”Respublica, Sekali Lagi Respublica!” dan Gotong Royong

Sebuah negara Republik bisa saja berdiri dan bertahan secara formal, tapi tanpa semangat gotong royong, akan menjadi negara yang kering dan teknokratis.

Oleh Agus Wahyudi

08 Jun 2025 14:00 WIB · Artikel Opini

Respublica sekali lagi Respublica!” adalah seruan Soekarno pada 22 April 1959 untuk mengingatkan bangsa Indonesia agar tidak mengkhianati cita-cita awal kemerdekaan, yaitu membangun negara republik dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan anti-penindasan, serta untuk terus menjaga semangat revolusi agar tidak dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan elite atau anti-demokratis.

Republik adalah gagasan modern, berasal dari pengertian bahwa negara adalah ”urusan publik” atau merupakan ”milik bersama”. Pesan Soekarno tentang Republik pada hari lahir Pancasila 1 Juni saat ini relevan dibaca kembali, terutama karena Republik dalam negara Pancasila adalah ide besar yang perlu terus disegarkan dan diperbarui dan karena Soekarno telah membantu kita mengenali ruh sosial dan moral dari Republik yang dibayangkan dalam gagasan tentang Gotong Royong.

Tulisan ini hendak menguraikan apa yang permanen dan apa yang sementara dari pidato Soekarno, 22 April 1959, dan mengapa Gotong Royong merupakan ruh sosial dan moral dari Republik kita.

Republik

Kita dapat merangkum isi pidato Soekarno itu dalam beberapa poin. Pertama, Soekarno menegaskan bahwa negara Indonesia berjiwa Republik (Respublica), ia menekankan bahwa negara Indonesia bukan kerajaan, bukan dinasti, bukan negara elite, melainkan negara milik seluruh rakyat. Soekarno menegaskan bahwa semangat republik berarti anti-feodalisme, anti-kolonialisme, dan anti-oligarki.

Kedua, Soekarno mengkritik demokrasi liberal. Soekarno menyatakan bahwa sistem demokrasi liberal parlementer (yang dianut Indonesia sejak 1950) telah gagal membawa stabilitas politik dan kesejahteraan rakyat. Ia menyebut demokrasi liberal menghasilkan perpecahan partai, konflik ideologi, dan membuat pemerintah tidak efektif. Menurut dia, rakyat hanya dijadikan obyek elite politik, bukan subyek dalam pembangunan nasional.

Ketiga, Soekarno menyerukan agar Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 karena dianggap lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ia menilai UUD 1945 memberi ruang bagi kepemimpinan nasional dan stabilitas, bukan perpecahan seperti UUDS 1950. Di masa itu, Soekarno melihat Konstituante telah gagal menjalankan tugas menyusun UUD baru sehingga kembali ke UUD 1945 dianggap solusi realistis dan revolusioner.

Keempat, Soekarno menegaskan bahwa bangsa Indonesia sedang dalam proses revolusi nasional yang belum selesai. Ia mengajak untuk meninggalkan ego sektoral dan meletakkan kepentingan nasional di atas kepentingan partai atau ideologi sempit, dan menekankan bahwa revolusi belum selesai karena revolusi bukan hanya soal kemerdekaan, melainkan juga pembebasan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.

Kelima dan terakhir, Soekarno memohon dengan nada emosional agar para anggota Konstituante dan rakyat tidak mengkhianati semangat republik. Ia menyerukan agar semangat ”negara milik semua” dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya, dan karena itu kalimat penutup yang kuat dan disampaikannya berulang-ulang: ”Respublica, sekali lagi Respublica!”

Ada banyak pesan dari pidato Soekarno yang konteks dan momentumnya perlu kita pertimbangkan untuk membantu memahami warisan permanen yang masih bertahan dan perlu kita pertahankan, dan sebaliknya hal-hal yang mungkin dapat kita anggap sebagai sementara dan merupakan pelajaran sejarah masa lalu.

Sejumlah warisan permanen yang bertahan dan perlu dipertahankan adalah, pertama, semangat kedaulatan rakyat. Konsep ”respublica” menekankan bahwa negara adalah milik rakyat, bukan milik elite, keluarga politik, atau segelintir kelompok akan tetap relevan untuk melawan oligarki, politik dinasti, dan komersialisasi kekuasaan yang masih menjadi persoalan di Indonesia hari ini. Semangat ini memperkuat prinsip demokrasi konstitusional dan menolak segala bentuk pengkhianatan terhadap kepentingan rakyat.

Gagalnya Sosio-Demokrasi Soekarno
63 Tahun Mimpi Marhaen

Serial Artikel

Gagalnya Sosio-Demokrasi Soekarno
63 Tahun Mimpi Marhaen

Gagalnya Sosio-Demokrasi Soekarno

Bagi Bung Karno, demokrasi tidak boleh dipisahkan dari upaya memajukan keadilan sosial, harus dibarengi demokrasi ekonomi.

Baca Artikel

Kedua, kritik terhadap feodalisme dan ketimpangan sosial. Soekarno menolak segala bentuk feodalisme baru dan menghendaki tatanan sosial yang adil. Warisan pemikiran ini tetap relevan dalam menghadapi ketimpangan ekonomi, akses pendidikan yang timpang, dan dominasi kelompok kaya terhadap kebijakan publik.

Ketiga, penekanan pada persatuan dan kepentingan nasional. Soekarno mengingatkan agar jangan terjebak dalam fanatisme partai, sektarianisme, atau ideologi sempit. Pesan ini masih penting untuk meredam polarisasi politik dan sektarianisme agama/etnis yang mengancam kohesi nasional.

Keempat, kesadaran akan proyek revolusi yang belum selesai. Revolusi, menurut Soekarno, adalah pembebasan struktural rakyat dari penindasan ekonomi dan kebodohan, bukan hanya kemerdekaan formal. Agenda ini tetap penting dalam pembangunan jangka panjang dan masih menjadi pekerjaan rumah yang harus kita Jalani bersama.

Di pihak lain, pidato Soekarno menyiratkan sejumlah hal yang hanya layak dikenang sebagai pelajaran sejarah masa lalu dan karena itu merupakan pesan yang bersifat sementara. Pertama, dorongan ”Kembali ke UUD 1945 secara Dekrit”. Tindakan Soekarno yang akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 secara sepihak adalah langkah tidak demokratis, meskipun dimaklumi oleh konteks krisis waktu itu.

Ketika hari-hari ini kita mendengar aspirasi dari sejumlah kalangan purnawirawan militer dan yang didukung sebagian warga sipil untuk Kembali ke UUD 1945 yang asli, saat ini, kita belajar bahwa perubahan konstitusi harus dilakukan secara deliberatif dan demokratis, bukan dengan jalan pintas kekuasaan.

Kedua, Landasan bagi Demokrasi Terpimpin. Di masa lalu, pidato Soekarno  menjadi batu loncatan menuju Demokrasi Terpimpin, sebuah pengertian yang intinya menempatkan kekuasaan terkonsentrasi pada presiden, dan ruang oposisi serta kebebasan sipil dipersempit. Model ini telah terbukti melahirkan otoritarianisme dan kegagalan ekonomi-politik di akhir 1960-an. Ini adalah pelajaran penting tentang bahaya sentralisasi kekuasaan.

Ketiga, gaya retorika yang emosional dan populis. Soekarno sangat piawai dalam menggerakkan emosi rakyat, tapi tidak selalu menyusun kerangka kelembagaan yang kuat dan berjangka panjang. Kecenderungan munculnya pemimpin populis selalu ada hingga hari ini, tetapi kita bisa belajar arti penting institusi yang rasional dan akuntabel, bukan hanya karisma pemimpin.

Gotong royong

Dari sekian banyak warisan permanen yang dapat kita petik dari pidato Soekarno, gotong royong adalah bagian yang sangat penting. Gotong royong merupakan ruh sosial dan moral dari republik yang dibayangkannya. Gotong royong bagi Soekarno adalah jati diri bangsa kita, dan ia menyebutnya sebagai Pancasila dalam praktik sehari-hari. Karena itu, gotong royong bukan sekadar kerja sama teknis, melainkan mencerminkan solidaritas, tanggung jawab bersama, dan kesetaraan sosial.

Gotong royong mungkin menyerupai partnership, pola kerja sama, yang dicirikan bukan oleh relasi transaksional semata-mata, melainkan oleh relasi transformasional: perbaikan yang mengandaikan kesetaraan semua aktor dan semua warga negara.  Dalam konteks negara, gotong royong menjadi model etika politik dan kebijakan publik: negara bekerja bukan untuk kepentingan elite, melainkan bersama rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam arti ini, semangat kapitalisme individualistik dan feodalisme patron-klien bertentangan langsung dengan gotong royong.

Respublica dan gotong royong dalam visi Soekarno merupakan konsep yang tak terpisah dan berhubungan sangat erat. Republik adalah rumah bersama, sementara gotong royong adalah cara kita hidup bersama di rumah itu. Karena dengan memilih Republik (perhatikan bunyi pembukaan UUD 1945), Indonesia menjadi negara milik bersama, menjadi urusan bersama, dan merupakan negara milik rakyat. Di sinilah gotong royong masuk: republik bukan sekadar sistem pemerintahan, melainkan tanggung jawab bersama seluruh rakyat untuk mengelola negara.

<p>Didie SW</p>
KOMPAS/DIDIE SW

Meskipun dalam literatur demokrasi dan politik modern, penolakan Soekarno atas demokrasi liberal terdengar naif karena penyederhanaannya, tetapi dia menunjuk pengertiannya jelas pada bentuk-bentuk dan praktik ala Barat yang individualistik dan prosedural. Ia menawarkan demokrasi gotong royong: musyawarah, mufakat, dan tanggung jawab bersama tanpa mengorbankan minoritas. Gotong royong inilah yang dapat kita pahami sebagai substansi moral dari republikanisme Indonesia: membangun negara bukan lewat kompetisi bebas, melainkan kolaborasi aktif. Republik tanpa gotong royong adalah kosong.

Sebuah negara Republik bisa saja berdiri dan bertahan secara formal (sekadar lembaga dan konstitusi), tapi tanpa semangat gotong royong, akan menjadi negara yang kering dan teknokratis. Sebaliknya, gotong royong menjadikan republik bernyawa: rakyat saling menanggung beban, tidak saling menindas. Para pemimpin dan pejabat pemerintah dalam negara Republik gotong royong adalah untuk mengabdi kepada rakyat dan bekerja untuk menciptakan dan mewujudkan kebaikan bersama (common good).

Agus Wahyudi Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM


Kerabat Kerja

Penulis:

Agus Wahyudi
 | 

Editor:

Yohanes KrisnawanSri Hartati Samhadi
 | 

Penyelaras Bahasa:

Lucia Dwi Puspita Sari