RANCANGAN Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) merupakan RUU yang diinisiasi Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI) sebagai hak inisiatif DPR.
Sebelumnya direncanakan akan dibahas oleh DPR RI periode 2019-2024, tapi kemudian ditunda untuk periode berikutnya.
RUU Polri nantinya akan mengubah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Melalui surat presiden, Presiden Prabowo Subianto menugaskan menteri hukum, menteri keuangan, dan menteri sekretaris negara untuk menjadi perwakilan pemerintah dalam proses pembahasan RUU Polri (Kompas.com).
Polemik terjadi karena dalam RUU tersebut, Polri ditempatkan sangat superior pada tiga hal. Pertama, kewenangan penyidikan mutlak menjadi domain Polri.
Kedua, kewenangan keamanan nasional mutlak menjadi domain Polri. Ketiga, pengawasan dan penegakan hukum pada kasus pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan anggota Polri tidak ditangani lembaga yang independen (bebas pengaruh Polri).
Dalam ranah penyidikan, RUU Polri juga RUU KUHAP (Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) mencabut kewenangan penyidikan yang ada pada lembaga selain Polri termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), kecuali “penyidik tertentu” yang mana dibatasi pada bidang tertentu.
Bahkan kewenangan Kejaksaan untuk menyidik tindak pidana korupsi pun dihilangkan.
Baca juga: Mega Korupsi, Kontradiksi, dan Zemiologi Masyarakat
Penyidik tertentu pun dibatasi hanya KPK, TNI Angkatan Laut, dan Kejaksaan. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tidak diatur sebagai penyidik tertentu.
Padahal Undang-Undang tertentu yang mengatur berbagai hal dan mengandung sanksi pidana tersebar di banyak Undang-Undang, seperti Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Undang-Undang Kepabeanan, Undang-Undang Cukai, Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang Kehutanan, dan masih banyak yang lain, menempatkan kemungkinan penyidikan dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai Penyidik.
Namun, dalam RUU Polri dan RUU KUHAP yang baru, PPNS ditempatkan sebagai tenaga ahli bagi penyidik Polri.
Dalam ranah keamanan nasional, Polri ditempatkan sebagai lembaga tunggal yang menjaga keamanan nasional dengan semua turunannya.
Padahal dalam berbagai Undang-Undang bidang tertentu, semua kementerian/lembaga termasuk TNI memiliki tugas dan fungsi untuk menjaga keamanan dan penegakan hukum pada bidang tertentu.
Seyogianya RUU Polri berfokus pada kewenangan keamanan masyarakat saja, tidak meluas pada seluruh aspek keamanan nasional.
Dalam ranah penegakan hukum terhadap anggota Polri, negara harus menyediakan lembaga tersendiri yang bebas pengaruh dari Polri, sehingga dapat menegakkan hukum secara objektif dan bebas benturan kepentingan pada kasus-kasus hukum yang melibatkan anggota Polri.
Draft RUU Polri dan RUU KUHAP akan terus berubah seiring pembahasan di DPR. Sehingga masyarakat sipil (civil society) harus terus mengkritisi, hingga DPR menerima semua masukan dan protes yang dilayangkan.
DPR dan Pemerintah semestinya mengacu pada teori-teori demokrasi, kekuasaan, dan organisasi, dalam menyusun RUU Polri.
Naskah akademis sebagai analisis kebijakan publik harus disiapkan secara baik dengan mengacu pada teori-teori demokrasi, kekuasaan, dan organisasi.
Selain itu, aspek ketatanegaraan dan perundang-undangan lain juga harus diperhatikan secara seksama. Sehingga legal drafting RUU Polri tidak menimbulkan kecaman masyarakat sipil dan diterima secara baik oleh rakyat.
Baca juga: Good Cop, Bad Cop dalam Kisruh CASN 2024
Masyarakat sipil menolak absolutisme kekuasaan pada satu lembaga seperti Polri, karena rentan terjadi kesewenang-wenangan.
Kesewenang-wenangan kekuasaan dan absolutisme adalah faktor pencetus Revolusi di berbagai negara pada masa lampau yang melahirkan pemerintahan demokratis.