DI TENGAH dinamika transisi kekuasaan nasional dan meningkatnya beban hidup masyarakat, kisruh soal rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menjadi potret kecil dari persoalan besar yang sedang dihadapi negeri ini, ketimpangan relasi kekuasaan antara negara dan rakyat dalam urusan fiskal.
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa urusan pajak bukan semata hitungan angka, melainkan perkara legitimasi dan keadilan sosial.
Ketika rakyat merasa dipaksa membayar tanpa kejelasan manfaat dan tanpa dihargai suaranya, resistensi bukan hanya mungkin terjadi, tapi justru menjadi keniscayaan.
Sejak masa kolonial, pajak kerap menjadi pemicu kemarahan rakyat. Pemberontakan Geger Cilegon (1888) dipicu pajak kepala dan beban ekonomi yang menindas.
Perang Belasting di Sumatera Barat (1908) lahir karena rakyat menolak pajak individu yang memberatkan.
Bahkan, perang besar seperti Perang Diponegoro (1825–1830) juga tak lepas dari akumulasi rasa ketidakadilan atas tanah dan pajak yang membebani petani Jawa.
Pajak dalam konteks itu adalah simbol ketimpangan kuasa. Ia menjadi alat penjajahan, sebuah paksaan legal untuk mengalirkan sumber daya dari rakyat ke elite. Maka, tak heran bila penolakan terhadap pajak acapkali menjadi penanda awal perlawanan rakyat.
Baca juga: Pajak Super Mencekik di Pati
Kini, lebih dari satu abad setelah kemerdekaan, rakyat kembali bersuara atas kebijakan pajak yang dianggap tak adil. Namun yang menyedihkan, suara itu masih kerap dianggap ancaman, bukan aspirasi.
Kasus PBB di Pati adalah contoh gamblang bagaimana relasi kekuasaan dalam kebijakan fiskal bisa rusak.
Bupati Pati, Sudewo, secara terbuka menyampaikan rencana kenaikan PBB hingga 250 persen. Alasan resminya untuk menutupi defisit anggaran daerah, membayar gaji honorer, serta membangun fasilitas kesehatan dan infrastruktur jalan.
Namun, substansi kebijakan ini tak dikonsultasikan secara serius dengan masyarakat.
Alih-alih menjelaskan, sang bupati justru seakan menantang para pendemo yang menolak kenaikan PBB, "Siapa yang akan melakukan penolakan, saya tunggu, silakan lakukan, jangan hanya 5.000 orang, 50.000 orang aja suruh ngerahkan, saya tidak akan gentar. Saya tidak akan mengubah keputusan," ujar Sudewo (Kompas.com, 5/8/2025).
Sikap Bupati Sadewo mencerminkan sikap pejabat yang arogan dan anti-kritik. Hal ini malah memicu gelombang dukungan masyarakat terhadap rencana aksi demo yang akan dilaksanakan pada 13 Agustus 2025.
Dalam demokrasi, komunikasi pejabat publik semestinya mencerminkan rasa hormat terhadap rakyat. Ketika protes dianggap sebagai gangguan, bukan sebagai umpan balik, maka pemerintahan berubah menjadi kekuasaan.
Dan ketika pejabat merasa tak perlu menjelaskan, apalagi meminta maaf, maka hubungan negara-rakyat mengalami degradasi moral.