PERISTIWA 25–31 Agustus 2025, merupakan momentum bersejarah yang menandai titik ledak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Dua puluh tujuh tahun setelah Reformasi 1998, negeri ini kembali diguncang gelombang aksi rakyat yang tak terduga— gerakan yang melampaui demonstrasi biasa, dan mencerminkan krisis legitimasi yang telah lama terpendam.
Berbeda dengan peristiwa 1966 dan 1998 yang dipicu krisis ekonomi massal, ledakan Agustus 2025 tidak lahir dari kelaparan atau kehancuran finansial. Ia justru membantah dogma lama bahwa rakyat hanya bergerak ketika perut kosong.
Aksi ini menunjukkan bahwa kebutuhan rakyat hari ini telah melampaui sekadar urusan pangan: mereka menuntut partisipasi bermakna, distribusi keadilan yang nyata, dan etika kekuasaan yang sehat.
Namun, pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming yang baru berusia sepuluh bulan justru memperdalam kekecewaan.
Alih-alih membawa pembaruan, kekuasaan dipersepsikan hanya melanjutkan pola lama: birokrasi gemuk, kabinet yang dipenuhi loyalis Jokowi, serta gaya kepemimpinan yang semakin menjauh dari aspirasi rakyat.
Tragedi demokrasi ini berakar pada praktik politik dinasti. Putusan Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2023, yang merevisi syarat usia capres/cawapres—membuka jalan bagi Gibran—dipandang sebagai intervensi kekuasaan yang terang-terangan.
Sejak itu, persepsi publik kian menguat bahwa demokrasi telah direduksi menjadi permainan segelintir elite.
Baca juga: Restrukturisasi Tunjangan Pejabat dan Restorasi Demokrasi
Dalam sepuluh bulan pertama pemerintahannya, berbagai kebijakan justru melahirkan gelombang frustrasi baru di tengah masyarakat.
Pagar laut yang dikavling secara sepihak menutup ruang publik dan memutus akses nelayan terhadap laut—ruang hidup yang selama ini menjadi penopang ekonomi mereka.
Di sektor manufaktur dan ritel, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) memperburuk daya beli masyarakat secara signifikan. Lapangan pekerjaan semakin menyempit, sementara angka pengangguran meningkat tajam.
Antrean pencari kerja membludak di berbagai job fair, bahkan beberapa kali berujung ricuh akibat ketimpangan ekstrem antara jumlah pelamar dan ketersediaan lowongan.
Ironisnya, rakyat yang memilih bekerja ke luar negeri justru diejek sebagai tidak nasionalis, seakan mencari penghidupan yang layak adalah bentuk pengkhianatan.
Pemerintah terus mengklaim bahwa ketersediaan lapangan kerja tercukupi, dan mereka yang tidak menerima klaim itu dicap “kufur nikmat.”
Baca juga: Kufur Nikmat Pencari Kerja: Hilangnya Sensivitas Pejabat atas Realitas Sosial
Ekonomi rakyat semakin lesu. Kelas menengah terjerembab turun kelas, bergabung dengan jutaan warga yang hidup pas-pasan.
Fenomena “Rojali” dan “Rohana” mencuat sebagai simbol getir—lebih dari sekadar istilah populer, melainkan potret nyata dari krisis martabat sosial.
Di tengah tekanan hidup semacam itu, pemerintah justru menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan tanpa mekanisme keberatan yang transparan. Akibatnya, banyak keluarga kelas menengah ke bawah terancam kehilangan rumah karena tak sanggup membayar tunggakan pajak yang melonjak drastis.
Tak berhenti di situ, PPATK melakukan pemblokiran rekening secara sepihak. Langkah ini menebar ketakutan baru, terutama bagi pelaku usaha mikro yang modal usahanya bergantung pada simpanan kecil di rekening bank.
Sementara itu, pemerintah terus membanggakan pertumbuhan ekonomi stabil di angka 5,12 persen. Namun, bagi publik, angka itu tidak lebih dari ilusi statistik.
Realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: pasar tradisional lengang, warung-warung kecil tutup, dan antrean bantuan sosial semakin mengular.
Puncak ironi muncul pascamencuatnya tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan bagi anggota DPR—sepuluh kali lipat dari upah minimum Jakarta.
Keputusan ini dianggap sebagai wujud ketidakpekaan akut, sekaligus memperkuat kesan bahwa elite politik hidup dalam gelembung privilese yang terputus dari realitas rakyat.
Bahasa politik di ruang publik pun kian melecehkan. Pernyataan kontroversi anggota DPR Ahmad Sahroni menjadi simbol arogansi kekuasaan.
Sementara aksi berjoget para pejabat dalam sidang tahunan MPR—di tengah krisis sosial yang memburuk—menjadi potret vulgar dari elite yang menari di atas penderitaan rakyat.
Ledakan protes pada 25 Agustus, mulanya dipicu oleh kemarahan atas tunjangan DPR, tapi segera menjelma menjadi aksi nasional.
Seorang driver ojek yang saya temui bercerita lirih: “Kami cuma cari uang buat makan anak istri, itu pun susah. Sementara DPR dapat Rp 3 juta per hari.”
Ia menegaskan akan ikut aksi 28 Agustus bersama serikat buruh, menuntut negara hadir melindungi mereka dari eksploitasi aplikator yang tak terkendali.
Aksi 28 Agustus benar-benar menjadi titik balik. Demonstrasi yang semula damai berubah ricuh setelah aparat menembakkan gas air mata dan water cannon.
Tragedi terbesar terjadi ketika Affan Kurniawan, seorang driver ojek online, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob. Video peristiwa itu viral, memicu gelombang kemarahan yang meluas ke berbagai kota.
Baca juga: Menunggu Proses Pidana Penabrak Affan Kurniawan
Kerusuhan pun menjalar ke Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, hingga Bali. Gedung DPRD Makassar dibakar massa, menewaskan tiga orang yang terjebak api.