JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pidana pada Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, Kejaksaan Agung (Kejagung) kebablasan karena menetapkan Direktur JAK TV Tian Bahtiar sebagai tersangka tanpa menempuh jalur yang diatur Undang-Undang Dewan Pers.
Fickar mengatakan, sebelum menetapkan Tian sebagai tersangka karena pemberitaan yang dianggap negatif dan merintangi penyidikan, Kejagung semestinya memberikan hak jawab sebagaimana diatur UU Pers.
"Menurut saya ini bablas, nih. Belum ada mekanisme Undang-undang Pers itu dilakukan, Kejaksaan sudah langsung mempidanakan. Ini yang menurut saya agak kebablasan," kata Fickar dalam program Obrolan Neswroom Kompas.com, Selasa (22/4/2025).
Fickar menjelaskan, profesi tertentu seperti pers memiliki aturan mainnya tersendiri yang tercantum dalam UU Pers.
Baca juga: Kongkalikong Direktur JAK TV dan Advokat: Antara Etik, Pidana, dan Preseden Buruk
Ketika pers dianggap melakukan satu tindakan yang merugikan orang lain, baik secara perdata maupun secara pidana melalui pemberitaannya, maka orang tersebut bisa meminta hak jawab kepada redaksi media sebelum menempuh jalur pidana.
"Dalam pers itu ada Undang-undang Pers. Yang mestinya digunakan oleh semua pihak, siapapun, yang merasa disudutkan, yang merasa dijelek-jelekan oleh pers, pers itu harus memberikan kesempatan untuk pihak yang merasa dirugikan mengajukan jawaban. Itu mestinya mekanismenya seperti itu," ujar dia.
Fickar menyebutkan, jalur hukum baru dapat ditempuh setelah masalah tersebut ditangani oleh Dewan Pers.
Namun, dalam kasus ini, Kejagung pun belum menggunakan hak jawabnya sehingga ia menilai aparat kebablasan.
Baca juga: Kasus Direktur JAK TV: Obstruction of Justice atau Obscurity?
Fickar berpandangan, penetapan Tian sebagai tersangka dapat dianggap tidak sah karena Kejagung tidak mengikuti prosedur yang diatur dalam UU Pers.
"Jadi menurut saya ini tidak sahnya penetapan tersangka karena ada prosedur yang tidak diikuti. Kalau keberatan terhadap pemberitaan, kalau keberatan terhadap penyiaran, dan sebagainya, itu ada mekanismenya sendiri. Ada hak jawab, ada hak untuk melakukan counter, dan sebagainya," kata dia.
Diberitakan sebelumnya, Kejagung menetapkan Tian dan dua advokat, Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, sebagai tersangka perintangan penyidikan kasus korupsi PT Timah Tbk, importasi gula di Kementerian Perdagangan, dan ekspor CPO.
Kejagung menilai ada permufakatan jahat antara ketiganya dengan membangun opini publik lewat berita-berita negatif yang menyudutkan Kejagung.
Baca juga: Komjak Duga Direktur JAK TV Tersangka karena Permufakatan, Bukan Konten Berita
Menurut Kejagung, berita-berita itu dibuat oleh Tian atas permintaan Marcella dan Junaedi dengan bayaran Rp 478.500.000 yang masuk ke kantong pribadi Tian.
Modusnya, Marcella dan Junaedi menggelar seminar, talkshow, hingga demonstrasi dengan narasi negatif tekait penanganan perkara oleh Kejagung, lalu diliput dan dipublikasikan oleh Tian.
Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan menyatakan, proses hukum terhadap Tian menyalahi prosedur karena persoalan mengenai karya-karya jurnalistik semestinya menjadi kewenangan Dewan Pers.