Mestikah Khawatir Menghadapi AI Generatif 

Fenomena AI tidak sepenuhnya baru. Cara AI diproduksi, dan juga cara pengguna berinteraksi dengannya, terpaut sejarah kita mempraktikkan teknologi digital.

Oleh Pradipa P. Rasidi

08 Jun 2025 11:00 WIB · Artikel Opini

Kecerdasan buatan generatif atau AI generatif (Gen AI), seperti ChatGPT, semakin banyak diminati sebagai teman mengobrol untuk mengatasi kesepian, tetapi banyak yang mulai khawatir atas dampaknya. Menarik mencermati tulisan Okki Sutanto (Kompas, 10 Mei 2025) berjudul ”AI, Kemalasan Berpikir, dan Kesepian”.

Menyitir riset MIT Media Lab (2025), Okki mewaspadai bahaya ketergantungan pada AI generatif dan kemungkinannya menggantikan hubungan dengan manusia. Senada dengan Okki, tulisan Barbara Sahakian dan Christelle Langley (The Conversation, 15 Mei 2025) menyarankan untuk melupakan AI generatif dan kembali ke membaca buku untuk mengatasi kesepian.

Tepatkah kekhawatiran itu? Banyak dari tulisan serupa menjadikan kemampuan berpikir kritis dan mengelola hubungan sejati dengan manusia sebagai tawaran solusi menghadapi AI generatif. Meski kekhawatiran ini bisa dipahami, sepertinya respons yang ditawarkan tidak sesungguhnya menjawab sebab-musabab menebalnya intensitas interaksi manusia dengan Gen AI belakangan.

Bukan merosotnya kemampuan berpikir kritis

Riset MIT Media Lab yang dikutip Okki, ”How AI and Human Behaviors Shape Psychosocial Effects of Chatbot Use” (2025), menjelaskan lebih lanjut mengapa 981 peserta penelitian menggunakan AI generatif untuk mengatasi kesepian. Tiga pola yang konsisten adalah karena mereka merasa 1) lebih didengar oleh Gen AI dibandingkan oleh lingkungan sosialnya; 2) Gen AI dapat selalu hadir dalam hidup mereka, mudah diakses kapan pun; 3) Gen AI tidak pernah menghakimi.

Tiga pola tersebut merupakan masalah berlapis dan rumit. Banyak sosiolog sudah membahas sebab-musababnya: bisa ditelusuri sejak krisis ekonomi dunia yang berulang pada tahun 1998, 2008, dan 2020. Selain itu, melemahnya sistem pelindungan sosial dan ekonomi akibat kebijakan neoliberal juga menebalkan isolasi sosial.

Dari sisi teknologi, ada satu hal yang bisa disoroti. Sebetulnya fenomena kesepian ini bukanlah hal unik akibat penggunaan AI generatif, melainkan hasil normalisasi teknologi digital yang sudah berlangsung selama dua dekade. AI generatif hanya merekacipta apa yang belakangan dianggap hilang: ruang aman dalam interaksi digital.

Peneliti utama Microsoft Research, Nancy Baym, dalam bukunya, Personal Connections in the Digital Age (2010), menulis bahwa teknologi digital menata ulang struktur percakapan kita. Menelusuri teknologi SMS hingga platform media sosial, Baym menyebut bahwa teknologi digital memungkinkan kendali dan kesegeraan: pengguna bisa menyunting, menunda, dan menyegerakan komunikasi sesuai dengan keinginan mereka.

Pengguna bisa membalas pesan satu jam setelah pesan aslinya dikirim, tapi di sisi lain, saat dia mencuitkan satu potong tweet, pesannya segera bisa dilihat dan ditanggapi orang dari penjuru dunia. Percakapan tatap muka yang tadinya langsung dan spontan ditata ulang menjadi keterhubungan yang kadang terjadi bersama (synchronous), kadang tertunda (asynchronous). Utamanya, semua ini bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Baym menyebutnya sebagai mediated intimacy.

Memang, banyak kajian sosiologi dan antropologi yang berkembang di medio akhir 2000-an dan awal 2010-an menyoroti berkembangnya komunitas digital. Pengguna menggunakan platform di internet untuk mencari perasaan kebersamaan (sense of belonging).

Indonesia menyaksikan berkembangnya aneka forum internet berbasis hobi—seperti Kaskus dan Video Games Indonesia—serta beragam komunitas bloger dalam periode ini. Facebook sendiri awalnya digarap Mark Zuckerberg sebagai penghubung teman-teman semasa sekolah dan kuliah. Di kala kesempatan tatap muka langsung menjadi terbatas, komunikasi melalui layar digital menghadirkan kembali perasaan keguyuban.

Namun, pada pertengahan 2010-an hingga hari ini, banyak ilmuwan dan peneliti menyoroti kemunduran peran guyub yang ditawarkan media sosial. Alih-alih merekatkan hubungan antar-individu, media sosial semakin berorientasi keuntungan: interaksi pengguna di platform menjadi data yang dikomodifikasi dan algoritma pun memprioritaskan iklan.

Like dan share menjadi ukuran utama dalam interaksi platform, menyulap materi provokatif dan sensasional sebagai mahkota di linimasa. Dampaknya bahkan berujung terampasnya nyawa: Amnesty International (2022) mencatat bahwa algoritma Facebook menyebabkan konten provokatif merajai linimasa Myanmar dan berimplikasi pada pembantaian Rohingya pada tahun 2017.

Akhirnya, pengguna pun semakin jenuh dengan platform. Dalam bahasa yang lumrah di kalangan pengguna internet Indonesia hari ini: media sosial kini hanya berisi ”konten”.

”Soft Skill” Jadi Senjata Utama Gen Z di Dunia Kerja
Pemahaman Akal Imitasi Jadi Kebutuhan Utama Para Jurnalis

Serial Artikel

”Soft Skill” Jadi Senjata Utama Gen Z di Dunia Kerja
Pemahaman Akal Imitasi Jadi Kebutuhan Utama Para Jurnalis

”Soft Skill” Jadi Senjata Utama Gen Z di Dunia Kerja

Generasi Z menyadari dan sangat menekankan pentingnya penguasaan soft skill sebagai bekal utama untuk sukses di dunia profesional.

Baca Artikel

Interaksi yang dirancang ”AI imaginaries”

Kekosongan inilah yang diisi AI generatif seperti ChatGPT. Pada saat provokasi menjajah media sosial, AI generatif justru menjadi ruang aman. AI generatif, yang mudah diakses kapan pun di mana pun, menjadi sarana bagi penggunanya untuk merasa kembali didengar.

Pengalaman mediated intimacy yang sudah dinormalisasi oleh platform media sosial selama lebih dari dua dekade, seperti kata Baym, membuat AI generatif akrab dengan pengguna internet: dia menawarkan kendali, kesegeraan, dan perasaan kebersamaan—sebagaimana ditawarkan pengalaman bermedia sosial dulu. Apalagi tampilan antarmuka AI generatif menyerupai aplikasi chat.

Masalahnya, berbeda dari interaksi dengan manusia di media sosial yang bisa tak terduga, interaksi dengan AI generatif merupakan pengalaman yang sangat terkendali (controlled experience). Pengguna tidak hanya bisa memerintahkan Gen AI untuk merespons sesuai dengan instruksi, Gen AI pun secara aktif mendengungkan kembali apa yang ingin didengar penggunanya.

Sepanjang tahun 2024-2025 terdapat beberapa kasus bunuh diri di penjuru dunia yang dipicu interaksi dengan AI generatif. Pengguna yang depresi justru diiming-imingi AI generatif untuk mengakhiri nyawanya agar terbebas dari penderitaan. Pada April 2025, Open AI, perusahaan pengembang ChatGPT asal Amerika Serikat, juga mengakui bahwa ChatGPT cenderung hanya menuruti apa yang ingin didengar oleh pengguna.

Kecenderungan penurut ini berakar dari spesifikasi pengembangannya, ”OpenAI Model Spec”, yang menetapkan ChatGPT sebagai sebuah ”asisten” yang bertugas ”menciptakan lingkungan positif” bagi penggunanya. Implikasinya adalah dorongan memberikan afirmasi terhadap perasaan pengguna hingga membimbingnya untuk mengambil tindakan. Model Spec khas ChatGPT ini dibuat berdasarkan visi OpenAI tentang cara Gen AI seharusnya digunakan, dan bisa jadi sangat berbeda dari, misalnya, DeepSeek, Gen AI ciptaan pengembang China.

Inilah pentingnya memperhatikan apa yang disebut antropolog teknologi, seperti Sheila Jasanoff (2015), sebagai sociotechnical imaginaries atau imajinasi sosioteknologi. AI tidak pernah diproduksi dan beroperasi secara bebas nilai: dia selalu bertumpu pada harapan, kegelisahan, dan asumsi manusia yang terlibat dalam pengoperasian teknologi tersebut.

OpenAI membayangkan ChatGPT sebagai asisten serba bisa yang selalu mengafirmasi penggunanya secara positif; implikasinya, ChatGPT pun menjadi penghibur penurut yang gemar menjilat. Tidak mengherankan jika dalam riset MIT Media Lab pengguna Gen AI justru berdampak buruk—981 peserta penelitiannya memang menggunakan ChatGPT sebagai pelipur lara.

Perlu kembali ke skala kecil

Salah satu masalah terbesar dari pengembangan AI hari ini adalah ambisi membangun alat serba bisa yang bisa mengetahui dan melakukan banyak hal seperti ChatGPT. Tidak hanya sangat merusak lingkungan dan boros energi, ambisi serba bisa ini juga membuat AI menjadi kehilangan konteks penggunaannya. AI sebagai pelipur rasa sepi berlaku dalam norma, tutur, dan pola yang sama sekali berbeda dari AI sebagai alat bantu penelitian, atau sebagai instruktur hidup sehat.

Kemampuan serba bisa seperti tampilan antarmuka ChatGPT ini justru membebani pengguna. Pengguna harus mempelajari dan mengetahui instruksi spesifik (prompt engineering) untuk memerintah Gen AI agar mendapatkan hasil yang diharapkan. Keharusan untuk menguasai instruksi ini mensyaratkan keberadaan emosional dan psikologis yang baik saat menggunakannya. Pengguna harus bisa secara sadar mengatur batas percakapan, dan mungkin tidak cocok dengan kebutuhan pengguna yang mencari teman curhat untuk mengatasi kesepian.

Alih-alih dirancang dalam tampilan antarmuka serba bisa, AI seharusnya diimplementasi dalam suatu platform dan tampilan antarmuka berfungsi spesifik. ElliQ, misalnya, merupakan contoh implementasi kombinasi AI dan robotika untuk membantu perawatan warga lansia. Sebagai robot, ElliQ juga menghindari bentuk yang terlalu manusiawi untuk membantu mengingatkan pengguna bahwa ElliQ masih sebuah mesin yang tidak bisa menangkap pengalaman manusia seutuhnya.

<p>Ilustrasi kecerdasan buatan, ai, neuralink</p>
KOMPAS/HERYUNANTO

Di sinilah peran literasi kritis AI dari pengguna. Artinya, bukan hanya sekadar kemampuan memahami dan menggunakan AI, melainkan juga mempertanyakan dan mengkritik cara kerja AI dan asumsi yang melekat dalam penggunaannya. Literasi kritis AI ini sudah ditunjukkan oleh beberapa kalangan di Indonesia, seperti kalangan kelas pekerja dalam riset saya, ”Transformative Working-Class Labor in Indonesia’s Influence Operations” (2023). Sebagai kalangan tanpa pendidikan tinggi, mereka menggunakan AI sebagai alat pengasah kemampuan yang tidak mereka peroleh di pendidikan formal. Imajinasi AI mereka adalah imajinasi tentang pengembangan diri.

Fenomena AI bukanlah fenomena yang sepenuhnya baru. Cara AI diproduksi, dan juga cara pengguna berinteraksi dengannya, selalu terpaut dengan sejarah kita mempraktikkan teknologi digital. Seperti diingatkan Nancy Baym menanggapi internet panic pada masanya, interaksi dengan teknologi digital tidak pernah secara inheren melemahkan interaksi dengan manusia; dia hanya mengubah cara kita mengalami dan mewujudkan interaksi itu. Meniti interaksi inilah yang harus selalu diiringi dengan akuntabilitas perusahaan AI agar menciptakan ekosistem yang aman bagi pengguna.

Pradipa P Rasidi Antropolog Digital, Peneliti Lepas di Chulalongkorn University, Thailand



Kerabat Kerja

Penulis:

Pradipa P. Rasidi
 | 

Editor:

Yohanes Krisnawan
 | 

Penyelaras Bahasa:

Nur Adji