Nikel di Raja Ampat dan Ongkos Besar Tak Terhitung Penambangan Pulau Kecil
Penambangan Pulau Gag di Raja Ampat merupakan satu di antara banyaknya izin pertambangan di pulau kecil Indonesia. Ongkos yang ditanggung warga sekitar lebih besar.
Nikel di Raja Ampat dan Ongkos Besar Tak Terhitung Penambangan Pulau Kecil
Tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, menjadi perbincangan beberapa hari terakhir. Isu itu mencuat kembali setelah aktivis Greenpeace Indonesia berunjuk rasa di tengah-tengah kegiatan Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Jakarta pada Selasa, 3 Juni 2025.
Para aktivis menilai pertambangan nikel di tiga pulau Raja Ampat, yakni Pulau Gag, Kawe, dan Pulau Manura, melanggar undang-undang. Praktik itu juga merusak ekologi dan menurunkan kualitas ruang hidup masyarakat.
Greenpeace juga melihat adanya potensi ancaman tambang nikel di pulau lainnya, yaitu Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun. Jaraknya 30 kilometer dari gugusan bukit karst Piaynemo.
Pada Kamis (5/6/2025), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menghentikan sementara kegiatan operasi PT Gag Nikel di Pulau Gag seusai sorotan publik mengarah ke sana, terutama di media sosial. Sehari berselang, Bahlil mengunjungi tambang nikel tersebut.
Truk milik perusahaan tambang hilir mudik mengangkut material di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (5/6/2021). Penambangan material nikel di pulau itu saat ini masih terus berlangsung.
Truk milik perusahaan tambang hilir mudik mengangkut material di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (5/6/2021). Penambangan material nikel di pulau itu saat ini masih terus berlangsung.
Dalam siaran pers resminya, Kementerian ESDM tidak menemukan masalah di wilayah tambang PT Gag Nikel. Namun, Bahlil akan memastikannya dengan menunggu hasil pengecekan menyeluruh dari inspektur tambang.
”Saya itu datang ke sini untuk mengecek langsung saja kepada seluruh masyarakat, dan teman-teman, kan, sudah lihat dan saya juga melihat secara obyektif apa sebenarnya yang terjadi dan hasilnya nanti dicek oleh tim saya (Inspektur Tambang),” ujar Bahlil.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, PT Gag Nikel mengantongi izin operasi produksi sejak 2017. Berdasarkan SK Menteri ESDM Nomor 430.K/30/DJB/2017, operasinya berlaku sampai 30 November 2047.
PT Gag Nikel merupakan pemegang Kontrak Karya (KK) Generasi VII dengan luas wilayah 13.136 hektar di Pulau Gag. Bahlil menyebut perusahaan ini memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada 2014, lalu adendum amdal pada 2022, serta adendum amdal tipe A yang diterbitkan pada 2024 oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penambangan pulau kecil
Daratan Pulau Gag di Raja Ampat luasnya sekitar 6.000 hektar atau 60 kilometer persegi, termasuk kategori pulau kecil. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya.
Penambangan di pulau kecil seperti di Pulau Gag menjadi aneh. Sebab, Pasal 23 Ayat (2) UU No 1/2014 tidak menyebut sama sekali pulau kecil untuk pertambangan.
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan hanya untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan, serta industri perikanan secara lestari. Selain itu, pemanfaatan pulau kecil diperbolehkan untuk pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara.
Tambang di pulau kecil, tak hanya nikel, ternyata bukan hanya terjadi di Pulau Gag. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, terdapat 218 izin usaha pertambangan yang mengapling 34 pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia. Total luas konsesi izin usaha pertambangan (IUP) tersebut lebih dari 274.000 hektar.
Beberapa pulau kecil yang masih terancam kegiatan pertambangan di antaranya Pulau Sangihe (Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara), Pulau Wawonii (Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara), dan beberapa pulau kecil di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku.
Serial Artikel
Warga Wawonii Usir Perusahaan Tambang yang Tetap Beroperasi meski Izinnya Dicabut Negara
Warga Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, menuntut perusahaan tambang untuk berhenti operasi dan tinggalkan pulau. Sebab, izin perusahaan telah dicabut.
Di Provinsi Kalimantan Utara terdapat Pulau Bunyu. Secara administratif, seluruh pulaunya masuk ke Kecamatan Bunyu seluas 198,32 kilometer persegi, sedikit lebih luas daripada Jakarta Timur.
Jatam mencatat, Pulau Bunyu telah dikeruk selama lebih dari 50 tahun. Pertambangan dan penggalian di pulau ini merentang dari eksploitasi minyak dan gas sampai pertambangan batubara.
Biaya yang ditanggung warga
UU No 1/2014 memang tidak secara eksplisit menyebutkan pulau kecil untuk pertambangan. Namun, tampaknya pasal 23 ayat (3) menjadi celah untuk izin pertambangan di pulau kecil.
Pasal itu menyebut, kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
Kami memperkirakan dampak siklus hidup batubara dan aliran limbah yang dihasilkan membebani masyarakat AS sepertiga hingga lebih dari setengah triliun dollar setiap tahunnya.
Namun, apakah faktanya demikian?
Jejak panjang pertambangan dan penggalian di pulau kecil memunculkan persoalan air bersih warga. Jatam mencatat, sungai-sungai kecil dan besar di Pulau Bunyu banyak yang menurun kualitasnya. Warga tak bisa memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari.
Beberapa warga Pulau Bunyu akhirnya mengandalkan air tadah hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar membeli air galon isi ulang untuk minum. Adapun air PDAM yang dialirkan ke sebagian permukiman kerap keruh saat musim hujan dan kemerahan saat kemarau.
Alfiansyah (51), nelayan di Pulau Bunyu, bercerita kerap berhadap-hadapan dengan tongkang batubara saat melaut. Ia pun mendapati sejumlah daerah pesisir sudah tercemar.
KOMPAS/RADITYA HELABUMIKapal penumpang yang akan menuju Bunyu meninggalkan Pelabuhan Tengkayu, Tarakan, Kalimantan Utara, Jumat (15/7/2022). Pelabuhan Tengkayu Tarakan menjadi infrastruktur utama penghubung sejumlah daerah di Kalimantan Utara melalui transportasi laut.
”Mau tidak mau harus melaut lebih jauh. Dulu, sebelum 2014, solar Rp 100.000 saja sudah cukup. Sekarang, sekali melaut minimal Rp 300.000 untuk solar,” ujarnya, dihubungi dari Balikpapan, Minggu (8/6/2025).
Jatam mencatat, hal itu mengindikasikan adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Negara dinilai lalai dalam menjamin hak dasar warganya.
”Pelanggaran HAM di pulau-pulau kecil ditandai dengan perampasan terhadap sumber-sumber air warga, baik sungai maupun air tanah,” tulis Muhammad Jamil dan tim dalam laporan Jatam bertajuk ”Pulau Kecil Indonesia, Tanah Air Tambang”.
Beban warga
Pemerintah mengumumkan pertambangan nikel dan hilirisasinya memantik pertumbuhan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dua tahun terakhir mencatat, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah yang menjadi sentra hilirisasi nikel mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi. Ironisnya, tingkat kemiskinannya juga tinggi, terutama di perdesaan (Kompas.id, 28/5/2025).
Tak hanya itu, Greenpeace dan Celios pun menemukan hal ironis dari argumen ekonomi tersebut. Hal itu tertuang dalam laporan bertajuk ”Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif” pada 2024.
Lembaga tersebut mencatat, data dari BPS menunjukkan bahwa desa-desa yang tidak berfokus pada sektor tambang memiliki jumlah industri kecil dan mikro (IKM) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa yang sektor utamanya adalah pertambangan.
Para nelayan tradisional berunjuk rasa di wilayah tangkap mereka yang diberi izin untuk bongkar muat batubara di perairan Kelurahan Manggar, Kecamatan Balikpapan Timur, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu, 15 September 2024. (KOMPAS/SUCIPTO)
Para nelayan tradisional berunjuk rasa di wilayah tangkap mereka yang diberi izin untuk bongkar muat batubara di perairan Kelurahan Manggar, Kecamatan Balikpapan Timur, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu, 15 September 2024. (KOMPAS/SUCIPTO)
Pada tahun 2018, desa non-tambang memiliki rata-rata 31,44 unit IKM. Adapun desa tambang hanya memiliki 13,15 unit. Selisih ini bertambah pada tahun 2021, dengan desa non-tambang mencatatkan 35,77 unit IKM, sedangkan desa tambang meningkat menjadi 19,66 unit.
Meskipun ada peningkatan jumlah IKM di desa-desa tambang dari tahun 2018 ke 2021, perbedaan yang signifikan masih terlihat. Ini menunjukkan bahwa desa yang bergantung pada sektor tambang memiliki perkembangan IKM yang lebih lambat dibandingkan dengan desa yang fokus pada sektor lain, yang mungkin disebabkan ketergantungan tinggi pada sumber daya alam dan kurangnya diversifikasi ekonomi.
Kompas belum menemukan kajian mengenai total dampak negatif yang mesti dibayar warga sekitar tambang nikel dan batubara di Indonesia. Namun, penghitungan di Amerika Serikat (AS) beberapa tahun lalu bisa menjadi gambaran beban yang ditanggung masyarakat.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANATampak batubara yang dibongkar muat di North Pulau Laut Coal Terminal (NPLCT) batubara milik PT Arutmin Indonesia di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, Kamis (26/10/2023).
Center for Health and the Global Environment Harvard Medical School pernah menghitung biaya eksternal atau dampak negatif yang ditanggung dari pertambangan batubara di AS. Laporan itu berjudul ”Mining Coal, Mounting Costs: The Life Cycle Consequences of Coal”, diterbitkan pada Januari 2011 di Jurnal Annals of the New York Academy of Sciences.
Pada 2018, total estimasi biaya tahunan terendah yang ditanggung AS dari tambang batubara ialah 175 miliar dollar AS atau setara Rp 2,8 kuadriliun. Hitungan itu diestimasi dari gangguan lahan, beban kesehatan masyarakat, pencemaran udara, dampak merkuri, lubang tambang yang ditinggalkan, sampai dampak krisis iklim.
”Kami memperkirakan dampak siklus hidup batubara dan aliran limbah yang dihasilkan membebani masyarakat AS sepertiga hingga lebih dari setengah triliun dollar setiap tahunnya,” tulis laporan tersebut.
Melihat kompleksitas masalah tersebut, tata kelola pertambangan batubara dan nikel di Indonesia, terutama pulau kecil, mestinya berpijak pada sains untuk menghitung keuntungan dan kerugiannya. Jika semata mengacu pertumbuhan ekonomi, kerusakan lingkungan dan beban penyakit akan berpotensi terus menggerogoti kualitas hidup masyarakat sekitar tambang.
Tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, menjadi perbincangan beberapa hari terakhir. Isu itu mencuat kembali setelah aktivis Greenpeace Indonesia berunjuk rasa di tengah-tengah kegiatan Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Jakarta pada Selasa, 3 Juni 2025.
Para aktivis menilai pertambangan nikel di tiga pulau Raja Ampat, yakni Pulau Gag, Kawe, dan Pulau Manura, melanggar undang-undang. Praktik itu juga merusak ekologi dan menurunkan kualitas ruang hidup masyarakat.
Greenpeace juga melihat adanya potensi ancaman tambang nikel di pulau lainnya, yaitu Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun. Jaraknya 30 kilometer dari gugusan bukit karst Piaynemo.
Pada Kamis (5/6/2025), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menghentikan sementara kegiatan operasi PT Gag Nikel di Pulau Gag seusai sorotan publik mengarah ke sana, terutama di media sosial. Sehari berselang, Bahlil mengunjungi tambang nikel tersebut.
Truk milik perusahaan tambang hilir mudik mengangkut material di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (5/6/2021). Penambangan material nikel di pulau itu saat ini masih terus berlangsung.
Truk milik perusahaan tambang hilir mudik mengangkut material di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (5/6/2021). Penambangan material nikel di pulau itu saat ini masih terus berlangsung.
Dalam siaran pers resminya, Kementerian ESDM tidak menemukan masalah di wilayah tambang PT Gag Nikel. Namun, Bahlil akan memastikannya dengan menunggu hasil pengecekan menyeluruh dari inspektur tambang.
”Saya itu datang ke sini untuk mengecek langsung saja kepada seluruh masyarakat, dan teman-teman, kan, sudah lihat dan saya juga melihat secara obyektif apa sebenarnya yang terjadi dan hasilnya nanti dicek oleh tim saya (Inspektur Tambang),” ujar Bahlil.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, PT Gag Nikel mengantongi izin operasi produksi sejak 2017. Berdasarkan SK Menteri ESDM Nomor 430.K/30/DJB/2017, operasinya berlaku sampai 30 November 2047.
PT Gag Nikel merupakan pemegang Kontrak Karya (KK) Generasi VII dengan luas wilayah 13.136 hektar di Pulau Gag. Bahlil menyebut perusahaan ini memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada 2014, lalu adendum amdal pada 2022, serta adendum amdal tipe A yang diterbitkan pada 2024 oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penambangan pulau kecil
Daratan Pulau Gag di Raja Ampat luasnya sekitar 6.000 hektar atau 60 kilometer persegi, termasuk kategori pulau kecil. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya.
Penambangan di pulau kecil seperti di Pulau Gag menjadi aneh. Sebab, Pasal 23 Ayat (2) UU No 1/2014 tidak menyebut sama sekali pulau kecil untuk pertambangan.
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan hanya untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan, serta industri perikanan secara lestari. Selain itu, pemanfaatan pulau kecil diperbolehkan untuk pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara.
Tambang di pulau kecil, tak hanya nikel, ternyata bukan hanya terjadi di Pulau Gag. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, terdapat 218 izin usaha pertambangan yang mengapling 34 pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia. Total luas konsesi izin usaha pertambangan (IUP) tersebut lebih dari 274.000 hektar.
Beberapa pulau kecil yang masih terancam kegiatan pertambangan di antaranya Pulau Sangihe (Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara), Pulau Wawonii (Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara), dan beberapa pulau kecil di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku.
Serial Artikel
Warga Wawonii Usir Perusahaan Tambang yang Tetap Beroperasi meski Izinnya Dicabut Negara
Warga Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, menuntut perusahaan tambang untuk berhenti operasi dan tinggalkan pulau. Sebab, izin perusahaan telah dicabut.
Di Provinsi Kalimantan Utara terdapat Pulau Bunyu. Secara administratif, seluruh pulaunya masuk ke Kecamatan Bunyu seluas 198,32 kilometer persegi, sedikit lebih luas daripada Jakarta Timur.
Jatam mencatat, Pulau Bunyu telah dikeruk selama lebih dari 50 tahun. Pertambangan dan penggalian di pulau ini merentang dari eksploitasi minyak dan gas sampai pertambangan batubara.
Biaya yang ditanggung warga
UU No 1/2014 memang tidak secara eksplisit menyebutkan pulau kecil untuk pertambangan. Namun, tampaknya pasal 23 ayat (3) menjadi celah untuk izin pertambangan di pulau kecil.
Pasal itu menyebut, kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
Kami memperkirakan dampak siklus hidup batubara dan aliran limbah yang dihasilkan membebani masyarakat AS sepertiga hingga lebih dari setengah triliun dollar setiap tahunnya.
Namun, apakah faktanya demikian?
Jejak panjang pertambangan dan penggalian di pulau kecil memunculkan persoalan air bersih warga. Jatam mencatat, sungai-sungai kecil dan besar di Pulau Bunyu banyak yang menurun kualitasnya. Warga tak bisa memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari.
Beberapa warga Pulau Bunyu akhirnya mengandalkan air tadah hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar membeli air galon isi ulang untuk minum. Adapun air PDAM yang dialirkan ke sebagian permukiman kerap keruh saat musim hujan dan kemerahan saat kemarau.
Alfiansyah (51), nelayan di Pulau Bunyu, bercerita kerap berhadap-hadapan dengan tongkang batubara saat melaut. Ia pun mendapati sejumlah daerah pesisir sudah tercemar.
KOMPAS/RADITYA HELABUMIKapal penumpang yang akan menuju Bunyu meninggalkan Pelabuhan Tengkayu, Tarakan, Kalimantan Utara, Jumat (15/7/2022). Pelabuhan Tengkayu Tarakan menjadi infrastruktur utama penghubung sejumlah daerah di Kalimantan Utara melalui transportasi laut.
”Mau tidak mau harus melaut lebih jauh. Dulu, sebelum 2014, solar Rp 100.000 saja sudah cukup. Sekarang, sekali melaut minimal Rp 300.000 untuk solar,” ujarnya, dihubungi dari Balikpapan, Minggu (8/6/2025).
Jatam mencatat, hal itu mengindikasikan adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Negara dinilai lalai dalam menjamin hak dasar warganya.
”Pelanggaran HAM di pulau-pulau kecil ditandai dengan perampasan terhadap sumber-sumber air warga, baik sungai maupun air tanah,” tulis Muhammad Jamil dan tim dalam laporan Jatam bertajuk ”Pulau Kecil Indonesia, Tanah Air Tambang”.
Beban warga
Pemerintah mengumumkan pertambangan nikel dan hilirisasinya memantik pertumbuhan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dua tahun terakhir mencatat, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah yang menjadi sentra hilirisasi nikel mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi. Ironisnya, tingkat kemiskinannya juga tinggi, terutama di perdesaan (Kompas.id, 28/5/2025).
Tak hanya itu, Greenpeace dan Celios pun menemukan hal ironis dari argumen ekonomi tersebut. Hal itu tertuang dalam laporan bertajuk ”Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif” pada 2024.
Lembaga tersebut mencatat, data dari BPS menunjukkan bahwa desa-desa yang tidak berfokus pada sektor tambang memiliki jumlah industri kecil dan mikro (IKM) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa yang sektor utamanya adalah pertambangan.
Para nelayan tradisional berunjuk rasa di wilayah tangkap mereka yang diberi izin untuk bongkar muat batubara di perairan Kelurahan Manggar, Kecamatan Balikpapan Timur, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu, 15 September 2024. (KOMPAS/SUCIPTO)
Para nelayan tradisional berunjuk rasa di wilayah tangkap mereka yang diberi izin untuk bongkar muat batubara di perairan Kelurahan Manggar, Kecamatan Balikpapan Timur, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu, 15 September 2024. (KOMPAS/SUCIPTO)
Pada tahun 2018, desa non-tambang memiliki rata-rata 31,44 unit IKM. Adapun desa tambang hanya memiliki 13,15 unit. Selisih ini bertambah pada tahun 2021, dengan desa non-tambang mencatatkan 35,77 unit IKM, sedangkan desa tambang meningkat menjadi 19,66 unit.
Meskipun ada peningkatan jumlah IKM di desa-desa tambang dari tahun 2018 ke 2021, perbedaan yang signifikan masih terlihat. Ini menunjukkan bahwa desa yang bergantung pada sektor tambang memiliki perkembangan IKM yang lebih lambat dibandingkan dengan desa yang fokus pada sektor lain, yang mungkin disebabkan ketergantungan tinggi pada sumber daya alam dan kurangnya diversifikasi ekonomi.
Kompas belum menemukan kajian mengenai total dampak negatif yang mesti dibayar warga sekitar tambang nikel dan batubara di Indonesia. Namun, penghitungan di Amerika Serikat (AS) beberapa tahun lalu bisa menjadi gambaran beban yang ditanggung masyarakat.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANATampak batubara yang dibongkar muat di North Pulau Laut Coal Terminal (NPLCT) batubara milik PT Arutmin Indonesia di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, Kamis (26/10/2023).
Center for Health and the Global Environment Harvard Medical School pernah menghitung biaya eksternal atau dampak negatif yang ditanggung dari pertambangan batubara di AS. Laporan itu berjudul ”Mining Coal, Mounting Costs: The Life Cycle Consequences of Coal”, diterbitkan pada Januari 2011 di Jurnal Annals of the New York Academy of Sciences.
Pada 2018, total estimasi biaya tahunan terendah yang ditanggung AS dari tambang batubara ialah 175 miliar dollar AS atau setara Rp 2,8 kuadriliun. Hitungan itu diestimasi dari gangguan lahan, beban kesehatan masyarakat, pencemaran udara, dampak merkuri, lubang tambang yang ditinggalkan, sampai dampak krisis iklim.
”Kami memperkirakan dampak siklus hidup batubara dan aliran limbah yang dihasilkan membebani masyarakat AS sepertiga hingga lebih dari setengah triliun dollar setiap tahunnya,” tulis laporan tersebut.
Melihat kompleksitas masalah tersebut, tata kelola pertambangan batubara dan nikel di Indonesia, terutama pulau kecil, mestinya berpijak pada sains untuk menghitung keuntungan dan kerugiannya. Jika semata mengacu pertumbuhan ekonomi, kerusakan lingkungan dan beban penyakit akan berpotensi terus menggerogoti kualitas hidup masyarakat sekitar tambang.