BerandaMetro"Mata Elang" Merajelela, ...

"Mata Elang" Merajelela, Leluasa Menebar Teror di Jalanan

Penagihan utang seharusnya tertib dan beretika, namun kini kerap identik dengan ancaman dan kekerasan. Seperti halnya kasus viral yang terjadi di Bekasi dan Jakarta.

Oleh Atiek Ishlahiyah Al Hamasy

08 Jun 2025 16:57 WIB · Metro

Petugas menertibkan debt collector yang bekerja di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, Selasa (6/5/2025). Aktivitas mereka dinilai meresahkan.
Humas Polres Metro Jakarta Barat
Petugas menertibkan "debt collector" yang bekerja di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, Selasa (6/5/2025). Aktivitas mereka dinilai meresahkan.

Penagihan utang lewat debt collector seharusnya menjadi praktik hukum yang rapi, tertib, dan beretika. Kenyataannya, praktik itu malah kental dengan ancaman, tekanan, bahkan kekerasan.

Dalam beberapa bulan terakhir, serangkaian aksi debt collector atau akrab disapa ”mata elang” menjadi sorotan publik. Kasusnya terjadi di Bekasi di Jawa Barat hingga Kalideres di Jakarta Barat.

Warga resah. Gaya penagihannya lebih menyerupai premanisme ketimbang prosedur yang sah.

Kasus yang terjadi di Bekasi Timur pada 20 Maret 2025 menjadi salah satu contohnya. Dalam sebuah video yang viral, ARP (19) dikepung sekelompok laki-laki tak dikenal. Saat itu, korban tengah berbelanja di pusat perbelanjaan kawasan Juanda.

Tanpa banyak penjelasan, mereka memaksa ARP menyerahkan satu unit mobil Pajero Sport. Usut punya usut, mobil itu milik paman korban.

Dalam tekanan dan intimidasi, ARP dipaksa menandatangani surat serah terima kendaraan. Mobil pun raib digondol para pelaku.

Kasus lainnya terjadi di Bekasi Selatan, 6 Mei 2025. Kali ini, korbannya T (37). Lelaki itu dikeroyok. Salah satu pelakunya, EHO (39), memiting leher dan melukai tangan korban. Ujungnya, mobil T digondol para pelaku.

<p>Tersangka debt collector (paling kanan) dihadirkan  dalam pengungkapan kasus penagihan pinjaman online di Mapolda Jawa Tengah, Kota Semarang, Selasa (19/10/2021). Ia mengancam dan  memeras dengan menyebarkan foto-foto korban pinjaman daring ilegal.</p>
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Tersangka "debt collector" (paling kanan) dihadirkan dalam pengungkapan kasus penagihan pinjaman online di Mapolda Jawa Tengah, Kota Semarang, Selasa (19/10/2021).

Cerita serupa berulang di Kalideres, Jakarta Barat, Kamis (22/5/2025). Kali ini korbannya pengendara sepeda motor Honda Beat.

Dalam video yang beredar, korban dipepet komplotan debt collector. Pelaku curiga pemilik motor menunggak cicilan.

Keributan pun pecah. Beruntung korban bisa melarikan diri. Polisi telah menangkap tiga pelakunya.

Menariknya, meski mengaku menjalankan tugas, semua pelaku tidak memiliki sertifikasi atau otorisasi dari perusahaan pembiayaan resmi. Klaim mereka hanya omong kosong. Segala bentuk penagihan dilakukan tanpa prosedur hukum, surat tugas, dan tanpa etika.

Padahal, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan sudah mengatur praktik itu.

Proses penagihan, misalnya, harus dilakukan secara etis dan manusiawi. Praktiknya hanya dalam batas waktu serta tempat yang telah disepakati.

Dalam kacamata hukum, kendaraan tersebut tetap berada dalam penguasaan sah peminjam, kecuali ada putusan pengadilan

Penagihan hanya boleh dilakukan pada hari Senin hingga Sabtu, pukul 08.00-20.00 WIB. Semua terbatas pada alamat yang tercantum dalam perjanjian.

Kekerasan dilarang. Intimidasi atau bentuk pemaksaan apapun tidak diperbolehkan.

Petugas penagihan pun diwajibkan memiliki sertifikat dan surat tugas resmi. Mereka tidak boleh sembarangan melakukan kontak fisik, mengajak pihak ketiga, atau mengintimidasi konsumen. Jika melanggar, perusahaan pembiayaan dapat dikenai sanksi administratif, bahkan pencabutan izin usaha.

Akan tetapi, semua aturan itu gugur di jalanan. Banyak korban tak tahu informasi itu. Perampasan kendaraan di jalan, misalnya, jelas tidak diperbolehkan. Namun, semua itu tetap terjadi karena takut jadi korban kekerasan.

<p>Polresta Denpasar menahan tujuh orang tersangka terkait kasus pengeroyokan dan penganiayaan serta pembunuhan yang mengakibatkan seorang korban meninggal dan seorang korban mengalami luka. Petugas mengawal tersangka ketika Polresta Denpasar menggelar jumpa pers, Senin (26/7/2021).</p>
Ilustrasi: Polresta Denpasar menahan tujuh orang tersangka terkait kasus pengeroyokan dan penganiayaan serta pembunuhan yang mengakibatkan seorang korban meninggal dan seorang korban mengalami luka. Petugas mengawal tersangka ketika Polresta Denpasar menggelar jumpa pers, 26 Juli 2021.

Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, Minggu (8/6/2025) menegaskan, penganiayaan hingga perampasan kendaraan oleh debt collector dapat dikategorikan tindak pidana. Bahkan, saat mereka dilengkapi surat kuasa dari perusahaan pembiayaan.

Surat kuasa, kata Fickar, bukan tiket legal penyitaan. Bahkan, meski konsumen terbukti menunggak cicilan, tidak berarti kendaraan bisa langsung diambil begitu saja.

Dalam kacamata hukum, kendaraan tersebut tetap berada dalam penguasaan sah peminjam, kecuali ada putusan pengadilan.

Fickar menjelaskan, tidak ada satu pun pihak di luar aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, atau hakim yang memiliki wewenang melakukan tindakan paksa, termasuk penyitaan.

Itu artinya, debt collector yang nekat mengambil kendaraan tanpa proses hukum dapat dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari Pasal 368 KUHP tentang Perampasan, Pasal 365 KUHP tentang Pencurian dengan Kekerasan, dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.

Ancaman hukumannya tidak main-main. Jika perampasan dilakukan pada malam hari, oleh lebih dari satu orang, dan menimbulkan luka berat, para pelaku bisa dihukum hingga 12 tahun penjara.

Jika menyebabkan kematian, hukuman dapat ditingkatkan menjadi 15 tahun penjara, atau bahkan seumur hidup.

”Yang berhak mengambil hanya pengadilan. Jadi harus ada putusan dulu, baru kendaraan bisa disita, dilelang, dan hasilnya dikembalikan ke perusahaan,” ujar Fickar.

Gading, bukan nama sebenarnya, mengambil foto KTP untuk keperluan administrasi pinjaman daring di Pinang, Tangerang, Banten, Rabu (18/8/2021). KTP merupakan salah satu data diri yang banyak digunakan sebagai syarat administrasi via daring. Dewan Perwakilan Rakyat kembali memperpanjang pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang belum tuntas dalam lima kali masa sidang. Kompas/Hendra A Setyawan (HAS)
KOMPAS
Gading, bukan nama sebenarnya, mengambil foto KTP untuk keperluan administrasi pinjaman daring di Pinang, Tangerang, Banten, 18 Agustus 2021.

Dalam praktik hukum Indonesia, penarikan kendaraan karena kredit macet sebenarnya telah memiliki dasar hukum yang sah. Itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Di dalamnya, tertulis ”eksekusi atas objek fidusia hanya dapat dilakukan apabila telah terjadi wanprestasi (gagal bayar), kreditur memiliki sertifikat fidusia atas objek tersebut, dan eksekusi dilakukan sesuai hukum, yaitu melalui pengadilan atau eksekusi langsung jika ada kesepakatan eksekusi sukarela”.

Akan tetapi, kenyataan di lapangan seringkali berbeda. Alih-alih melalui proses hukum, perusahaan pembiayaan kerap menyewa jasa pihak ketiga untuk langsung menarik kendaraan di jalan, tanpa surat tugas resmi, tanpa pengawasan, dan sering kali disertai intimidasi.

Praktik semacam ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap industri pembiayaan. Selain itu, tindakan semena-mena ini dapat memicu konflik fisik, keresahan warga, bahkan potensi kekerasan yang lebih luas.

Maka yang dibutuhkan hari ini bukan sekadar reaksi setelah kejadian, melainkan sistem pencegahan yang efektif. Perusahaan pembiayaan harus mengawasi dan mendidik petugas penagih.

Selanjutnya, aparat penegak hukum harus bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran yang terjadi. Di sisi lain, masyarakat perlu diberdayakan agar memahami bahwa mereka memiliki hak untuk menolak jika proses penagihan dilakukan dengan cara yang melanggar hukum.

Spanduk ajakan untuk mewaspadai praktik pinjaman online (pinjol) ilegal menghiasi pintu masuk Pasar Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (14/11/2021). Saat ini setidaknya telah ada lebih dari 19.700 pengaduan pinjol ilegal ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bukan hanya soal bunga tinggi yang tidak disadari oleh nasabah, praktik penagihan utang di pinjol juga seringkali menerapkan intimidasi.
KOMPAS
Spanduk ajakan untuk mewaspadai praktik pinjaman online (pinjol) ilegal menghiasi pintu masuk Pasar Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (14/11/2021).

Kriminolog dari Universitas Indonesia Arthur Josias Simon Runturambi juga menegaskan, persoalan kekerasan dalam penagihan utang tidak boleh dibiarkan berlarut. Jika tidak segera ditangani secara tuntas, bentrokan semacam ini berpotensi meluas.

Menurut Josias, tindakan premanisme kerap dipilih karena dianggap sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah. Padahal, setiap konflik semestinya diselesaikan melalui jalur hukum, bukan melalui pemaksaan, apalagi perampasan yang melanggar hak orang lain.

Premanisme dalam konteks penagihan sering muncul akibat anggapan bahwa proses hukum terlalu lambat, rumit, atau tidak berpihak. Karena itu, sebagian pihak memilih menggunakan tekanan fisik dan intimidasi sebagai cara cepat untuk menagih utang.

Praktik seperti ini jelas melanggar norma hukum dan menodai prinsip keadilan. Setiap warga negara, baik sebagai debitur maupun kreditur, memiliki hak yang harus dihormati dan dilindungi.

Ribuan pengemudi ojek daring berkumpul di depan kantor Polsek Depok Timur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (5/3/2020). Mereka baru saja bentrok dengan kelompok debt collector di dekat tempat tersebut. Pangkal masalahnya adalah penganiayaan kelompok debt collector terhadap seorang pengemudi ojek daring.
ARSIP KOMPAS
Ribuan pengemudi ojek daring berkumpul di depan kantor Polsek Depok Timur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 5 Maret 2020. Mereka baru saja bentrok dengan kelompok "debt collector" di dekat tempat tersebut. Pangkal masalahnya adalah penganiayaan oleh kelompok "debt collector" terhadap seorang pengemudi ojek daring.

Dalam hal ini, lembaga pembiayaan, aparat penegak hukum, dan regulator memiliki peran penting untuk memastikan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur hukum yang sah. Tidak boleh ada ruang bagi kekerasan atau intimidasi atas nama penagihan.

Maraknya video perampasan kendaraan yang viral bukan sekadar alarm, melainkan peringatan keras. Hukum harus kembali ditegakkan sebagai pengendali utama, bukan digantikan oleh intimidasi di jalanan.

Supremasi hukum dan etika harus berjalan beriringan. Tujuannya, agar industri jasa keuangan tidak menjelma menjadi medan ketakutan bagi masyarakat.

Penagihan utang memang sah secara hukum, tetapi ketika dilakukan tanpa mematuhi norma etika dan aturan yang berlaku, tindakan tersebut berubah menjadi kekerasan yang tidak bisa dibenarkan. Hak masyarakat tidak boleh dirampas secara paksa hanya karena alasan tunggakan.


Kerabat Kerja

Penulis:

Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
 | 

Editor:

Cornelius Helmy Herlambang
 | 

Penyelaras Bahasa:

Nanik Dwiastuti