Advertorial

Strategi Penataan Ruang Jakarta di Tengah Tekanan Urbanisasi

Kompas.com - 18/09/2025, 17:51 WIB

KOMPAS.com - Dengan luas sekitar 661,5 kilometer persegi dan jumlah penduduk lebih dari 10 juta jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada April 2024, Jakarta menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan tata ruang kota. Keterbatasan lahan menjadi masalah utama yang menghambat perkembangan kota

Tidak hanya itu, Jakarta juga terus menjadi tujuan utama bagi masyarakat luar daerah untuk mencari peluang hidup. Padahal, menurut laporan TomTom Traffic, kota ini menjadi salah satu kota termacet di Indonesia.

Adapun penyempitan lahan di Jakarta disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pertumbuhan dan penduduk yang pesat, Kondisi alam, seperti banjir rob, abrasi, dan penurunan muka tanah turut memperburuk situasi.

Selain itu, alih fungsi lahan hijau menjadi kawasan permukiman dan komersial juga terjadi. Praktik spekulasi tanah semakin memperburuk situasi dan menyebabkan kekurangan ruang yang layak.

Akibat dari penyempitan lahan itu sangat luas. Permukiman semakin padat, ruang terbuka hijau terus berkurang, dan harga properti semakin melonjak. Hal ini membuat akses terhadap hunian layak semakin sulit.

Dari sisi lingkungan, penyempitan lahan juga berdampak negatif. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya polusi, berkurangnya daerah resapan air, dan memperburuk risiko banjir di sejumlah wilayah.

Menghadapi tantangan tersebut, Jakarta memerlukan strategi penataan ruang yang bijaksana. Strategi ini tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga pada pengaturan pemanfaatan lahan.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memiliki peran penting dalam upaya ini. Melalui kebijakan PBB yang adil dan proporsional, pemanfaatan tanah dapat lebih diarahkan untuk kebutuhan produktif, bukan sekadar untuk spekulasi.

Di Jakarta, PBB dibedakan antara obyek hunian dan nonhunian. Untuk hunian, PBB dihitung sebesar 40 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), sedangkan nonhunian dihitung 60 persen dari NJOP. Skema ini dirancang untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan pemilik tanah, kebutuhan pembangunan, dan keberlanjutan tata ruang kota.

Manfaat dari PBB juga kembali kepada masyarakat. Pembangunan ruang publik, seperti taman kota dan layanan transportasi umum yang lebih baik, menjadi bagian dari hasil pemanfaatan PBB.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga memberikan insentif bagi warga. Salah satunya adalah pembebasan PBB 100 persen untuk rumah tapak dengan NJOP hingga Rp 2 miliar, khusus bagi wajib pajak orang pribadi yang berlaku untuk satu obyek pajak.

Warga juga dapat menikmati potongan 5 persen jika melunasi PBB sebelum 30 September 2025. Pembayaran tepat waktu ini menjadi bentuk kontribusi masyarakat dalam menciptakan Jakarta yang lebih tertata, adil, dan berkelanjutan.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau