PEMBANGUNAN infrastruktur menjadi garda depan dalam agenda pembangunan nasional selama satu dekade terakhir.
Dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI, 16 Agustus 2024, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa Indonesia telah mencatatkan berbagai capaian monumental: 366.000 kilometer jalan desa, 1,9 juta meter jembatan desa, 2.700 kilometer jalan tol baru, 6.000 kilometer jalan nasional, 50 pelabuhan dan bandara, 43 bendungan baru, serta 1,1 juta hektar jaringan irigasi baru.
Ini bukan sekadar data statistik—ini adalah manifestasi ambisi pembangunan yang masif, terstruktur, dan strategis.
Namun, di balik prestasi kuantitatif yang impresif tersebut, muncul kenyataan pahit yang membayangi semangat optimisme.
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara besar-besaran selama dua periode pemerintahan Joko Widodo memang mencerminkan keberpihakan negara terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Terlebih, data Kementerian Koordinator Perekonomian mencatat bahwa hingga pertengahan 2024, tercatat 233 Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan nilai investasi mencapai Rp 6.246 triliun telah digagas—meliputi sektor transportasi, energi, sumber daya air, hingga konektivitas digital.
Baca juga: Ada Angsa Hitam di Balik Progresivitas MK
Sayangnya, keberhasilan ini tidak steril dari ironi. Dalam Refleksi Kinerja PPATK Tahun 2023, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkap bahwa sekitar 36,67 persen dana dalam proyek PSN terindikasi tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Sebagian besar justru dialihkan ke kantong pribadi—masuk ke rekening aparatur sipil negara dan politisi.
Artinya, dari setiap Rp 100 yang digelontorkan untuk pembangunan, lebih dari Rp 36 berakhir bukan di infrastruktur, melainkan sebagai gratifikasi.
Ketika pembangunan besar-besaran tidak diimbangi dengan pengawasan kuat dan perencanaan kredibel, maka PSN yang seharusnya menjadi penggerak pertumbuhan justru menjadi sarang korupsi.
Harapan akan kemajuan ekonomi nasional dan regional berganti menjadi kekhawatiran sistemik—bahwa proyek infrastruktur bisa saja menjadi “ladang panen korupsi” baru, dengan desain penyimpangan yang sudah disiapkan sejak tahap perencanaan.
Melewati 100 hari kepemimpinan kepala daerah, di tengah kondisi perekonomian yang masih menunjukkan gejala stagnasi dan kompleksitas tantangan tata kelola daerah, publik kembali dihadapkan pada ironi struktural birokrasi: praktik korupsi yang terus berulang tanpa henti.
Contoh nyata dari kerentanan ini baru saja terungkap di Provinsi Sumatera Utara. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29 Juni 2025, melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap lima tersangka, termasuk Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting atas dugaan suap proyek pembangunan jalan.
Kasus ini mencuat setelah adanya laporan langsung dari masyarakat, menandakan pentingnya partisipasi publik dalam deteksi dini korupsi.
KPK mengungkap bahwa proyek senilai Rp 231,8 miliar yang meliputi pembangunan Jalan Sipiongot–Batas Labusel dan Jalan Hutaimbaru–Sipiongot ternyata sudah “ditransaksionalisasi” sejak tahap sebelum lelang.