JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintahan periode 2019-2024 dinilai seharusnya tidak membahas revisi Undang-Undang (UU) TNI dan UU Polri karena waktu yang minim, dan rawan dikebut sehingga berpotensi mengabaikan kepentingan rakyat.
Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, secara etika politik semestinya tidak boleh ada pembahasan kebijakan dan/atau UU baru yang strategis di masa akhir periode pemerintahan.
Apalagi masa bakti anggota DPR periode 2019-2024 akan segera berakhir.
"Di tengah masa transisi DPR dan pemerintah seperti sekarang ini sudah semestinya pemerintah mempersiapkan transisi yang baik dengan tidak merubah kebijakan dan atau undang-undang strategis," kata Dimas dalam keterangan pers seperti dikutip pada Rabu (24/7/2024).
Baca juga: Pembahasan RUU TNI dan Polri Berpotensi Transaksional Jika Dipaksakan
Dimas mengatakan, dari dokumen naskah yang beredar di masyarakat, dan minim evaluasi serta partisipasi publik, Koalisi Masyarakat Sipil menilai proses pembahasan kedua RUU itu berpotensi tidak demokratis.
"Sebaiknya memberikan kewenangan itu kepada DPR dan pemerintahan terpilih, apalagi banyak dari anggota DPR periode 2019-2024 saat ini tidak terpilih kembali menjadi anggota DPR RI periode berikutnya," ujar Dimas.
Seperti diberitakan sebelumnya, DPR sudah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait revisi UU TNI dan revisi UU Polri pada 8 Juli 2024.
Baca juga: Benny Mamoto Sebut Penggalangan Intelijen Sudah Dilakukan Sebelum Muncul RUU Polri
Saat ini pembahasan kedua beleid itu berada di DPR.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini