditolak berobat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD dr Rasidin Padang. Alasannya, dia tidak masuk kategori darurat, Sabtu (31/5/2025).

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, Selasa (3/6/2025), mengatakan, kasus penolakan atau pelayanan buruk terhadap pasien BPJS Kesehatan sudah jadi gejala di Indonesia.

Sepekan lalu juga ramai diberitakan tiga anak pasien BPJS Kesehatan di Gresik, Jawa Timur, terlambat ditangani. Alasannya sama, tidak masuk kategori darurat.

”Saya menduga alasan penolakannya karena pembiayaan JKN. Kalau dia pasien umum, mohon maaf, tidak ada ditolak itu. Sebab, pasien umum bayar sendiri, langsung hari itu,” kata Timboel ketika dihubungi dari Padang.

Menurut Timboel, kasus penolakan terhadap pasien BPJS Kesehatan oleh RS merupakan buntut dari adanya pending claim dan dispute claim. Hal itu terjadi antara RS dan BPJS Kesehatan.

Adanya pembayaran klaim tertunda dan klaim bersengketa itu terungkap dalam rapat dengar pendapat Komisi IX DPR dengan asosiasi RS.

”Ada persoalan tentang pembayaran klaimnya sehingga kecenderungan RS jadi hati-hati dan jaga jarak. Kalau ada pasien, yang dianggap belum gawat darurat, ditolak, disuruh pulang dulu. Yang akhirnya tidak dapat penanganan di rumah, lalu meninggal,” ujarnya.

Warga peserta BPJS mengurus berkas untuk mendapatkan layanan kesehatan di RSUD Kota Yogyakarta, Umbulharjo, Yogyakarta, Senin (24/8/2020). Mulai Juli 2020, pengguna layanan BPJS Kesehatan di rumah sakit itu berangsur naik 20 persen dibanding saat awal pandemi Covid-19 mulai merebak. Saat ini setiap hari sekitar 200 warga menggunakan layanan BPJS Kesehatan di rumah sakit itu. Selama pandemi berbagai layanan di rumah sakit tersebut terus berlangsung dengan menerapkan protokol kesehatan ketat.KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Penolakan pasien oleh RS, kata Timboel, jelas-jelas melanggar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan bisa kena hukum pidana. Dalam UU itu diatur, salah satu asas RS adalah keselamatan pasien. RS wajib menerima dan menangani pasien.

Timboel menegaskan, pemerintah tidak boleh diam terhadap persoalan ini. Harus ada upaya pembenahan secara sistemik.

Pemerintah harus bisa merancang agar pasien ketika datang ke RS dengan segala kondisi tidak ditolak. Pemerintah mesti mencari akar persoalan, mengapa penolakan-penolakan itu terjadi.

Salah satu pemicu terjadi penolakan ini, kata Timboel, adalah RS ingin mendapat kepastian pasien yang datang dijamin JKN atau tidak.

RS khawatir, setelah pasien dirawat, terjadi dispute claim atau tidak dijamin oleh JKN. Dalam situasi ini, mestinya RS berkomunikasi dengan BPJS Kesehatan agar mendapat kepastian.

Pemicu lainnya, standar kriteria pasien yang ditanggung JKN diterapkan secara kaku. Pasien demam, misalnya, semestinya tidak harus menunggu panasnya 40 derajat celsius. Bagi sebagian orang, panas 38 derajat celsius sudah sangat menyakitkan.

”Ada standar oke, tetapi jangan jadikan itu sebagai kacamata kuda,” ujar Timboel.

Hal yang tidak kalah penting, lanjut Timboel, pemerintah juga mestinya menyelesaikan dispute claim dan pending claim agar RS tidak terbebani.

”Harus diselesaikan dispute claim itu dan harus selesaikan juga kriteria gawat darurat. Jangan sampai ini menjadi alasan sehingga mengakibatkan pasien jadi korban,” katanya.

Desi Erianti (44), pasien peserta BPJS Kesehatan, pulang dengan becak motor usai ditolak berobat di IGD RSUD dr Rasidin Padang, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/5/2025) dini hari. Karena kondisi sesak napasnya memburuk,  paginya, Desi dibawa ke IGD RS Siti Rahmah, lalu meninggal pada Sabtu siang.

Penolakan pasien di Padang

Sebelumnya, petugas IGD RS dr Rasidin Padang diduga menolak Desi Erianti (44), pasien peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan, yang berobat pada Sabtu (31/5/2025) dini hari. Pasien ini mengalami sesak napas berat sehingga dibawa keluarga ke rumah sakit. 

Akan tetapi, di IGD RS milik Pemkot Padang itu, Desi didiagnosis hanya mengidap ISPA dan dianggap tidak memiliki unsur kedaruratan yang bisa ditanggung BPJS Kesehatan.

Petugas pun memulangkan Desi dan menyarankan untuk meminta rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat I.

Sebelum pulang, tenaga medis juga sempat menawarkan Desi berobat lewat jalur umum jika ingin dirawat lebih lanjut. Namun, karena berasal dari kalangan miskin, keluarga kembali membawa Desi pulang.

”Kami pihak keluarga kecewa. Kondisi Kak Desi tidak memenuhi syarat emergency. Padahal, sesak napasnya sudah parah dan perlu ditangani. Jadi, bagaimana standar emergency dari kasus seperti ini? Apakah tunggu sakaratul maut dulu baru pasien bisa dibawa ke IGD?” kata Suyudi Adri Pratama (29), adik sepupu Desi, Senin (2/6/2025).

Paginya, sesak napas yang diderita Desi semakin parah. Dengan mobil teman, suaminya membawa Desi ke IGD RS Siti Rahmah, Sabtu sekitar pukul 09.00 WIB. Tiba di RS swasta itu, tenaga medis segera menangani Desi.

Akan tetapi, situasinya sudah terlambat. Tenaga medis menjelaskan kepada keluarga bahwa kondisi pasien sudah kritis sehingga diharapkan pengertiannya. Sekitar tiga jam mendapat penanganan, Desi dinyatakan meninggal pukul 12.31 WIB.

Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kota Padang beserta anggota Komisi IV (deretan kiri) memintai keterangan terhadap manajemen RSUD dr Rasidin Padang, tenaga medis dan tenanga kesehatan piket, serta pejabat BPJS Kesehatan di Padang, terkait kasus penolakan pasien BPJS Kesehatan berobat di IGD rumah sakit tersebut di kantor DPRD Kota Padang, Sumatera Barat, Senin (2/6/2025).

Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang Sri Kurnia Yati dalam pertemuan dengan Komisi IV DPRD Kota Padang, Senin (2/6/2025), menyebut, kasus ini menjadi catatan penting yang mesti diperbaiki dinkes. Apalagi, dalam 100 hari terakhir, dinkes gencar menyosialisasikan BPJS Kesehatan gratis program unggulan wali kota.

Menurut Sri, ia dan jajaran dinkes ikut serta bersama RSUD melakukan audit mencari titik kealpaan dalam kasus Desi. Pelayanan terhadap Desi dilakukan dan jumlah tim bertugas pada Sabtu dini hari memadai.

”Ternyata, begitu kami pilah semuanya, ada kekurangan ketajaman, sense of emergency, yang seharusnya dimiliki kawan-kawan kami di IGD. Jadi, kita tidak bisa berpatok pada pemeriksaan fisik yang dilakukan, tetapi memang harus dilihat kondisi pasiennya seperti apa. Human error bisa saja terjadi,” katanya.

Sri melanjutkan, evaluasi akan dilakukan ke depan, tidak hanya bagi RSUD dr Rasidin Padang, tetapi juga RS lainnya di Padang. Selain mengasah sense of emergency petugas IGD, pemahaman petugas di lapangan dalam memahami peraturan juga akan diperkuat.

Sementara itu, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Padang Fauzi Lukman Nurdiansyah menjelaskan, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dalam kasus emergency, rumah sakit idealnya tidak melihat dulu siapa penjamin pasien.

”Siapa pun yang berobat ke IGD dengan kasus emergency, apakah dia peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), peserta umum, atau tanpa jaminan sama sekali, itu dapat dilayani di RS,” kata Fauzi seusai pertemuan dengan Komisi IV DPRD Kota Padang, Senin kemarin.

Menurut Fauzi, penentuan kasus emergency secara klinis merupakan hak dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP). Hal tersebut berlaku pula pada kasus almarhumah Desi.

Problem ekosistem kesehatan

Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sumbar Adel Wahidi, Selasa (3/6/2025), mengatakan, pihaknya kemarin telah datang ke RS meminta keterangan dan dokumen-dokumen terkait. Hal itu guna menindaklanjuti dugaan kelalaian RSUD dr Rasidin Padang dalam melayani Desi. Proses pemeriksaan oleh Ombudsman masih berlangsung. 

Ombudsman, kata Adel, juga telah bertemu dengan Wali Kota Padang Fadly Amran. Atas kasus ini, wali kota pun menonaktifkan sejumlah pejabat RSUD, termasuk direktur, dalam rangka pemeriksaan.

”Penonaktifan ini berarti wali kota atau kepala dinas kesehatan menduga terjadi kelalaian atau permasalahan cukup berat,” katanya.

Suasana di RSUD dr Rasidin Padang, Kelurahan Gunung Sarik, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat, Senin (2/6/2025).

Menurut Adel, dalam kasus Desi, ada wilayah yang tidak bisa dimasuki Ombudsman, yaitu terkait penegakan diagnosis yang dilakukan dokter. Maka, hal ini perlu segera diuji oleh komite medik yang ada di RS. Peran Ombudsman lebih kepada memeriksa audit layanan rumah sakit. 

Adel melanjutkan, berdasarkan keterangan komite medik RSUD, proses audit medisnya mencapai 60-70 persen dan akan selesai dalam satu-dua hari ini. Hasil audit medis ini penting supaya bisa diuji apakah penetapan status darurat atau tidak pada saat kejadian sudah tepat atau tidak. 

”Problemnya, kalau pasien tidak dinyatakan darurat, biaya berobat pasien tidak ditanggung oleh BPJS. Apalagi RS di Sumbar ini rata-rata mengalami pending claim,” kata Adel. 

Masalah prosedural itu, lanjut Adel, kerap membuat RS terjebak dalam situasi dilema. Di satu sisi, penanganan awal pasien adalah yang paling utama tanpa memandang status kepesertaan jaminannya, apalagi bila kota berstatus Universal Health Coverage (UHC), seperti Kota Padang.

Namun, di sisi lain, jika kasus pending claim ini banyak, akan terjadi problem cashflow di RS.

”Ini tidak sederhana, ini problem ekosistem kesehatan yang melibatkan fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan sebagai penanggung biaya berobat pasien. Semua pihak terkait, pemerintah kota, rumah sakit, dan BPJS, harus duduk bersama untuk melahirkan solusi yang bersifat sistemik,” ujar Adel.

Dapat dipidana

Pengamat hukum kesehatan dari Universitas Ekasakti Padang, Firdaus Diezo, mengatakan, berdasarkan Pasal 275 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, tenaga medis dan tenaga kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada pasien dalam keadaan gawat darurat.

Apabila ketentuan Pasal 275 itu gagal dilaksanakan, kata Diezo, pimpinan fasilitas kesehatan atau tenaga medis tersebut dapat dipidana. Hukuman pidananya maksimal 2 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta sesuai Pasal 438 Ayat (1).

”Apabila pasien itu mengalami disabilitas atau meninggal setelah ditolak, pimpinan fasilitas kesehatan, tenaga medis, dan tenaga kesehatan dapat dipidana paling lama 10 tahun dan denda Rp 2 miliar sesuai dengan Pasal 438 Ayat (2),” kata Diezo.

Menurut Diezo, secara hukum, pihak yang berwenang melakukan diagnosis adalah tenaga medis atau dokter. Diperlukan kehati-hatian dalam mendiagnosis pasien agar menghasilkan ketepatan dan manfaat hukum. Ketidaktepatan diagnosis akan berakibat hukum bagi dokter.

Diezo pun berpandangan, banyaknya kasus penolakan RS terhadap pasien BPJS Kesehatan terjadi karena kekhawatiran biaya pengobatan pasien tidak ditanggung oleh JKN. RS semestinya bisa menafsirkan aturan-aturan yang dibuat negara secara tepat agar pasien tidak menjadi korban.

Sikap petugas RSUD dr Rasidin Padang yang sempat menawarkan pengobatan jalur umum kepada Desi juga menjadi perhatian Diezo.

Ia mempertanyakan, apa dasar petugas menyarankan berobat lewat jalur umum ke pasien, sedangkan pengobatan melalui jalur BPJS Kesehatan ditolak dengan alasan tidak memenuhi unsur kedaruratan. 

Semestinya, menurut Diezo, pengobatan pasien sesuai dengan diagnosis, terlepas dari statusnya pasien peserta BPJS Kesehatan atau pasien jalur umum.

Jika hasil diagnosis menyatakan pasien tidak perlu dirawat, tidak ada jalan bagi RS untuk merawat pasien, termasuk melalui jalur umum.

”Jika itu dilakukan, itu bentuk pembodohan. Ini tidak boleh dilakukan. Tawaran berobat melalui jalur umum ini yang membuat ricuh. Orang-orang akan mengkhawatirkan adanya pembedaan hak antara pasien JKN dan pasien lainnya. Harusnya sama,” katanya.

Diezo menambahkan, dalam pelayanan kesehatan, tidak ada yang gratis, termasuk dalam kepesertaan masyarakat dalam program JKN.

Peserta BPJS Kesehatan tetap membayar, yaitu peserta mandiri bayar sendiri, penerima upah dibayarkan perusahaan, dan penerima bantuan iuran dibayarkan negara melalui pajak. Maka tidak sepantasnya peserta BPJS Kesehatan mendapatkan perlakuan berbeda dengan peserta jalur umum dan jalur lainnya.


Kerabat Kerja

Penulis:

Yola Sastra
 | 

Editor:

Cornelius Helmy Herlambang
 | 

Penyelaras Bahasa:

Amin Iskandar