KOMPAS.com - Di lantai dua sebuah bangunan sederhana milik Yayasan Panti Sosial Darunnajah, dua anak kecil duduk bersebelahan di kamar mereka.
Dinding-dinding panti menjadi saksi pertama tangis dan sepi yang menemani Dafa (9) dan adiknya Syafa (7), sejak ibu mereka memutuskan menitipkan mereka di tempat itu.
Satu keputusan sulit mengubah seluruh hidup kakak beradik itu. Setelah sang ayah meninggal, kehidupan mereka tak lagi sama.
Baca juga: Warga Berdatangan Menggendong dan Memeluk Bayi-bayi di Panti Asuhan Griya Balita Sidoarjo
Ibu mereka, yang dihimpit masalah ekonomi dan utang, memilih merantau keluar kota untuk mencari penghidupan. Lalu, dengan berat hati, ia membawa dua anaknya ke panti asuhan.
"Selayaknya anak kecil ya, mereka menangis waktu awal dititipkan di sini," kata Husnul Hotimah, salah satu pendiri yayasan, Sabtu (26/7/2025).
Hari-hari pertama di Panti Sosial Darunnajah terasa panjang dan penuh air mata bagi kedua anak itu.
Dafa dan Syafa kerap bertanya, "Kapan ibu menjemput kami?", sebuah pertanyaan sederhana, tetapi menyayat hati.
Mereka belum tahu bahwa waktu bisa begitu kejam bagi anak-anak yang berharap.
"Anak-anak ini sangat aktif. Apalagi kakaknya itu, senang sekali dia main layangan. Ini tadi setelah sekolah madrasah langsung main layangan di lapangan. Kalau adiknya barusan tidur karena capek sekolah dan bermain," tutur Husnul.
Teman-teman baru mulai mengalihkan kesedihan mereka. Pelan-pelan, tangis berubah menjadi tawa.
Mereka belajar makan sendiri, tidur tanpa elusan ibu, dan memakai seragam sekolah yang dibelikan oleh pihak yayasan.
"Di sini kami rawat mereka seperti anak lainnya. Berpakaian bagus, rapi, dan untuk sekolah juga kami belikan seragam, tas, dan sepatu yang layak. Kami tidak mau anak-anak di sini terlihat rembhes, karena kami sayang mereka seperti anak sendiri," ungkap Silvia Andiani, Ketua Yayasan.
Tahun lalu, sang ibu masih sempat datang menjemput Dafa dan Syafa untuk merayakan Lebaran bersama.
Namun, tahun ini berbeda. Tak ada kabar, tak ada telepon. Dafa dan Syafa hanya bisa melihat satu per satu teman mereka dijemput keluarga, sedangkan mereka tetap menanti di ambang pintu.
"Ibunya pernah ke sini, jemput waktu Lebaran tahun lalu, setelah itu dititipkan lagi ke kami. Kalau ibunya itu, setahu saya, kerja di Surabaya," kata Husnul.