KOMPAS.com - Peristiwa ambruknya bangunan mushala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pada Senin (29/9/2025) sore, menjadi sorotan publik.
Bangunan bertingkat itu runtuh hingga ke lantai dasar. Dugaan sementara, musibah terjadi akibat struktur bangunan yang tidak kuat, namun hal ini masih menunggu hasil penyelidikan pihak berwenang.
Beberapa santri yang selamat mengaku sempat dilibatkan dalam proses pengecoran mushala tersebut, meski tanpa keahlian konstruksi.
Salah satu korban selamat, Rizki Ramadhan (19), menuturkan bahwa ia tengah membantu pengecoran lantai atas sebelum bangunan roboh.
“Saya tidak tahu persis siapa saja yang tertimpa bangunan, soalnya waktu itu saya berada di atas ikut kerja. Anak-anak di musala sedang Shalat Ashar, tiba-tiba bangunannya ambruk,” kata Rizki saat ditemui di RS Siti Hajar, Sidoarjo.
Menanggapi kejadian ini, Dosen Hukum Tata Negara UPN Veteran Jawa Timur, Eka Pala Suryana, menyebut tradisi melibatkan santri dalam pembangunan di lingkungan pesantren bisa dimaklumi sebagai bentuk gotong royong.
Namun, pengerjaan konstruksi tetap harus melibatkan tenaga ahli.
“Nah, ini yang perlu dilihat apakah hanya santri saja (yang membangun) ataukah santri itu hanya dilibatkan dalam hal gotong royongnya itu,” ujar Eka, Kamis (9/10/2025).
Eka juga menekankan pentingnya izin dari orang tua santri dan memastikan tidak ada unsur paksaan.
“Dengan kejadian ini tentunya juga harus ada evaluasi terhadap bagaimana pembangunan infrastruktur pesantren itu. Walaupun melibatkan santri, apakah sudah ada izin orangtua dan melibatkan tenaga ahli,” tambahnya.
Baca juga: Polda Jatim Belum Tetapkan Tersangka Kasus Mushala Ponpes Al Khoziny Ambruk
Eka menjelaskan bahwa kasus ini bisa ditinjau dari dua aspek hukum, yakni administrasi dan pidana.
Dari sisi hukum administrasi, dugaan pelanggaran terkait bangunan tanpa izin dapat dijerat melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bangunan Gedung.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa setiap bangunan seluas minimal 50 meter persegi wajib memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
“Kalau bangunan yang melanggar aturan ini akan dikenakan sanksi administrasi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan, sampai pembongkaran gedung,” terang Eka.
Sementara dari aspek pidana, lanjutnya, bisa dijerat Pasal 359 KUHP, yang mengatur sanksi bagi pihak yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia.