:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2024/10/28/8ed9fb5d-edb3-495d-9a0a-def4c7d59785_jpg.jpg)
Justice is what the judge had for breakfast merupakan ungkapan yang dikenalkan Jerome Frank, salah satu pakar dalam realisme hukum yang menekankan bahwa hakim juga manusia sehingga apa pun yang terjadi terhadap hakim juga akan terdampak pada putusannya.
Artinya, bagaimana keadilan itu tercipta dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang ada pada aparat penegak hukum, baik penghasilan, perlindungan, maupun pendidikannya.
Dunia hukum Indonesia sedang terdampak berbagai persoalan, salah satunya cuti massal hakim pada 7-11 Oktober 2024.
Ketika pengadilan terhenti, adagium fiat justitia et pereat et mundus (tegakan keadilan walaupun dunia akan musnah) pun menjadi tak bermakna sekalipun kaum utilitarian membuat bantahan terhadap maksim itu dengan mengatakan ”Fiat justitia, ne pereat mundus” (tegakkan keadilan agar dunia tidak hancur).
Selain itu, banyak permasalahan hukum lain juga terjadi. Misalnya, RUU Pilkada yang dibuat dalam satu malam hampir disahkan di DPR, kompleksitas kasus Vina-Eki di praperadilan dan sidang peninjauan kembali, pemidanaan kasus landak jawa, terpilihnya para selebritas di lembaga legislatif, revisi UU Kementerian Negara dan Dewan Pertimbangan Agung tanpa melibatkan masyarakat, normalisasi gratifikasi untuk keluarga pejabat, dan masih banyak lagi.
Critical thinking diperlukan untuk menciptakan sarjana hukum yang selalu kritis terhadap perkembangan hukum dan praktiknya di Indonesia.
Persoalan-persoalan hukum tersebut lahir dari para profesional hukum. Pendidikan hukum seharusnya menjadi salah satu kunci mengembalikan hukum kepada tujuannya, menciptakan keadilan. Jika tidak bisa tercapainya tujuan hukum itu, apakah kita masih memerlukan fakultas hukum?
Tanggal 28 Oktober 2024 pekan ini menjadi tanggal yang bersejarah bagi pendidikan hukum Indonesia. Pada 28 Oktober 1924, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dirk Fock meresmikan Rechtshoogeschool, sekolah tinggi hukum pertama di tanah Hindia Belanda yang kemudian menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Maka, 28 Oktober 2024, pendidikan tinggi hukum telah berumur 100 tahun. Bagaimana pendidikan hukum telah memberi dampak bagi Indonesia? Apakah pendidikan hukum telah melahirkan praktisi hukum yang menjunjung tinggi keadilan, atau sebaliknya ahli hukum yang menjadikan hukum hanya sebagai ”alat” mencapai tujuan golongan tertentu?
Sampai dengan 2018, tercatat ada 330 pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Namun, hingga saat ini tak ada harmonisasi kurikulum pendidikan hukum di antara semua perguruan tinggi itu. Belum ada kesepakatan bagaimana seharusnya sarjana hukum (SH) yang dibutuhkan masyarakat saat ini.
Pendidikan hukum harusnya lahir dengan mata kuliah yang menonjolkan karakteristik negara hukum, yang menurut The International Commission of Jurist adalah bagaimana negara harus tunduk pada hukum, bagaimana perlindungan HAM individu, dan bagaimana menciptakan peradilan yang bebas serta tidak memihak.
Pandangan ini harusnya menjadi hal yang wajib dituangkan dalam konteks kurikulum pendidikan hukum.
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2024/01/09/b522197c-c13d-4a9a-95a2-0db66a1841dd_jpg.jpg)
Saat ini, kebanyakan pendidikan tinggi hukum di Indonesia hanya fokus pada pencapaian satuan kredit semester (SKS) dan memberikan pemahaman hukum teoretis (law in the books) saja. Belum menciptakan SH yang kritis dan memberikan solusi-solusi kreatif atas berbagai permasalahan hukum.
Bahkan, banyak sekali lulusan hukum tidak siap untuk bertarung di lapangan. Padahal, SH memiliki daya serap yang tinggi di lapangan pekerjaan.
Ada banyak profesi yang hanya menerima SH, seperti hakim, pengacara, jaksa, notaris, staf hukum (di pemerintahan, BUMN, dan swasta), legal auditor, legal consultant, bahkan tenaga ahli hukum di Mahkamah Konstitusi, DPR, serta banyak lembaga negara lainnya.
Dengan berbagai profesi hukum itu, peranan SH menjadi sangat penting untuk terciptanya rule of law di Indonesia.
Pendidikan hukum yang terlalu formalistik pada kaidah teoretis saja hanya akan menjauhkan penegakan hukum dan keadilan. Salah satu contoh penegakan hukum yang berbasis pada konsep yang sangat konservatif adalah kasus pemeliharaan landak jawa.
Pada awalnya, kasus ini dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum (JPU) karena melanggar UU No 5/1990 yang mengatur larangan memelihara satwa dilindungi. Argumentasi terdakwa saat itu adalah ia tak tahu bahwa landak itu merupakan satwa yang dilindungi.
Saat ini, kebanyakan pendidikan tinggi hukum di Indonesia hanya fokus pada pencapaian satuan kredit semester dan memberikan pemahaman hukum teoretis saja.
Jika menggunakan pandangan positivistik, akan selalu mengacu pada konsep fiksi hukum yang mengacu pada maxim ignorantia excusat legal neminem, yang berarti ketidaktahuan akan hukum tidak menghapus pidana. Namun, jika kita berpikir dari mazhab realisme, apakah mungkin kita mengetahui semua hukum? Apakah kita mungkin hafal semua jenis satwa yang dilindungi?
Jika Anda diberi dedaunan untuk obat-obatan oleh tetangga dekat dan ternyata dedaunan itu tanaman narkotika yang Anda belum pernah dengar dan lihat, apakah Anda harus dipidana juga? Konsep fiksi hukum ini harus dikritisi.
Buktinya, dalam kasus ini pun akhirnya terdakwa dituntut bebas, padahal sebelumnya JPU telah menyatakan berkas lengkap dan bahkan melakukan penahanan terhadap terdakwa. Kejadian-kejadian seperti ini, termasuk pembuatan RUU Pilkada ekspres, penangkapan tak sah, dan berbagai bentuk penegakan hukum yang keluar jalurnya, bisa dihindari jika kita bisa membangun pendidikan tinggi hukum yang dibutuhkan masyarakat.
Permasalahan pendidikan hukum ini bisa dimulai dengan berbicara tentang hukum dalam tataran teori (law in the books/das sollen) dan hukum dalam tataran praktik (law in action/das sein). Kedua hal ini sudah dikenalkan secara teoretis dalam pelajaran Pengantar Ilmu Hukum (PIH) yang ada di semua fakultas hukum di Indonesia.
Namun, apakah mahasiswa diberikan pengetahuan tentang hukum dalam tataran praktik secara cukup atau hanya diberikan teori-teori semata yang sudah banyak tidak berlaku lagi dalam tataran praktik?
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/12/27/179ca0e7-b811-49a7-9b52-a1d3a8a67e17_jpg.jpg)
Di sejumlah negara maju, pendidikan hukum sudah dikritisi karena telah gagal mempersiapkan para sarjana hukum yang siap berpraktik (S Sturm dan L Guinier, The Law School Matrix: Reforming Legal Education in a Culture of Competition and Conformity, 2007).
Bahkan, pendidikan hukum di Amerika telah lama menggunakan socratic method di mana pada setiap kelas mahasiswa sudah harus siap menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dosen mengenai pelajaran ataupun kasus yang harus dipelajari sebelum kelas. Metode ini pun sudah dianggap tak relevan sekalipun meningkatkan kemampuan analisis dan public speaking dari mahasiswa (S Sturmm, L Guinier, 2007).
Metode tersebut belum cukup untuk menciptakan para sarjana hukum yang memiliki keterampilan how to think like a lawyer. Lawyer di sini tak terbatas hanya sebagai pengacara, tetapi profesi hukum yang siap memberikan nasihat hukum, melakukan proses litigasi, pembuatan dokumen hukum, dan kemampuan hukum lain (Black’s Law Dictionary).
Christopher Columbus Langdell, salah satu reformis pendidikan hukum di Harvard Law School, mengenalkan konsep bagaimana seorang pengacara (lawyer) yang baik adalah yang menguasai doktrin-doktrin hukum sehingga dapat menggunakannya secara konsisten dalam berbagai permasalahan hukum (CC Langdell, A Selection of Cases on the Law of Contracts, 1871).
Namun, Rakoff dan Minow mengkritisi hal itu dengan menegaskan bahwa pengacara harus menjadi profesi yang kreatif dan bisa memberikan solusi permasalahan yang efektif dengan doktrin yang sesuai serta relevan sebagaimana dibutuhkan dalam permasalahan itu (T Rakoff dan M Manow, A Case for Another Case Method, 2007).
Pendidikan tinggi hukum perlu melahirkan para pejuang hukum yang tak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menciptakan keadilan dengan integritas.
Amerika yang telah mengembangkan berbagai metode pedagogik pendidikan hukum, seperti socratic method dan case method, saja membutuhkan reformasi pendidikan hukum, apalagi pendidikan hukum Indonesia yang tidak memiliki metode pedagogik yang jelas.
Perlu ada reformasi pendidikan hukum yang lebih mendekatkan para SH dengan praktik penegakan hukum. Mempelajari putusan pengadilan seharusnya menjadi suatu kewajiban dalam proses pendidikan hukum untuk mendekatkan diskusi hukum pada tataran praktik dan berpikir kritis (S Irianto, Legal Education for the Future of Indonesia: a Critical Assessment, 2021).
Menurut Irianto, kurikulum pendidikan hukum sudah seperti fossilized curriculum karena tidak lagi berkembang mengikuti perkembangan dunia hukum, serta melahirkan para praktisi yang terlalu formal dan tekstual (S Irianto, 2021).
Dengan diskursus tersebut, sudah sepatutnya pendidikan hukum tak hanya fokus pada mempelajari teori-teori yang sudah tak lagi relevan dan mulai memperkuat kemampuan problem solving sesuai dengan perkembangan zaman.
Seharusnya membaca putusan dan dokumen hukum lainnya menjadi mata kuliah wajib. Namun, banyak SH yang belum dapat membaca, apalagi membuat dokumen hukum.
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2022/09/07/029d1583-2308-41d0-b9bb-8c5d5cc79064_jpg.jpg)
Setelah menguasai hukum dalam tataran teori dan praktik, yang paling penting adalah melahirkan SH yang memiliki kemampuan critical thinking dan integritas. Critical thinking diperlukan untuk menciptakan SH yang selalu kritis terhadap perkembangan hukum dan praktiknya di Indonesia.
Selain itu, untuk membangun integritas, pendidikan antikorupsi harusnya menjadi mata kuliah wajib. Tak sekadar belajar tentang hukum pidana materiil dan formil mengenai tindak pidana korupsi, tetapi harus ada penanaman nilai-nilai antikorupsi sejak dini.
Pendidikan antikorupsi ini juga harus menjadi program jangka panjang seseorang meraih SH. Binus, yang mencabut ijazah dari seseorang yang sudah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bisa menjadi salah satu contoh pembangunan integritas.
Pemberian sanksi tegas bagi mahasiswa yang melakukan kecurangan akademis selama proses perkuliahan juga menjadi bagian dari pendidikan antikorupsi ini. Dalam pembentukan SH, ini sangat krusial mengingat para SH akan ditempatkan di berbagai profesi penting. Pendidikan integritas harus menjadi program yang melekat sepanjang proses perkuliahan dari masuk hingga lulus.
Setelah 100 tahun pendidikan hukum di Indonesia, diharapkan Badan Kerja Sama Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia dapat melahirkan kurikulum yang bersifat universal bagi semua pendidikan tinggi hukum se-Indonesia.
Pendidikan tinggi hukum perlu melahirkan para pejuang hukum yang tak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menciptakan keadilan dengan integritas. Sebagaimana Nelson Mandela pernah mengatakan, ”Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.”
Muhammad Fatahillah Akbar, Dosen pada Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2021/07/11/MF-Akbar_1625943991_jpeg.jpg)
Kerabat Kerja
Penulis:
MUHAMMAD FATAHILLAH AKBAREditor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN