Problem Pengangguran di Dunia dan Indonesia

Pengangguran merupakan masalah kritis yang terus menjadi tantangan dunia, termasuk Indonesia. Perlu menjadi perhatian di tengah melemahnya ekonomi global.

Oleh Ghozi Akhsan Fatahilah, Antonius Purwanto

08 Jun 2025 10:01 WIB · Kajian Data

Apa artinya menganggur? Pertanyaan ini tampaknya mudah dijawab, setidaknya secara sepintas. Tidak mampu membayar sewa, tidak mampu mengenyam pendidikan atau mengunjungi dokter, tidak mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga. Pengangguran, seperti yang diketahui, memiliki banyak konsekuensi negatif, baik di tingkatan keluarga maupun negara. Karena itu, negara-negara di dunia terus berupaya menekan angka pengangguran.

Mengacu pada Bank Dunia, pengangguran  didefinisikan sebagai jumlah angkatan kerja yang tidak memiliki pekerjaan tetapi bersedia dan sedang mencari pekerjaan. Tingkat pengangguran diukur dengan membagi jumlah pengangguran dengan angkatan kerja. Secara umum, tingkat pengangguran yang tinggi sering kali menghasilkan dampak negatif bagi perekonomian.

Bank Dunia mencatat, pada tahun 2024, terdapat 180,44 juta orang menganggur di dunia. Jumlah tersebut setara dengan 4,89 persen populasi dunia. Masih menurut Bank Dunia, terdapat 99 negara dengan tingkat pengangguran di atas rata-rata dunia. Tiga negara dengan tingkat pengangguran tertinggi pada 2024 ialah Eswatini (34,40 persen), Afrika Selatan (33,17 persen), dan Djibouti (25,88 persen). Ketiga  negara ini konsisten menempati posisi teratas selama 10 tahun terakhir.

Di sisi lain, ada 92 negara dengan tingkat pengangguran di bawah rata-rata dunia. Tiga negara dengan pengangguran terendah pada 2024 ialah Qatar, Kamboja, dan Niger. Tingkat pengangguran di tiga negara tersebut relatif stabil di bawah satu persen selama periode 2015–2024. Sementara tingkat pengangguran Indonesia berada di bawah rata-rata dunia, yaitu 3,30 persen.

Jika dilihat berdasarkan tingkat pendapatan dan kawasan, tingkat pengangguran tertinggi tercatat pada kelompok negara berpendapatan menengah-atas dan negara berkembang di Amerika Latin dan Afrika. Pada 2024, kawasan Amerika Latin dan Karibia mencatat angka pengangguran 6,15 persen, disusul Afrika Sub-Saharan 5,82 persen.

Sebaliknya, kelompok dengan tingkat pengangguran terendah berasal dari negara berpendapatan rendah dan kawasan Asia Timur. Asia Timur dan Pasifik, yang tidak termasuk negara berpendapatan tinggi, memiliki tingkat pengangguran 3,89 persen.

Untuk kawasan Asia Tenggara, rata-rata tingkat pengangguran negara-negara ASEAN pada tahun 2024 tercatat 2,35 persen. Proporsi ini berada di bawah rata-rata dunia. Kondisi ini menunjukkan kinerja pasar tenaga kerja di ASEAN yang relatif lebih baik dibandingkan dengan rata-rata global.

Suasana para pencari kerja di acara Job Fair di GOR Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (29/4/2025). Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Jakarta Selatan menggelar job fair atau bursa kerja di dua kecamatan yakni di Kecamatan Pancoran dan Cilandak. Sebanyak 40 perusahaan mengikuti bursa kerja ini dengan membuka 5.457 lowongan kerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) di 2024, persentase tingkat pengangguran di Jakarta sebesar 6,21 persen. Bursa kerja ini menjadi cara pemerintah menjangkau para pencari kerja di tingkat kecamatan. Acara bursa kerja ini berlangsung dari 29 dan 30 April 2025. 

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN (FAK)
29-04-2025
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Suasana para pencari kerja di acara Job Fair di GOR Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (29/4/2025). Pengangguran di Indonesia semakin bertambah. Berdasarkan data BPS, pada Februari 2025 bertambah 83.000 penganggur.

Cara dunia mengurangi pengangguran

Bank Dunia terus mendorong negara-negara di dunia menangani pengangguran melalui  strategi pembangunan. Tiga strategi yang menjadi jurus negara-negara di dunia menekan pengangguran adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mendukung program pasar tenaga kerja, dan mempromosikan pembangunan yang inklusif dengan memperluas keterlibatan akses yang merata pada semua kelompok masyarakat, terutama mereka yang rentan dan miskin.

Kombinasi strategi ini perlahan-lahan dapat mampu mengikis pengangguran di dunia. Dengan pembangunan yang lebih inklusif, kondisi ketenagakerjaan global dalam satu dekade terakhir menunjukkan hal yang positif. Berdasarkan data dari Bank Dunia, tingkat pengangguran global cenderung menurun dari 6,01 persen pada 2015 (201,94 juta jiwa pengangguran) menjadi 4,89 persen pada 2024 (180,44 juta jiwa pengangguran). Salah satu faktor penting mengurangi pengangguran adalah strategi pembangunan inklusif, bukan pembangungan untuk kelompok masyarakat tertentu saja.

Namun, tren penurunan ini sempat terganggu pada 2020 akibat pandemi Covid-19.  Saat itu, proporsi pengangguran di dunia naik menjadi 6,61 persen atau 230 juta orang. Hampir seluruh negara mengalami lonjakan pengangguran pada masa pandemi Covid-19.

Tiga negara dengan lonjakan pengangguran tertinggi adalah Myanmar, Panama, dan Amerika Serikat. Pengangguran di Myanmar melonjak 263 persen dari 2019 ke 2020. Untuk Panama terjadi lonjakan pengangguran 134 persen dari 2019 ke 2020. Sementara di AS, tingkat pengangguran  melonjak 120 persen dari 2019 ke 2020.

Senada dengan yang terjadi di tingkat global, tingkat pengangguran di ASEAN juga melonjak pada masa Covid-19. Hampir seluruh negara mengalami puncak pengangguran pada periode 2020–2021, tetapi tren pengangguran kembali menurun secara konsisten pada tahun 2022. Pemulihan pasca-pandemi Covid-19 berjalan cukup solid di sebagian besar negara ASEAN.

Di luar kondisi luar biasa akibat pandemi, beberapa negara ASEAN menunjukkan dinamika yang beragam. Brunei Darussalam, misalnya, mengalami tren penurunan pengangguran, dari 9,32 persen pada 2017 menjadi 5,14 persen pada 2024. Sebaliknya, Myanmar mengalami lonjakan pengangguran. Tingkat pengangguran Myanmar naik dari 0,41 persen pada 2019 menjadi 4,34 persen pada 2021. Salah satu faktor penyebab kenaikan pengangguran di Myanmar pada periode tersebut ialah ketidakstabilan politik dalam negerinya yang berdampak pada sektor ekonomi.

Sejumlah negara, seperti Thailand, Kamboja, dan Laos, mencatatkan tingkat pengangguran yang sangat rendah (di bawah 1 persen) pada sebagian besar periode. Sementara tingkat pengangguran Indonesia tercatat masih lebih tinggi dibandingkan rerata ASEAN.

Angka pengangguran di Indonesia menjadi yang tertinggi ketiga di antara negara-negara ASEAN. Meskipun menunjukkan kinerja yang relatif baik secara global, Indonesia masih menjadi salah satu negara yang memiliki problem ketenagakerjaannya di kawasan ASEAN.

infografik Tingkat Pengangguran di ASEAN
Infografik Tingkat Pengangguran di ASEAN
Infografik-Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasar Pendidikan *** Local Caption *** Infografik-Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasar Pendidikan
Infografik Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasar Pendidikan

Potret pengangguran di Indonesia

Sebagaimana negara-negara di dunia, Indonesia juga terus berupaya mengurangi jumlah pengangguran. Selama satu dekade terakhir, tren pengangguran di Indonesia cenderung fluktuatif. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor, seperti kondisi ekonomi global, kebijakan pemerintah, tingkat pendidikan, serta perkembangan sektor industri dan teknologi.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran nasional pada Februari  2015 mencapai 5,81 persen atau sekitar 7,45 juta jiwa menurun pada Februari 2025, yakni 4,76 persen atau 7,29 juta orang dari jumlah angkatan kerja yang sebanyak 153,05 juta.

Meski secara nasional menurun, belum semua daerah mengalami hal yang sama. Ada enam provinsi dengan tingkat pengangguran yang selalu di atas tingkat pengangguran nasional sejak tahun 2015 hingga 2025, yaitu Maluku, Sulawesi Utara, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau.

Namun, ada juga provinsi-provinsi yang tingkat penganggurannya tidak pernah di atas tingkat pengangguran nasional. Provinsi-provinsi tersebut adalah Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sulteng, Sultra, Gorontalo, Sulbar, Maluku Utara, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.

Tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia terjadi pada Agustus 2020, yaitu mencapai 7,07 persen. Angka ini meningkat hampir 50 persen dari Februari pada tahun yang sama. Hal ini tidak telepas dari dampak pandemi Covid-19 yang memukul perekonomian nasional dan sektor ketenagakerjaan. Kondisi ini menegaskan seriusnya dampak pandemi Covid-19 pada pasar tenaga kerja nasional yang menyebabkan banyaknya orang menganggur pada masa itu.

Untuk tahun ini, sebagaimana dikutip dari ”World Economic Outlook” edisi April 2025, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan tingkat pengangguran Indonesia meningkat dari 4,9 persen pada 2024 menjadi 5 persen pada 2025. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi tertinggi kedua di Asia setelah Filipina.

Antrean pencari kerja sebagai Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP) di Balai Kota Jakarta, Rabu (23/4/2025).
Antrean pencari kerja sebagai penyedia jasa lainnya perorangan di Balai Kota Jakarta, Rabu (23/4/2025). Pemprov Jakarta membuka lowongan 2.100 tenaga PPSU dan Damkar yang diserbu warga Jakarta.

Waspadai dampak pelemahan ekonomi

Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran berharga bagi pemahaman dinamika pengangguran global. Pandemi menyerang sisi permintaan sekaligus penawaran dalam perekonomian secara bersamaan. Di banyak negara, pandemi menurunkan konsumsi, menurunkan investasi, dan memutus rantai produksi dan distribusi sehingga menyebabkan lonjakan pengangguran akibat PHK massal sebagai dampak penutupan usaha.

Menurut studi dari Victor et al. (2021) berjudul ”From a Recession to the Covid-19 Pandemic: Inflation-Unemployment Comparison between the UK and India”, kondisi ini menciptakan situasi ekonomi yang berpotensi berkembang menjadi stagflasi, terutama di negara-negara berkembang. Stagflasi adalah periode ketika pertumbuhan ekonomi melambat disertai tingginya angka pengangguran terjadi bertepatan dengan kenaikan inflasi.

Salah satu contohnya adalah India. Pada masa Covid-19, tingkat pengangguran di India mencapai angka 7,86 persen (2020), sedangkan setahun sebelumnya (2019), tingkat penganggurannya masih 6,51 persen. Sebelumnya, India sudah mengalami tekanan ekonomi sejak 2016. Datangnya pandemi memperparah situasi ekonomi dan menghasilkan hubungan positif antara inflasi dan pengangguran.

Hal sebaliknya tidak terjadi di Inggris. Meskipun Inggris juga mengalami kontraksi ekonomi yang tajam pada masa pandemi, Pemerintah Inggris berhasil menjaga inflasi tetap terkendali dan hubungan inflasi-pengangguran cenderung menunjukkan trade-off jangka pendek. Perbedaan ini menegaskan bahwa struktur ekonomi domestik dan respons kebijakan sangat memengaruhi hasil akhir dalam pasar tenaga kerja.

Pandemi juga membuktikan bahwa pendekatan ekonomi konvensional tidak lagi memadai. Kebijakan moneter dan fiskal jangka pendek tidak cukup untuk menangani krisis yang menekan sisi penawaran dan permintaan sekaligus.

Karena itu, studi tersebut merekomendasikan pendekatan baru berbasis horizon waktu yang mencakup tiga tahap: relief (bantuan langsung jangka pendek), recovery (penguatan sektor produktif jangka menengah), dan reform (transformasi struktural jangka panjang). Model ini dinilai lebih adaptif dalam menghadapi krisis multidimensi, seperti pandemi, dan mencegah terulangnya stagnasi ekonomi yang berkepanjangan.

<p>Calon penerima bantuan beristirahat setelah mengantre lama pencairan bantuan langsung tunai untuk korban PHK di Sidoarjo, Senin (14/12/2020). Total 5.000 karyawan yang menjadi korban PHK karena pandemi Covid-19 ini menerima bantuan Rp 600.000 per orang.</p>
Dua penerima bantuan beristirahat setelah mengantre lama pencairan bantuan langsung tunai untuk korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di Sidoarjo, 14 Desember 2020. Total 5.000 karyawan yang menjadi korban PHK karena pandemi Covid-19 ini menerima bantuan Rp 600.000 per orang.

Menurut Bank Dunia, sebagian besar negara berkembang dan berpenghasilan rendah menghadapi tantangan yang lebih berat dalam menangani pengangguran. Lemahnya pertumbuhan pendapatan per kapita dapat membuat jumlah penganggur bisa meningkat jika tidak diantisipasi dengan kebijakan yang tepat.

Terlebih saat ini, dunia sedang menghadapi ekonomi yang lesu akibat ketidakpastian global karena gejolak geopolitik di sejumlah negara, dampak perang tarif impor, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara berpengaruh yang diikuti kebijakan moneter yang ketat.

Tekanan ekonomi dunia ini membuat lembaga IMF memperkirakan ekonomi global tumbuh melambat, yakni 2,8 persen pada 2025. Suasana kelesuan ekonomi ini mirip dengan situasi pandemi Covid-19 pada 2022. Masyarakat juga mulai menghadapi bencana PHK massal di tengah melemahnya ekonomi global dan penurunan daya beli.

Kelesuan ekonomi ini sudah mulai dirasakan pasar tenaga kerja nasional. Berdasar data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), indeks menabung masyarakat pada Mei 2025 berada pada angka 79,0. Indeks ini menurun 4,4 poin dari April 2025. Penurunan indeks menabung ini mengindikasikan kemampuan masyarakat untuk menyisihkan uang sebagai tabungan semakin melemah dan menggunakan uang tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Warga peserta program Padat Karya membersihkan Jalan Soekarno-Hatta, Kota Magelang, Jawa Tengah, Rabu (12/4/2023). Pemerintah Kota Magelang kembali menyelenggarakan program Padat Karya selama tiga periode dengan sasaran 17 kelurahan bagi warga penganggur dan setengah penganggur. Peserta Padat Karya yang berlangsung selama 10 hari menerima upah Rp 60.000 per hari setelah bekerja membersihkan tempat sasaran selama sekitar empat jam.
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Warga peserta program padat karya membersihkan Jalan Soekarno-Hatta, Kota Magelang, Jawa Tengah, 12 April 2023. Saat itu, Pemerintah Kota Magelang menyelenggarakan program padat karya bagi warga penganggur dan setengah penganggur. Peserta Padat Karya menerima upah Rp 60.000 per hari.

Demikian pula dampak pada pasar tenaga kerja nasional. Menurut data BPS, pada Februari 2025 terdapat penambahan 83.000 penganggur dibandingkan Februari 2024. Meski demikian, BPS memberikan catatan bahwa peningkatan pengangguran tersebut seiring dengan bertambahnya jumlah angkatan kerja yang mencapai 3,67 juta orang.

Pada Februari 2025, jumlah angkatan kerja 153,05 juta orang, dengan jumlah pengangguran 7,28 juta orang. Proporsi tersebut setara dengan TPT sebesar 4,76 persen, yang merupakan angka terendah sejak 1998 (Kompas, 7/5/2025).

Berkaca pada saat dunia mengalami pandemi Covid-19, pelemahan ekonomi menjadi salah satu masa di mana angka pengangguran dapat melonjak tinggi. Karena itu, masalah sosial ini perlu menjadi perhatian di tengah melemahnya ekonomi global. Dukungan nyata kepemimpinan negara, baik di pusat maupun di daerah, pada masalah penanganan pengangguran dan PHK sangat dibutuhkan pada kondisi ekonomi yang sulit seperti saat sekarang.

Dalam hal darurat, program padat karya dapat dilakukan untuk mengantisipasi dampak PHK akibat pelemahan ekonomi. Anggaran pemerintah harus lebih banyak dialokasikan untuk pemulihan ekonomi rakyat dan memberikan insentif pada dunia industri. Langkah Pemprov Jakarta yang membuka perekrutan 2.100 tenaga PPSU dan Damkar pada April 2025 bisa menjadi contoh kebijakan nyata keberpihakan pemerintah mencegah bertambahnya pengangguran.

Diperlukan lebih banyak langkah strategis di tingkat lokal, nasional, ataupun global untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan mengatasi hambatan struktural agar bermanfaat bagi pembangunan jangka panjang dan penyerapan tenaga kerja. (LITBANG KOMPAS)


Kerabat Kerja

Penulis:

Ghozi Akhsan Fatahilah, Antonius Purwanto
 | 

Editor:

Andreas Yoga Prasetyo
 | 

Infografik:

Dimas Tri AdiyantoDicky Indratno
 | 

Penyelaras Bahasa:

Lucia Dwi Puspita Sari