BELAKANGAN ini, seruan pembubaran DPR mengemuka. Massa sampai turun ke jalan mendesak pembubaran DPR, Senin (25/7/2025). Unjuk rasa di sekitar Senayan, Jakarta, tersebut berakhir ricuh.
Tuntutan yang radikal ini lahir di tengah kontroversi kenaikan tunjangan rumah bagi anggota DPR sebesar Rp 50 juta per orang per bulan. Kebijakan yang dianggap tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang sedang lesu.
Fenomena ini tidak bisa dibaca sekadar sebagai euforia sesaat di jagat digital. Ia adalah refleksi nyata dari jurang yang makin lebar antara rakyat dengan wakilnya.
Dalam politik, persepsi publik sama pentingnya dengan fakta. Ketika masyarakat merasa dikhianati, legitimasi lembaga politik bisa runtuh. Karena itu, pertanyaan provokatif pun muncul: apakah membubarkan DPR adalah jalan keluar?
DPR saat ini memang tengah menghadapi krisis legitimasi. Data survei menunjukkan tren yang konsisten, di mana lembaga legislatif ini selalu berada di posisi buncit dalam hal kepercayaan publik.
Survei Indikator Politik Indonesia (Januari 2025) menempatkan DPR hanya di peringkat ke-10 dari 11 lembaga negara yang diukur.
Baca juga: DPR dan Arogansi Wakil Rakyat
Sementara survei Indonesian Political Opinion (IPO, Mei 2025) mencatat DPR hanya dipercaya oleh 45,8 persen publik, jauh tertinggal dari presiden yang mendapat kepercayaan 97,5 persen dan TNI sebesar 92,8 persen.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik dingin, melainkan alarm keras bahwa DPR semakin teralienasi dari rakyat yang diwakilinya. Ketika DPR tidak mampu membangun kepercayaan, legitimasi politik yang menjadi dasar keberadaannya terancam.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, bahkan menegaskan bahwa rendahnya kepercayaan publik terhadap DPR adalah konsekuensi dari “utang kinerja” yang terus menumpuk, yaitu produk legislasi yang minim, pengawasan mandul, dan penganggaran yang lebih sering menjadi stempel kebijakan pemerintah ketimbang arena perdebatan substantif.
Dalam kondisi seperti ini, wacana pembubaran DPR terdengar rasional, bahkan menggoda, terutama bagi masyarakat yang lelah melihat kinerja legislator.
Namun, jika ditilik lebih jauh, gagasan ini lebih banyak dipenuhi romantisme politik ketimbang rasionalitas hukum dan konstitusi.
Secara historis, Indonesia pernah punya preseden. Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante.
Dekrit itu mengakhiri percobaan demokrasi parlementer pasca-Kemerdekaan, dan mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi.
Namun, langkah ini sekaligus membuka jalan menuju rezim Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan terpusat di tangan presiden, partai-partai dipreteli, dan parlemen hanya menjadi ornamen kekuasaan.
Sejarah membuktikan bahwa membubarkan lembaga legislatif lewat dekrit bukan jalan keluar bagi demokrasi. Sebaliknya, ia menjadi pintu masuk menuju otoritarianisme.