KERUSUHAN yang meledak di Jakarta dan berbagai daerah lain sejak Jumat (29/8/2025) hingga Sabtu (30/8/2025) pagi, menandai bahwa krisis politik dan sosial di Indonesia sudah masuk fase berbahaya.
Awalnya publik turun ke jalan karena marah pada DPR: tunjangan jumbo, ucapan elite yang tidak sensitif, dan parodi-parodi yang dianggap melecehkan rakyat.
Kemudian kemarahan itu berlipat ganda setelah Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob di Pejompongan, Jakarta.
Jumat malam, ratusan ribu orang kembali bergerak. Jakarta penuh sesak oleh massa di sekitar DPR, Polda Metro, dan Mako Brimob.
Di Bandung, pagar DPRD Jabar terbakar. Di Surabaya, demonstran mendobrak pagar Gedung Negara Grahadi. Di Medan dan Solo, aksi massa juga dibalas dengan gas air mata dan water cannon.
Sementara di Makassar, gedung DPRD kota rusak dan puluhan mobil terbakar. Tiga orang tewas dalam peristiwa tersebut.
Baca juga: Asal Anggota DPR Bahagia
Eskalasi yang semula berbentuk protes kini telah bertransformasi menjadi kerusuhan sosial. Jika situasi ini terus tak terkendali, maka arah tuntutan publik bisa langsung tertuju ke Presiden Prabowo.
Di sisi lain, ada risiko aparat justru semakin represif dalam merespons situasi, yang hanya akan memperbesar kemarahan massa.
Inilah titik genting yang akan menentukan: apakah Presiden Prabowo tampil sebagai pemimpin sejati, atau sekadar melanjutkan pernyataan-pernyataan simpatik tanpa langkah politik nyata.
Tragedi Affan Kurniawan hanyalah pemicu. Akar kemarahan publik jauh lebih dalam. Polisi yang seharusnya melindungi kini dipandang sebagai ancaman.
Ketika aparat dianggap musuh rakyat, legitimasi hukum runtuh. Tanpa legitimasi itu, negara kehilangan otoritas moral untuk memaksa ketaatan. Itulah yang kini terjadi di jalanan Jakarta, Bandung, hingga Makassar.
Presiden bisa saja menganggap peristiwa ini ditunggangi aktor politik tertentu atau ada intervensi asing.
Namun faktanya, faktor fundamental yang melahirkan situasi hari ini dikondisikan sendiri oleh pemerintahannya: belanja negara yang tak mengalir ke rakyat, komunikasi elite yang melecehkan publik, dan kultur represif aparat yang dibiarkan.
Peristiwa Affan hanyalah katalis, percikan kecil yang meledakkan frustrasi yang sudah menumpuk.
DPR menjadi sumber kemarahan berikutnya. Pernyataan ngawur Adies Kadir yang menyebut harga kos-kosan di Jakarta mencapai puluhan juta rupiah per bulan jelas jauh dari realitas rakyat kebanyakan.