JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan untuk anggota DPR RI yang telah diberlakukan sejak Oktober 2024 lalu, kembali mencuat ke ruang publik dan menjadi perbincangan.
Pihak DPR menilai, besaran yang diberikan itu wajar dan masuk akal, tetapi kelompok masyarakat sipil berpendapat berbeda.
Kebijakan tersebut justru dianggap tidak pantas di tengah kondisi keuangan negara yang terbatas.
Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir mengatakan, tunjangan perumahan diberikan sebagai pengganti rumah dinas yang sebelumnya pernah disediakan negara untuk para anggota DPR.
Baca juga: Formappi: Tunjangan yang Terus Bertambah Memanjakan Anggota DPR, Bukan Dongkrak Kinerja
Besaran Rp 50 juta, menurut dia, sudah sebanding dengan rata-rata harga sewa rumah di kawasan Senayan, Jakarta.
“Saya kira make sense (masuk akal) lah kalau Rp 50 juta per bulan. Itu untuk anggota, kalau pimpinan enggak dapat karena dapat rumah dinas,” ujar Adies, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Adies menuturkan, rata-rata biaya sewa kos di sekitar Senayan sebenarnya hanya Rp 3 juta per bulan.
Namun, para anggota DPR membutuhkan rumah dengan fasilitas penunjang lain yang lebih lengkap dan tidak bisa dipenuhi oleh indekos.
Alhasil, banyak anggota DPR RI yang akhirnya memilih untuk menyewa rumah dibandingkan indekos.
“Kalau daerah sini (Senayan) Rp 40 sampai Rp 50 jutaan juga (besaran sewa rumahnya),” kata dia.
Politikus Partai Golkar itu menambahkan, dalam besaran tunjangan perumahan juga sudah termasuk biaya jasa sopir dan pembantu rumah tangga.
Pernyataan tersebut disampaikan Adies untuk sekaligus membantah narasi yang menyebut anggota DPR menerima gaji pokok bulanan hingga Rp 100 juta.