Industri nikel Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir berusaha unjuk diri sebagai pemain global dalam kegiatan hilirisasi produk tambang dan upaya transisi energi. Namun, pada saat yang sama, kegiatan usaha untuk industri komoditas strategis ini juga terus menghadapi isu keberlanjutan bisnis dan lingkungan.
Indonesia tidak sekadar memiliki cadangan nikel terbesar di dunia dengan jumlah sekitar 72 juta ton dari total 140 juta ton nikel. Pada tahun 2024, Indonesia juga sudah mampu memproduksi 1,8 juta ton nikel. Itu berarti lebih dari 50 persen produksi dunia yang mencapai 3,6 juta ton.
Hasil tambang itu kemudian diolah di 54 pabrik pemurnian atau peleburan (smelter) nikel yang sudah beroperasi, naik dari hanya empat pabrik peleburan sedekade lalu. Kegiatan pengolahan atau hilirisasi bertujuan memberikan nilai tambah produk tambang, salah satunya menjadi baterai kendaraan listrik yang permintaannya tengah meningkat di seluruh dunia.
Meski kegiatan hilirisasi nikel Indonesia belum menyaingi pemain global seperti kawasan Eropa dan China, penguasaan produksi tambang membuat Indonesia bisa mengontrol perdagangan dunia, termasuk harga nikel. Sayangnya, produksi nikel yang melimpah beberapa tahun terakhir tidak diimbangi peningkatan permintaan.
Trading Economics Grafik harga nikel dari 20 Mei 2024 hingga 20 Mei 2025
Tren penurunan harga nikel dunia pun terus terjadi. Bank Dunia melaporkan, rata-rata harga nikel yang pada 2022 senilai 25.834 dollar AS per ton perlahan turun menjadi rata-rata 21.521 dollar AS pada 2023, lalu merosot drastis menjadi 16.814 dollar AS pada 2024.
Mengutip Trading Economics, pada 8 Juni 2025, harga nikel diperdagangkan di level 15.490 dollar AS per ton. Laman ekonomi itu menyebut, penurunan harga terjadi karena kekhawatiran kelebihan pasokan yang terus berlanjut dari Indonesia.
”Industri nikel memang sedang menghadapi tekanan terutama akibat kelebihan pasokan dan geopolitik global. Ini akibat langkah perang dagang yang dimotori oleh Amerika Serikat sehingga memengaruhi harga komoditas kecuali emas,” kata Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia Rizal Kasli saat dihubungi Kompas, Minggu (8/6/2025).
Dalam kondisi itu, ia tidak menampik adanya dampak negatif yang dialami pelaku industri nikel di dalam negeri. Salah satunya adalah keputusan raksasa baja nirkarat (stainless steel)dunia, Tsingshan Holding Group, yang dilaporkan menghentikan sementara produksi smelter nikelnya di Indonesia pada Mei 2025 lalu.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBATampak depan area pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) berbasis nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (25/2/2019).
Rizal menilai, langkah Tsingshan bisa diartikan sebagai respons internal untuk menanggapi tekanan harga global dan faktor geopolitik serta kondisi internal perusahaan. Hal lain juga bisa disebabkan oleh faktor pasokan bijih nikel (nickel ore) dalam negeri yang memang sengaja dibatasi pemerintah guna mengontrol harga agar tidak terlalu jatuh ke level yang tidak diinginkan.
Sejauh ini, ia melihat belum ada indikasi pemangkasan tenaga kerja akibat efisiensi tersebut. ”Diharapkan pengontrolan tingkat produksi dapat memengaruhi harga komoditas nikel di pasar global,” ujarnya.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada awal tahun ini pun telah memangkas kuota produksi bijih nikel menjadi sebanyak 220 juta ton sepanjang 2025, turun dari 2024 yang sebanyak 240 juta ton.
Kementerian ESDM juga menyetujui 292 rencana kerja dan anggaran biaya pertambangan nikel untuk periode 2024-2026. Tambang nikel mayoritas berlokasi di wilayah timur Indonesia, yaitu tersebar di Pulau Sulawesi, Maluku, hingga Papua.
Di tengah upaya menyeimbangkan perdagangan nikel itu, industri nikel di Tanah Air juga dihadapkan pada masalah kerusakan lingkungan, khususnya dari kegiatan tambang. Baru-baru ini, masyarakat melaporkan ancaman dan dampak kerusakan lingkungan di kawasan wisata Raja Ampat di Papua Barat Daya akibat aktivitas tambang nikel di beberapa lokasi.
Laporan itu salah satunya datang dari organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia yang menyoroti pelanggaran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pelanggaran terjadi di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Greenpeace Indonesia menemukan, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami khas. Menurut catatan mereka, luasan itu sebagian kecil dari 26.837 hektar deforestasi langsung yang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk tambang nikel hingga 2023.
Serial Artikel
Eksploitasi Pertambangan Nikel Mengancam Ekologi Kepulauan Raja Ampat
Pertambangan nikel mengusik kelestarian alam wilayah Papua. Bahkan, kawasan ekowisata Raja Ampat, Papua Barat Daya, menjadi titik pertambangan yang masif saat ini.
Kementerian ESDM pun menanggapi laporan tersebut. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sempat terjun ke lapangan dalam kunjungan kerja pada Sabtu (7/6/2025). Pemerintah melaporkan, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki izin resmi untuk beroperasi di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Dua perusahaan memperoleh izin dari pemerintah pusat, yaitu anak usaha PT Aneka Tambang (Persero) Tbk bernama PT Gag Nikel dengan izin operasi produksi sejak tahun 2017 serta PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dengan izin operasi produksi sejak tahun 2013.
Tiga perusahaan lain memperoleh izin dari pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati Raja Ampat. Ketiganya adalah PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) dengan IUP diterbitkan pada 2013, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengan IUP diterbitkan pada 2013, dan PT Nurham dengan IUP diterbitkan pada 2025.
”Kementerian ESDM menegaskan bahwa seluruh kegiatan pertambangan di Raja Ampat diawasi secara ketat dan transparan. Pengawasan mencakup aspek legalitas, perlindungan lingkungan, serta kepatuhan terhadap kawasan konservasi dan hutan lindung,” tulis kementerian dalam rilis resmi, Minggu (8/6/2025).
Isu ini memantik perhatian dari masyarakat luas. Sejumlah kelompok masyarakat mendorong evaluasi keberadaan tambang di Raja Ampat. Perkumpulan Usaha Wisata Selam Indonesia (Indonesia Divetourism Company Association/IDCA) bahkan telah melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto.
CITRA SATELIT SENTINELPerbandingan citra satelit yang menunjukkan kondisi Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, selama beberapa tahun terakhir.
Surat tersebut menyuarakan kekhawatiran akan dampak aktivitas pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat sebagai destinasi selam kelas dunia. Lokasi tambang yang berada di Pulau Kawe, menurut IDCA, berdekatan dengan ikon wisata Pulau Wayag. Aktivitas tambang dikhawatirkan akan mencemari kawasan konservasi melalui sedimentasi laut, membahayakan habitat manta ray dan terumbu karang, serta merusak reputasi Indonesia sebagai destinasi selam terbaik dunia.
Dalam surat tersebut, IDCA menuntut pencabutan izin tambang di Raja Ampat, perluasan zona perlindungan laut, penguatan ekonomi hijau berbasis masyarakat, dan pelibatan aktif komunitas lokal dalam pengelolaan kawasan.
”Raja Ampat bukan hanya kebanggaan nasional, tetapi juga simbol konservasi laut global. Keberadaan industri ekstraktif seperti tambang nikel menjadi sangat kontradiktif di kawasan dengan nilai ekologis setinggi ini,” ujar Ketua Umum IDCA Ebram Harimurti dalam rilis pers.
Perlu sekiranya aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat dibekukan secara permanen.
IDCA mengingatkan, lebih dari 60 persen daya tarik pariwisata Indonesia berasal dari kekayaan alam. Raja Ampat tercatat menghasilkan lebih dari Rp 150 miliar per tahun dari sektor pariwisata. Ini jauh lebih berkelanjutan dibandingkan industri tambang yang bersifat jangka pendek dan merusak lingkungan.
”Kami menyadari bahwa pembangunan nasional memerlukan strategi multisektor, termasuk pengembangan industri nikel sebagai bagian dari hilirisasi dan transisi energi. Namun, kami percaya tidak semua wilayah cocok untuk ditambang. Justru di sini pentingnya hadir pendekatan win-win solution antara sektor pertambangan dan pariwisata,” kata Ebram.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKODalam foto yang diambil untuk liputan khusus Ekspedisi Tanah Papua oleh ”Kompas” pada tahun 2021 ini terlihat kawasan pantai yang sebagian tertutup lumpur di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat. Foto diambil pada Minggu (6/6/2021). Penambangan material nikel di Pulau Gag saat ini masih terus berlangsung.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Akmaluddin Rachim, menilai, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, tidak membolehkan aktivitas pertambangan dilakukan. Hal itu membuat keberadaan tambang nikel menjadi persoalan. Kegiatan pertambangan dipandang hanya akan merusak keindahan dan ekosistem Raja Ampat yang keragaman hayatinya telah diakui dunia.
”Jadi, semestinya sejak awal kawasan Raja Ampat tidak didedikasikan untuk kegiatan pengelolaan pertambangan. Oleh sebab itu, perlu sekiranya aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat dibekukan secara permanen,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Sebagai industri yang tengah menjadi primadona dunia, tambang nikel selayaknya tidak dibarengi dengan kerusakan lingkungan dan ekosistem sekitar akibat aktivitas pertambangan yang tidak bertanggung jawab. Risiko lingkungan itu turut menjadi penyebab beberapa negara perlahan mulai meninggalkan nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.
”Kita berharap momentum banyaknya sorotan penolakan publik terhadap aktivitas tambang di Raja Ampat ini menjadi evaluasi pemerintah agar berbenah memperbaiki tata kelola izin pertambangan, meninjau ulang peruntukan pengelolaan pulau-pulau kecil, dan menjaga agar keindahan alam Indonesia tidak dirusak oleh nafsu kebijakan dengan dalih peningkatan nilai tambah,” tuturnya.
Industri nikel Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir berusaha unjuk diri sebagai pemain global dalam kegiatan hilirisasi produk tambang dan upaya transisi energi. Namun, pada saat yang sama, kegiatan usaha untuk industri komoditas strategis ini juga terus menghadapi isu keberlanjutan bisnis dan lingkungan.
Indonesia tidak sekadar memiliki cadangan nikel terbesar di dunia dengan jumlah sekitar 72 juta ton dari total 140 juta ton nikel. Pada tahun 2024, Indonesia juga sudah mampu memproduksi 1,8 juta ton nikel. Itu berarti lebih dari 50 persen produksi dunia yang mencapai 3,6 juta ton.
Hasil tambang itu kemudian diolah di 54 pabrik pemurnian atau peleburan (smelter) nikel yang sudah beroperasi, naik dari hanya empat pabrik peleburan sedekade lalu. Kegiatan pengolahan atau hilirisasi bertujuan memberikan nilai tambah produk tambang, salah satunya menjadi baterai kendaraan listrik yang permintaannya tengah meningkat di seluruh dunia.
Meski kegiatan hilirisasi nikel Indonesia belum menyaingi pemain global seperti kawasan Eropa dan China, penguasaan produksi tambang membuat Indonesia bisa mengontrol perdagangan dunia, termasuk harga nikel. Sayangnya, produksi nikel yang melimpah beberapa tahun terakhir tidak diimbangi peningkatan permintaan.
Trading Economics Grafik harga nikel dari 20 Mei 2024 hingga 20 Mei 2025
Tren penurunan harga nikel dunia pun terus terjadi. Bank Dunia melaporkan, rata-rata harga nikel yang pada 2022 senilai 25.834 dollar AS per ton perlahan turun menjadi rata-rata 21.521 dollar AS pada 2023, lalu merosot drastis menjadi 16.814 dollar AS pada 2024.
Mengutip Trading Economics, pada 8 Juni 2025, harga nikel diperdagangkan di level 15.490 dollar AS per ton. Laman ekonomi itu menyebut, penurunan harga terjadi karena kekhawatiran kelebihan pasokan yang terus berlanjut dari Indonesia.
”Industri nikel memang sedang menghadapi tekanan terutama akibat kelebihan pasokan dan geopolitik global. Ini akibat langkah perang dagang yang dimotori oleh Amerika Serikat sehingga memengaruhi harga komoditas kecuali emas,” kata Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia Rizal Kasli saat dihubungi Kompas, Minggu (8/6/2025).
Dalam kondisi itu, ia tidak menampik adanya dampak negatif yang dialami pelaku industri nikel di dalam negeri. Salah satunya adalah keputusan raksasa baja nirkarat (stainless steel)dunia, Tsingshan Holding Group, yang dilaporkan menghentikan sementara produksi smelter nikelnya di Indonesia pada Mei 2025 lalu.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBATampak depan area pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) berbasis nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (25/2/2019).
Rizal menilai, langkah Tsingshan bisa diartikan sebagai respons internal untuk menanggapi tekanan harga global dan faktor geopolitik serta kondisi internal perusahaan. Hal lain juga bisa disebabkan oleh faktor pasokan bijih nikel (nickel ore) dalam negeri yang memang sengaja dibatasi pemerintah guna mengontrol harga agar tidak terlalu jatuh ke level yang tidak diinginkan.
Sejauh ini, ia melihat belum ada indikasi pemangkasan tenaga kerja akibat efisiensi tersebut. ”Diharapkan pengontrolan tingkat produksi dapat memengaruhi harga komoditas nikel di pasar global,” ujarnya.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada awal tahun ini pun telah memangkas kuota produksi bijih nikel menjadi sebanyak 220 juta ton sepanjang 2025, turun dari 2024 yang sebanyak 240 juta ton.
Kementerian ESDM juga menyetujui 292 rencana kerja dan anggaran biaya pertambangan nikel untuk periode 2024-2026. Tambang nikel mayoritas berlokasi di wilayah timur Indonesia, yaitu tersebar di Pulau Sulawesi, Maluku, hingga Papua.
Di tengah upaya menyeimbangkan perdagangan nikel itu, industri nikel di Tanah Air juga dihadapkan pada masalah kerusakan lingkungan, khususnya dari kegiatan tambang. Baru-baru ini, masyarakat melaporkan ancaman dan dampak kerusakan lingkungan di kawasan wisata Raja Ampat di Papua Barat Daya akibat aktivitas tambang nikel di beberapa lokasi.
Laporan itu salah satunya datang dari organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia yang menyoroti pelanggaran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pelanggaran terjadi di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Greenpeace Indonesia menemukan, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami khas. Menurut catatan mereka, luasan itu sebagian kecil dari 26.837 hektar deforestasi langsung yang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk tambang nikel hingga 2023.
Serial Artikel
Eksploitasi Pertambangan Nikel Mengancam Ekologi Kepulauan Raja Ampat
Pertambangan nikel mengusik kelestarian alam wilayah Papua. Bahkan, kawasan ekowisata Raja Ampat, Papua Barat Daya, menjadi titik pertambangan yang masif saat ini.
Kementerian ESDM pun menanggapi laporan tersebut. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sempat terjun ke lapangan dalam kunjungan kerja pada Sabtu (7/6/2025). Pemerintah melaporkan, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki izin resmi untuk beroperasi di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Dua perusahaan memperoleh izin dari pemerintah pusat, yaitu anak usaha PT Aneka Tambang (Persero) Tbk bernama PT Gag Nikel dengan izin operasi produksi sejak tahun 2017 serta PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dengan izin operasi produksi sejak tahun 2013.
Tiga perusahaan lain memperoleh izin dari pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati Raja Ampat. Ketiganya adalah PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) dengan IUP diterbitkan pada 2013, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengan IUP diterbitkan pada 2013, dan PT Nurham dengan IUP diterbitkan pada 2025.
”Kementerian ESDM menegaskan bahwa seluruh kegiatan pertambangan di Raja Ampat diawasi secara ketat dan transparan. Pengawasan mencakup aspek legalitas, perlindungan lingkungan, serta kepatuhan terhadap kawasan konservasi dan hutan lindung,” tulis kementerian dalam rilis resmi, Minggu (8/6/2025).
Isu ini memantik perhatian dari masyarakat luas. Sejumlah kelompok masyarakat mendorong evaluasi keberadaan tambang di Raja Ampat. Perkumpulan Usaha Wisata Selam Indonesia (Indonesia Divetourism Company Association/IDCA) bahkan telah melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto.
CITRA SATELIT SENTINELPerbandingan citra satelit yang menunjukkan kondisi Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, selama beberapa tahun terakhir.
Surat tersebut menyuarakan kekhawatiran akan dampak aktivitas pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat sebagai destinasi selam kelas dunia. Lokasi tambang yang berada di Pulau Kawe, menurut IDCA, berdekatan dengan ikon wisata Pulau Wayag. Aktivitas tambang dikhawatirkan akan mencemari kawasan konservasi melalui sedimentasi laut, membahayakan habitat manta ray dan terumbu karang, serta merusak reputasi Indonesia sebagai destinasi selam terbaik dunia.
Dalam surat tersebut, IDCA menuntut pencabutan izin tambang di Raja Ampat, perluasan zona perlindungan laut, penguatan ekonomi hijau berbasis masyarakat, dan pelibatan aktif komunitas lokal dalam pengelolaan kawasan.
”Raja Ampat bukan hanya kebanggaan nasional, tetapi juga simbol konservasi laut global. Keberadaan industri ekstraktif seperti tambang nikel menjadi sangat kontradiktif di kawasan dengan nilai ekologis setinggi ini,” ujar Ketua Umum IDCA Ebram Harimurti dalam rilis pers.
Perlu sekiranya aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat dibekukan secara permanen.
IDCA mengingatkan, lebih dari 60 persen daya tarik pariwisata Indonesia berasal dari kekayaan alam. Raja Ampat tercatat menghasilkan lebih dari Rp 150 miliar per tahun dari sektor pariwisata. Ini jauh lebih berkelanjutan dibandingkan industri tambang yang bersifat jangka pendek dan merusak lingkungan.
”Kami menyadari bahwa pembangunan nasional memerlukan strategi multisektor, termasuk pengembangan industri nikel sebagai bagian dari hilirisasi dan transisi energi. Namun, kami percaya tidak semua wilayah cocok untuk ditambang. Justru di sini pentingnya hadir pendekatan win-win solution antara sektor pertambangan dan pariwisata,” kata Ebram.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKODalam foto yang diambil untuk liputan khusus Ekspedisi Tanah Papua oleh ”Kompas” pada tahun 2021 ini terlihat kawasan pantai yang sebagian tertutup lumpur di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat. Foto diambil pada Minggu (6/6/2021). Penambangan material nikel di Pulau Gag saat ini masih terus berlangsung.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Akmaluddin Rachim, menilai, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, tidak membolehkan aktivitas pertambangan dilakukan. Hal itu membuat keberadaan tambang nikel menjadi persoalan. Kegiatan pertambangan dipandang hanya akan merusak keindahan dan ekosistem Raja Ampat yang keragaman hayatinya telah diakui dunia.
”Jadi, semestinya sejak awal kawasan Raja Ampat tidak didedikasikan untuk kegiatan pengelolaan pertambangan. Oleh sebab itu, perlu sekiranya aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat dibekukan secara permanen,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Sebagai industri yang tengah menjadi primadona dunia, tambang nikel selayaknya tidak dibarengi dengan kerusakan lingkungan dan ekosistem sekitar akibat aktivitas pertambangan yang tidak bertanggung jawab. Risiko lingkungan itu turut menjadi penyebab beberapa negara perlahan mulai meninggalkan nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.
”Kita berharap momentum banyaknya sorotan penolakan publik terhadap aktivitas tambang di Raja Ampat ini menjadi evaluasi pemerintah agar berbenah memperbaiki tata kelola izin pertambangan, meninjau ulang peruntukan pengelolaan pulau-pulau kecil, dan menjaga agar keindahan alam Indonesia tidak dirusak oleh nafsu kebijakan dengan dalih peningkatan nilai tambah,” tuturnya.