Adakah hunian terjangkau untuk masyarakat urban di tengah kota?

Keterangan video, Ketika membuka pintu, kita langsung disambut 'ruang serbaguna' di rumah subsidi ini.
Adakah hunian terjangkau untuk masyarakat urban di tengah kota?
    • Penulis, Silvano Hajid
    • Peranan, Wartawan BBC News Indonesia

Harga tanah yang melambung tinggi di Jakarta membuat masyarakat urban tak mampu punya hunian di tengah kota. Pemerintah punya program subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah—bagaimana dengan warga kelas menengah?

Dua buah rumah mungil ini belakangan viral dan memantik berbagai reaksi di media sosial.

Dengan luas masing-masing 14 meter persegi dan 23 meter persegi, interior rumah itu didesain minimalis. Hanya ada dua ruangan utama yang terpisah dinding: kamar tidur dan ruangan serbaguna.

Disebut serbaguna karena sofa dan meja yang biasanya ada di ruang tamu ada di situ. Di ruangan yang sama, terdapat kompor listrik di atas mesin cuci, bersebelahan dengan kulkas dua pintu dan tempat cuci piring.

Menempel di dinding, dekat televisi, rak gantung bisa berfungsi sebagai tempat piring dan pajangan.

Semua benda itu dijejalkan ke dalam satu ruangan, membuatnya terlihat sempit dan sesak. Hanya ada sedikit area untuk satu orang bergerak, itu pun sekadar buat berjalan dari satu titik ke titik lainnya.

Sumber gambar, Silvano Hajid/BBC News Indonesia

Keterangan gambar, Rumah contoh viral selebar 2,6 meter yang dipamerkan. Ujung jari tangan dan ujung jari kaki bisa mempertemukan dua sisi tembok yang saling berhadapan.

Kamar tidur tak kalah 'minimalis'. Di tengah-tengah, kasur berukuran sedang memenuhi ruangan. Lemari kecil dengan model menyatu ke dinding dan tanpa pintu memamerkan delapan kemeja yang digantung rapi.

Di sebelahnya, ada kamar mandi dilengkapi shower, toilet, dan wastafel yang hanya muat untuk satu orang.

Model kedua tipe ini nyaris serupa. Bedanya, untuk tipe 23 meter persegi, ada dua kamar mandi dan kamar tidur yang terletak tepat di atas-bawah, dihubungkan dengan tangga besi melingkar.

Semenjak viral, pameran rumah subsidi di Mall Lippo Nusantara, Jakarta, ini disesaki warga yang penasaran.

Sumber gambar, Silvano Hajid/BBC News Indonesia

Keterangan gambar, Rumah contoh berukuran 14 meter persegi nampak dari luar.

Saat BBC News Indonesia mendatangi lokasi pameran pada Rabu (18/06), beberapa pengunjung yang menengok rumah itu terlihat menghela napas.

Sebuah keluarga dengan dua anak bergantian masuk ke dalam—sang ayah geleng-geleng kepala.

Pengamat isu perkotaan, Elisa Sutanudjaja, menilai rumah seukuran ini tak layak sebagai tempat tinggal.

"Rumah 14 meter persegi itu lebih buruk dari era kolonial," kata Elisa, direktur eksekutif Rujak Center for Urban Studies.

Sumber gambar, silvano Hajid/BBC News Indonesia

Keterangan gambar, Desain kamar mandi di dalam rumah subsidi.

Elisa menyebut, pemerintah kolonial Belanda dulu membuatkan rumah untuk kaum pribumi dengan luas 15 meter persegi, dengan dapur dan toilet di luar sebagai fasilitas bersama.

"Itu sudah yang paling kecil," tandasnya.

Pemerintah berkata desain ini belum final untuk rumah subsidi dan "hanya mock up saja".

Jika disetujui nanti, harga rumah tipe 14 meter persegi bakal dipatok sekitar Rp100 juta, sementara tipe 32 meter persegi diharapkan tak lebih dari Rp200 juta.

Keterangan gambar, Dirjen Perumahan Perkotaan, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman Sri Haryati, menyambangi rumah contoh tipe 14 meter persegi di Jakarta.

Pameran tersebut, kata Dirjen Perumahan Perkotaan, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman Sri Haryati, adalah ajang menjaring pendapat publik.

"Makanya saya bertanya kepada komunitas muda, kami ingin dengar masukan dari mereka. Kalau rumah seperti ini, bagaimana?" ujar Sri.

Jawabannya mungkin berbeda-beda, namun faktor penentu lain yang membuat seseorang rela tinggal di rumah mungil itu selain harga, bisa jadi lokasi.

Harga tak terjangkau di dalam kota

Belum ada informasi di mana rumah model ini nantinya akan dibangun. Namun Sri Haryati mengatakan, kecil kemungkinan hunian ini berlokasi di dalam Kota Jakarta.

"Mungkin yang dekat dengan pinggiran Jakarta, supaya harganya masih masuk," kata Sri.

Menurut Elisa dari Rujak Center for Urban Studies, jika rumah seluas 14 meter persegi ini dibangun di tengah Jakarta, harga tanah dan bangunan bisa menembus Rp400 juta.

Selama ini, rumah subsidi untuk area Jabodetabok banyak dibangun di luar Jakarta, seperti di Tangerang dan Bekasi, karena harga tanah masih terbilang terjangkau.

Opsi hunian subsidi yang berada di dalam kota meliputi rumah susun, baik Rusunami (Rumah Susun Sederhana Milik) dan Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa).

Sumber gambar, Bay Ismoyo/AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Suasana padat di Stasiun Cikini pada pagi hari, para pekerja baru turun dari KRL.

Program rumah subsidi dimulai di era Presiden Joko Widodo pada 2015 dengan tajuk Program Sejuta Rumah, dengan target pembangunan satu juta hunian subsidi per tahun.

Per Oktober 2024, pemerintah mengaku telah membangun 9.872.741 unit rumah melalui program ini.

Pada 2025, program ini dilanjutkan oleh Presiden Prabowo Subianto dengan target tiga kali lipat.

"Satu juta di pedesaan, satu juta di pesisir, satu juta lagi di perkotaan," kata Prabowo.

Skema subsidi ini sengaja dibuat untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Keringanan biaya, menurut Peraturan Menteri PKP Nomor 5 Tahun 2025 yang mulai berlaku pada April lalu, di antaranya dengan memangkas biaya sejumlah pajak dan retribusi menjadi 0%.

Baca juga:

Dalam aturan yang sama juga dimuat batas maksimal penghasilan MBR yang berhak membeli rumah subsidi. Besarannya berbeda menurut zona wilayah di seluruh Indonesia.

Untuk area Jabodetabek, batas maksimal penghasilan untuk warga yang tidak kawin sebesar Rp12 juta per bulan, dan kawin dengan satu orang peserta Tapera sebesar Rp14 juta per bulan.

Namun, pengamat ekonomi menyoroti jaring pengaman ini hanya membantu masyarakat berpenghasilan rendah saja.

Mereka yang berpenghasilan di atas Rp14 juta per bulan, atau kelas menengah, tak masuk syarat membeli rumah subsidi.

Kebijakan 'bolong di tengah'

Agnes Karina dan suaminya, misalnya, tak bisa mengajukan pembelian hunian subsidi.

Lima tahun lalu, pasangan ini membeli rumah dengan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di ujung Kabupaten Tangerang, Banten.

Keduanya hobi memasak, sehingga membutuhkan dapur besar yang muat untuk semua alat memasak mereka.

Tapi, jarak rumah dengan kantor Agnes yang ada di Jakarta Selatan sekitar 50 km. Setiap hari, pasangan ini praktis menempuh 100 km bolak-balik dengan mobil untuk bekerja.

Apa mau dikata, hanya di lokasi itu budget untuk rumah masuk buat pasangan ini.

"Sakit pinggang mulai muncul karena lama di jalan, sampai harus terapi," keluh perempuan 36 tahun ini.

Sumber gambar, Silvano Hajid/BBC News Indonesia

Keterangan gambar, Agnes Karina: "Kualitas hidup mulai menurun ketika rumah terlalu jauh dari kantor di Jakarta."

Akibat terlalu lama menghabiskan waktu percuma di jalan pula, Agnes merasakan kualitas hidupnya menurun.

"Kami juga butuh waktu untuk melakukan hal lain, selain menghabiskan waktu dalam perjalanan ke tempat kerja dan pulang ke rumah."

Agnes dan suami akhirnya memutuskan menyewa sebuah apartemen di Jakarta Selatan untuk hunian sepanjang hari kerja, meski itu berarti harus menambah pengeluaran.

Mereka baru pulang ke rumah mereka di Kabupaten Tangerang pada akhir pekan.

Baca juga:

"Kalau naik mobil [pribadi] harus keluar Rp3 juta untuk bensin setiap bulan, tapi dapat capeknya. Kalau sewa apartemen, tambah Rp1 juta lagi, saya masih bisa istirahat," ujarnya.

Ketika masih pulang pergi Jakarta-Kabupaten Tangerang, Agnes harus bangun sebelum matahari terbit agar bisa berangkat pukul 05.00 WIB.

"Sering terjadi hal-hal tak terduga di jalan tol. Kecelakaan truk, misalnya. Kalau sudah begitu, waktu tempuh perjalanan kami bisa tiga jam," kata dia.

Dengan menyewa apartemen, Agnes hanya butuh kurang dari 30 menit ke kantor naik bus Transjakarta.

Sumber gambar, SilvanoHajid/BBC News Indonesia

Keterangan gambar, Agnes dan suami menyewa apartemen di Jakarta yang lokasinya dekat dari kantor.

Apa yang dialami Agnes, menurut ekonom Bhima Yudhistira, menunjukkan kelas menengah memang "dilupakan" oleh pemerintah.

"Dianggap selama mereka bekerja, tidak menganggur, buat apa dibantu pemerintah?" ujar direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) ini.

Kelas menengah pun "seolah tersingkir" dari program tiga juta rumah yang didorong pemerintah.

"Jadi memang kebijakannya 'bolong di tengah'. Meski ada pertumbuhan ekonomi, kelas menengah tidak menikmati itu," ujar Bhima.

'Hunian di Jakarta untuk orang kaya'

Menurut data perusahaan real estate Cushman & Wakefield, rata-rata harga tanah di Jakarta pada 2024 nyaris mencapai Rp16 juta per meter persegi.

Artinya, butuh miliaran rupiah untuk bisa punya rumah tapak di Jakarta.

Menurut Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute, Wendy Haryanto, dengan biaya setinggi itu, hunian di Jakarta hanya menyasar kelas menengah ke atas.

"Kelas menengah mati-matian kerja, usianya produktif, malah tergusur hingga pinggir kota karena tidak ada hunian yang sesuai dengan penghasilan," kata Wendy.

Profil keuangan kelas menengah juga masuk sebagai kelompok 'bankable', yang berarti memenuhi kriteria bank untuk mengajukan pinjaman kepemilikan rumah.

"Bankable tapi setengah terlantar. Mareka tidak bisa memiliki rumah di area tempat mereka berkerja. Harusnya ini menjadi masalah nasional," tukas Wendy.

Sumber gambar, Bay Ismoyo/AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Jakarta dari udara, nampak rumah tapak mendominasi lahan di kota itu.

Sebagian orang tak mau mencicil KPR ke bank, sehingga mencari cara-cara lain untuk punya hunian di Jakarta.

Ardi Purba, 33 tahun, seorang karyawan swasta di Jakarta, mengaku bisa punya rumah karena dibantu orang tua.

"Jadi, saya tidak mencicil bunga ke bank untuk beli rumah, melainkan mencicil ke orang tua," kata Ardi.

Dengan gajinya sendiri, dia bilang, tak mungkin dia bisa punya rumah di bilangan Kemang, Jakarta Selatan.

"Butuh menabung bertahun-tahun, dengan catatan, tanpa pengeluaran sama sekali," ujarnya setengah bercanda.

Sumber gambar, Dok. Pribadi

Keterangan gambar, Hani Nastiti, 25 tahun, sudah tiga tahun bekerja di Jakarta.

Sementara itu, Hani Nastiti, 25 tahun, mengaku "tidak mau membayar utang seumur hidup untuk beli rumah".

Hani yang baru bekerja selama tiga tahun di Jakarta ini memutuskan menyewa apartemen di Jakarta Selatan, alih-alih pulang pergi ke rumah orang tuanya di Bogor, Jawa Barat.

Setiap bulan, Hani mengeluarkan Rp3,5 juta untuk biaya sewa.

"Memang sangat menguras gaji bulanan saya, tapi daripada harus menghabiskan waktu untuk commute ke Bogor, lebih baik begini," ujarnya.

Hani mengaku tak berencana untuk punya rumah di Jakarta, setidaknya sampai lima tahun ke depan. Sebagai kelas menengah, dia merasa posisinya rentan.

Dengan akses dan referensi soal kehidupan yang layak, Hani menyebut "sulit menerima realita untuk menurunkan standar hidup".