SETIAP perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia selalu disemarakkan dengan berbagai karnaval, lomba, hingga doa bersama.
Ulang tahun identik dengan kado, tanda kasih dan ingatan yang diberikan kepada yang berulang tahun.
Namun, kado tak selalu berupa bingkisan manis atau ucapan selamat, kadang ia hadir dalam bentuk teguran dan peringatan.
Di Pati, rakyat memberikan “kado” berbeda bagi penguasa: aksi protes terhadap arogansi kepala daerah.
Peristiwa itu menjadi pengingat bahwa kemerdekaan sejati tak hanya dirayakan dengan bendera dan pesta, melainkan juga dengan keberanian rakyat untuk bersuara, menuntut keadilan, dan menjaga agar kekuasaan tak lupa diri.
Di balik aksi protes massa, yang paling patut disorot justru arogansi Bupati Pati, Sudewo. Tidak semua pemimpin daerah mampu membuat rakyatnya punya alasan bersama untuk marah, bersatu, dan bergerak.
Pernyataan menantang warga agar menggelar aksi besar-besaran bukan saja disambut, tapi dilaksanakan dengan presisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Baca juga: Pesan dari Pati: Jangan Pernah Menantang Rakyat
Dalam hitungan hari, jalanan Pati menjadi panggung raksasa bagi ribuan orang yang menuntut pembatalan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250 persen, bahkan mendesak agar dirinya mundur.
Arogansi itu, alih-alih meredam kritik, justru memicu mobilisasi yang rapi. Donasi logistik mengalir, koordinasi lintas desa terjalin, dan arus massa mengalir dari berbagai penjuru kabupaten.
Ini bukan sekadar ledakan kemarahan spontan, ada potensi menjadi sesuatu yang lebih—gerakan sosial sejati yang tak berhenti pada penyelesaian masalah tunggal, tetapi menjadi kekuatan kolektif yang terus mengawal, mengkritik, dan terus melawan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Semua ini berawal dari kebijakan yang diumumkan diam-diam pada akhir triwulan pertama 2025. Kenaikan PBB di saat ekonomi rakyat sedang terpuruk menimbulkan protes naratif dalam bentuk keluhan warga yang berkembang melalui media sosial.
Situasi memanas ketika Sudewo, dalam pernyataannya melontarkan tantangan yang justru menjadi bahan bakar utama kemarahan publik:
"Jangan hanya 5.000 orang, 50.000 orang pun suruh kerahkan, saya tidak akan gentar. Saya tidak akan mengubah keputusan itu, tetap maju,” kata Sudewo dalam video yang beredar di media sosial.
Dalam hitungan jam, potongan video itu menyebar di Facebook, TikTok, dan WhatsApp grup, menembus batas administratif Pati.
Orang-orang dari luar daerah ikut membagikan, mengomentari, dan mengecam. Tantangan itu berubah menjadi ajakan tak resmi untuk menguji kekuatan rakyat.