KOMPAS.com – Masa kecil Soekarno atau yang kala itu masih bernama Kusno, banyak diwarnai kisah getir dan kehangatan yang membentuk pandangan hidupnya di masa depan.
Salah satu fase penting dalam kehidupannya terjadi saat tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Kisah tersebut terekam dalam otobiografi berjudul Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams.
Dalam buku tersebut, terdapat bab khusus bertajuk Mojokerto: Kepedihan di Masa Muda, yang mengisahkan masa kecil Bung Karno sejak ia dan keluarganya pindah dari Surabaya ke Mojokerto saat ia berusia enam tahun.
Ayahnya, Raden Sukemi Sosrodiharjo, mendapat penugasan sebagai guru di daerah tersebut. Ia membawa istrinya, Ida Ayu Nyoman Rai, serta dua anaknya: Sukarmini dan Kusno.
Baca juga: Lahir Bernama Kusno, Ini Alasan Nama Diubah Jadi Soekarno dan Maknanya
Di Mojokerto, Kusno bertemu Sarinah, seorang gadis sederhana yang menjadi pengasuhnya. Namun, hubungan mereka bukan sekadar antara pelayan dan anak majikan.
“Dia tidur bersama kami, tinggal bersama kami, memakan apa yang kami makan, tetapi dia tidak mendapat gaji sepeser pun,” kenang Soekarno dalam buku tersebut.
Bagi keluarga Sukemi, Sarinah adalah bagian dari keluarga. Ia tidak menerima bayaran, namun kehadirannya sangat berarti, khususnya bagi Kusno kecil.
Sarinah menjadi orang yang memperkenalkan makna kasih sayang dan kepedulian terhadap rakyat kecil.
“Dialah yang mengajarku mengenal kasih sayang. Sarinah mengajariku untuk mencintai rakyat. Rakyat kecil,” ujar Bung Karno.
Sarinah pernah berpesan kepada Kusno, “Karno, di atas segalanya engkau harus mencintai ibumu. Tapi berikutnya engkau harus mencintai rakyat kecil. Engkau harus mencintai umat manusia,” katanya.
Baca juga: Masa Kecil Soekarno: Bernama Kusno dan Keyakinan Sang Ibu
Selama tinggal di Mojokerto, Kusno sempat menderita penyakit tifus yang cukup parah hingga terbaring lemah selama lebih dari dua bulan.
Rumah mereka berada di daerah rendah dekat sungai kecil yang mudah tergenang saat musim hujan, menyebabkan sanitasi yang buruk.
“Dari Desember hingga April, pekarangan rumah kami selalu basah. Air tergenang yang bercampur sampah serta lumpur membuatku terkena tifus,” ungkap Bung Karno.
Dalam kondisi sakit parah, ayahnya, Sukemi, tak pernah meninggalkannya.
Ia tidur di lantai semen yang lembap, hanya beralaskan tikar tipis, tepat di bawah tempat tidur Kusno yang terbuat dari bambu. Selain tifus, Kusno juga sempat mengalami malaria dan disentri.