Tambang Nikel di Raja Ampat Terindikasi Mencemari Lingkungan
Kementerian Lingkungan Hidup mengakui ada indikasi pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Tambang Nikel di Raja Ampat Terindikasi Mencemari Lingkungan
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup mengakui ada indikasi pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Izin lingkungan perusahan nikel pun akan dicabut apabila terbukti aktivitas pertambangan tersebut melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Hal tersebut disampaikan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (8/6/2025).
Hanif menyampaikan, KLH/BPLH telah menerima laporan terkait dampak kegiatan pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat sejak Mei 2025. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan peninjauan langsung di empat lokasi utama pertambangan nikel di Raja Ampat milik PT GN, PT ASP, PT KSM, dan PT MRP.
Berdasarkan peninjauan KLH/BPLH, empat perusahaan tersebut memang telah mempunyai izin usaha pertambangan (IUP). Namun, hanya PT GN, PT KSM, dan PT ASP yang memiliki persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH). Hasil pengawasan menunjukkan berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil.
KOMPAS/Ferganata Indra RiatmokoTruk milik perusahaan tambang hilir mudik mengangkut material di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, 5 Juni 2021. Penambangan material nikel di pulau itu saat ini masih terus berlangsung.
PT GN tercatat beroperasi di Pulau Gag dengan luas 6.030 hektar. Pulau Gag juga masuk pulau kecil sehingga aktivitas pertambangan di dalamnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kemudian PT ASP diketahui merupakan perusahaan penanaman modal asing asal China dan melakukan kegiatan pertambangan nikel di Pulau Manuran seluas 746 hektar tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian. Atas kelalaian perusahaan ini, KLH/BPLH telah memasang papan peringatan sebagai bentuk penghentian aktivitas.
”Selain pulaunya kecil, penambangan yang dilakukan kurang hati-hati sehingga ada potensi pencemaran lingkungan yang cukup serius di Pulau Manuran. Tahapan pengawasan sedang berjalan, mulai dari pengambilan sampel di laboratorium hingga melibatkan ahli untuk memproyeksikan kerugian dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,” tutur Hanif.
Sementara itu, PT KSM terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 hektar di Pulau Kawe. Adapun PT MRP ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitas pertambangan nikel di Pulau Batang Pele.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKOKawasan pantai yang sebagian tertutup lumpur di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, pada 6 Juni 2021. Penambangan material nikel di pulau itu saat ini masih terus berlangsung.
Saat ini, KLH/BPLH tengah mengevaluasi persetujuan lingkungan yang dimiliki PT ASP dan PT GN. Jika terbukti bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, izin lingkungan perusahan akan dicabut. Prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan pun akan menjadi dasar penindakan terhadap pelanggaran ini.
Hanif menegaskan, banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa 75 persen spesies terumbu karang di seluruh dunia terdapat di Raja Ampat. Oleh karena itu, ekosistem Raja Ampat sangat penting untuk terus dijaga. Berbagai upaya pengelolaan di Raja Ampat, termasuk oleh pemerintah, juga harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak merusak ekosistem.
Eksploitasi nikel
Persoalan tambang nikel di Raja Ampat sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Namun, publik baru memberikan sorotan tajam setelah aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat anak muda Papua dari Raja Ampat menyuarakan dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel saat acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta, 3 Juni 2025.
Selain di ruang konferensi, aktivis Greenpeace Indonesia dan anak muda Papua juga membentangkan spanduk di area ekshibisi yang terletak di luar ruang konferensi. Pesan dari spanduk tersebut, antara lain, berbunyi ”What’s the True Cost of Your Nickel”, ”Nickel Mines Destroy Lives”, dan ”Save Raja Ampat the Last Paradise”.
KOMPAS/Ferganata Indra RiatmokoAktivitas penambangan di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, pada 6 Juni 2021. Penambangan material nikel di pulau itu saat ini masih terus berlangsung.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan, industrialisasi nikel yang makin masif seiring tren naiknya permintaan mobil listrik telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di sejumlah daerah. Daerah tersebut mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi.
”Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di Bumi,” ucapnya.
Berdasarkan analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran telah membabat lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami khas. Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.
Greenpeace Indonesia pun mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan industrialisasi nikel yang telah memicu banyak masalah. Alih-alih mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, industrialisasi nikel dinilai menghancurkan lingkungan hidup, merampas hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta memperparah krisis iklim.
Wisata selam
Desakan untuk menghentikan tambang nikel di Raja Ampat juga disampaikan perkumpulan pelaku usaha wisata selam Indonesia atau Indonesia Divetourism Company Association (IDCA). Mereka memandang bahwa estinasi selam kelas dunia di Raja Ampat terancam rusak akibat ekspansi industri ekstraktif berupa tambang nikel.
IDCA mengingatkan bahwa lebih dari 60 persen daya tarik pariwisata Indonesia berasal dari kekayaan alam. Raja Ampat sendiri tercatat menghasilkan lebih dari Rp 150 miliar per tahun dari sektor pariwisata, yang jauh lebih berkelanjutan dibandingkan industri tambang yang sifatnya jangka pendek dan merusak lingkungan.
Oleh karena itu, IDCA menyampaikan empat tuntutan utama kepada pemerintah. Tuntuan tersebut adalah pencabutan permanen izin tambang di Raja Ampat, perluasan zona perlindungan laut, penguatan ekonomi hijau berbasis masyarakat, dan pelibatan aktif komunitas lokal dalam pengelolaan kawasan.
”Raja Ampat bukan hanya kebanggaan nasional, tapi juga simbol konservasi laut global. Keberadaan industri ekstraktif seperti tambang nikel menjadi sangat kontradiktif di kawasan dengan nilai ekologis setinggi ini,” kata Ketua Umum IDCA Ebram Harimurti.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup mengakui ada indikasi pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Izin lingkungan perusahan nikel pun akan dicabut apabila terbukti aktivitas pertambangan tersebut melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Hal tersebut disampaikan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (8/6/2025).
Hanif menyampaikan, KLH/BPLH telah menerima laporan terkait dampak kegiatan pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat sejak Mei 2025. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan peninjauan langsung di empat lokasi utama pertambangan nikel di Raja Ampat milik PT GN, PT ASP, PT KSM, dan PT MRP.
Berdasarkan peninjauan KLH/BPLH, empat perusahaan tersebut memang telah mempunyai izin usaha pertambangan (IUP). Namun, hanya PT GN, PT KSM, dan PT ASP yang memiliki persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH). Hasil pengawasan menunjukkan berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil.
KOMPAS/Ferganata Indra RiatmokoTruk milik perusahaan tambang hilir mudik mengangkut material di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, 5 Juni 2021. Penambangan material nikel di pulau itu saat ini masih terus berlangsung.
PT GN tercatat beroperasi di Pulau Gag dengan luas 6.030 hektar. Pulau Gag juga masuk pulau kecil sehingga aktivitas pertambangan di dalamnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kemudian PT ASP diketahui merupakan perusahaan penanaman modal asing asal China dan melakukan kegiatan pertambangan nikel di Pulau Manuran seluas 746 hektar tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian. Atas kelalaian perusahaan ini, KLH/BPLH telah memasang papan peringatan sebagai bentuk penghentian aktivitas.
”Selain pulaunya kecil, penambangan yang dilakukan kurang hati-hati sehingga ada potensi pencemaran lingkungan yang cukup serius di Pulau Manuran. Tahapan pengawasan sedang berjalan, mulai dari pengambilan sampel di laboratorium hingga melibatkan ahli untuk memproyeksikan kerugian dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,” tutur Hanif.
Sementara itu, PT KSM terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 hektar di Pulau Kawe. Adapun PT MRP ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitas pertambangan nikel di Pulau Batang Pele.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKOKawasan pantai yang sebagian tertutup lumpur di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, pada 6 Juni 2021. Penambangan material nikel di pulau itu saat ini masih terus berlangsung.
Saat ini, KLH/BPLH tengah mengevaluasi persetujuan lingkungan yang dimiliki PT ASP dan PT GN. Jika terbukti bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, izin lingkungan perusahan akan dicabut. Prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan pun akan menjadi dasar penindakan terhadap pelanggaran ini.
Hanif menegaskan, banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa 75 persen spesies terumbu karang di seluruh dunia terdapat di Raja Ampat. Oleh karena itu, ekosistem Raja Ampat sangat penting untuk terus dijaga. Berbagai upaya pengelolaan di Raja Ampat, termasuk oleh pemerintah, juga harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak merusak ekosistem.
Eksploitasi nikel
Persoalan tambang nikel di Raja Ampat sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Namun, publik baru memberikan sorotan tajam setelah aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat anak muda Papua dari Raja Ampat menyuarakan dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel saat acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta, 3 Juni 2025.
Selain di ruang konferensi, aktivis Greenpeace Indonesia dan anak muda Papua juga membentangkan spanduk di area ekshibisi yang terletak di luar ruang konferensi. Pesan dari spanduk tersebut, antara lain, berbunyi ”What’s the True Cost of Your Nickel”, ”Nickel Mines Destroy Lives”, dan ”Save Raja Ampat the Last Paradise”.
KOMPAS/Ferganata Indra RiatmokoAktivitas penambangan di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, pada 6 Juni 2021. Penambangan material nikel di pulau itu saat ini masih terus berlangsung.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan, industrialisasi nikel yang makin masif seiring tren naiknya permintaan mobil listrik telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di sejumlah daerah. Daerah tersebut mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi.
”Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di Bumi,” ucapnya.
Berdasarkan analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran telah membabat lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami khas. Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.
Greenpeace Indonesia pun mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan industrialisasi nikel yang telah memicu banyak masalah. Alih-alih mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, industrialisasi nikel dinilai menghancurkan lingkungan hidup, merampas hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta memperparah krisis iklim.
Wisata selam
Desakan untuk menghentikan tambang nikel di Raja Ampat juga disampaikan perkumpulan pelaku usaha wisata selam Indonesia atau Indonesia Divetourism Company Association (IDCA). Mereka memandang bahwa estinasi selam kelas dunia di Raja Ampat terancam rusak akibat ekspansi industri ekstraktif berupa tambang nikel.
IDCA mengingatkan bahwa lebih dari 60 persen daya tarik pariwisata Indonesia berasal dari kekayaan alam. Raja Ampat sendiri tercatat menghasilkan lebih dari Rp 150 miliar per tahun dari sektor pariwisata, yang jauh lebih berkelanjutan dibandingkan industri tambang yang sifatnya jangka pendek dan merusak lingkungan.
Oleh karena itu, IDCA menyampaikan empat tuntutan utama kepada pemerintah. Tuntuan tersebut adalah pencabutan permanen izin tambang di Raja Ampat, perluasan zona perlindungan laut, penguatan ekonomi hijau berbasis masyarakat, dan pelibatan aktif komunitas lokal dalam pengelolaan kawasan.
”Raja Ampat bukan hanya kebanggaan nasional, tapi juga simbol konservasi laut global. Keberadaan industri ekstraktif seperti tambang nikel menjadi sangat kontradiktif di kawasan dengan nilai ekologis setinggi ini,” kata Ketua Umum IDCA Ebram Harimurti.