Penerimaan Pajak Menurun, Ini Saran Kaisar KKSP kepada Pemerintahan Prabowo

Kompas.com - 09/05/2025, 09:50 WIB
Inang Sh ,
A P Sari

Tim Redaksi

Anggota DPR RI Kaisar Kiasa Kasih Said Putra (KKSP) dalam sebuah kesempatan. DOK. Muda Berjuang Anggota DPR RI Kaisar Kiasa Kasih Said Putra (KKSP) dalam sebuah kesempatan.

KOMPAS.com - Anggota DPR RI Kaisar Kiasa Kasih Said Putra (KKSP) mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak ( DJP) memaparkan ada tren positif dalam pertumbuhan rasio pajak ( tax ratio) pada kuartal I-2025. 

“Namun, di balik capaian tersebut, perlu dicermati bahwa tax ratio justru mengalami penurunan jika dibanding periode yang sama pada 2024, yakni dari 9,77 persen pada kuartal I-2024 menjadi hanya 7,95 persen pada quartal I-2025,” ujarnya dalam siaran pers, Kamis (8/5/2025).

Kaisar mengatakan, ada beberapa poin untuk meningkatkan tax ratio yang hari ini dalam kondisi defisit dan dibutuhkan agenda konkret secara menyeluruh. 

Salah satu poin utama itu adalah modernisasi teknologi, seperti implementasi core tax, penyederhanaan prosedur layanan, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di tengah efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah pusat saat ini, pengawasan berbasis data, dan penegakan hukum digital. 

Selain itu, perlu pula adanya integrasi data antarlembaga sebagai tindakan preventif dalam mencari solusi praktis untuk menutup defisit dan meningkatnya serapan pajak Indonesia.

Baca juga: Penetapan Tarif AS Ditunda 90 Hari, Kaisar KKSP Minta Pemerintah Manfaatkan dengan Optimal

“Keterkaitannya dengan sistem core tax yang saat ini sedang proses fixing system, harapan saya ini harus diselesaikan dengan segera,” harapnya.

Kaisar menilai, hal itu dilakukan agar semua pihak bisa mengevaluasi proyek dengan anggaran besar yang digelontorkan pemerintah mampu memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan pajak kita.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu menambahkan, peningkatan kepatuhan masyarakat terhadap pajak juga menjadi agenda yang tak kalah penting. 

Menurutnya, edukasi fiskal berbasis literasi publik perlu diperluas dengan dukungan sistem digital yang menjangkau seluruh elemen masyarakat, termasuk usaha mikro kecil menengah (UMKM). 

“Pemberian insentif kepada wajib pajak patuh serta penegakan hukum terhadap yang lalai perlu diterapkan secara adil dan tegas,” terangnya.

Di luar aspek mikro, kata Kaisar, faktor makro seperti stabilitas ekonomi, politik, dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) juga menjadi kunci keberhasilan reformasi perpajakan. 

Baca juga: Kaisar KKSP Minta Pemerintah Evaluasi Coretax Demi Kelancaran Penerimaan Negara

“Menjadi harapan kita bersama pada saat tercapainya stabilitas ekonomi, politik, dan terwujudnya good governance nantinya dapat menstimulasi investasi padat karya yang pada gilirannya meningkatkan basis pajak nasional,” ujarnya. 

Kaisar menegaskan, peningkatan tax ratio adalah langkah fundamental menuju kemandirian fiskal. Oleh karenanya, kerja keras DJP layak diapresiasi, tetapi tantangan besar masih terbentang di pelupuk mata. 

Sebab, kata dia, tax ratio bukan sekadar angka statistik, melainkan refleksi dari kemampuan negara “berdikari dalam bidang ekonomi” yang artinya mampu membiayai pembangunan secara mandiri dan berkelanjutan. 

“Kami di Komisi XI DPR RI berkomitmen terus mengawal proses reformasi perpajakan agar tetap konsisten, adil, dan berpihak kepada rakyat,” ungkapnya. 

Pentingnya meningkatkan penerimaan pajak

Sebagaimana diketahui, penerimaan pajak merupakan tulang punggung utama pembiayaan anggaran pendapatan dan belanja negara ( APBN). 

Oleh karena itu, kinerja penerimaan pajak sangat krusial dalam menjaga kesinambungan fiskal negara. 

Baca juga: Anggota Komisi XI Kaisar KKSP Inisiasi Pembagian Pupuk dan Pelatihan Gratis untuk Petani

“Seharusnya, dengan adanya penerapan sistem core tax pada 2025 jika berlandaskan pemaparan teori, tax ratio kita bisa mengalami peningkatan yang signifikan,” ujar Kaisar.

Namun, lanjut dia, kondisi realitas dengan sistem yang ada masih banyak mengalami kendala tax ratio dan tampak masih berjalan di tempat.

Hingga 31 Maret 2025, DJP menyebutkan, kinerja APBN menunjukkan dinamika yang cukup positif. Total pendapatan negara tercatat sebesar 516,1 triliun, atau 17,2 persen dari target dalam APBN 2025. 

Kontribusi terbesar berasal dari sektor perpajakan dengan realisasi Rp 322,6 triliun (14,7 persen dari target), diikuti kepabeanan dan cukai sebesar 77,5 triliun (25,7 persen), serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 115,9 triliun (22,6 persen).

Di sisi belanja, total realisasi hingga akhir Q1 mencapai 620,3 triliun, atau 17,1% dari alokasi anggaran. 

Baca juga: Panggil Dirjen Pajak untuk Laporkan Penerimaan Pajak dan Coretax, DPR Soroti Tax Ratio Rendah

Belanja itu terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat sebesar 413,2 triliun dan Transfer ke Daerah sebesar Rp 207,1 triliun. 

Dengan belanja yang lebih tinggi dibandingkan pendapatan, APBN mencatatkan defisit sebesar Rp 104,2 triliun (sekitar 0,43 persen terhadap estimasi produk domestik bruto/PDB).

Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah telah melakukan pembiayaan anggaran sebesar Rp 250 triliun, atau 40,6 persen dari target pembiayaan 2025.

Dari pemaparan DJP, terdapat catatan penting mengenai posisi tax ratio Indonesia. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB Indonesia saat ini masih tergolong rendah jika dibandingkan negara-negara Asia Tenggara maupun G20, yang rata-rata berada di kisaran 12 persen hingga 25 persen. 

“Kondisi ini mengindikasikan adanya tantangan struktural dalam memperkuat basis perpajakan nasional,” ungkap Kaisar.

Terlebih, pemaparan terkait defisit yang terjadi terpaut jauh dari target pemerintah. Kemudian, defisit yang terjadi pada kuartal I masih sesuai dengan prediksi dan diklaim tidak menimbulkan kekhawatiran.

Baca juga: Tax Ratio 7,95 Persen Kuartal I 2025, Pengamat: Indonesia Makin Ketergantungan Utang

“Ada baiknya pemerintahan era Prabowo meningkatkan kewaspadaan dan segera menghadirkan berbagai solusi konkret yang terukur,” imbuhnya. 

Kaisar juga mengingatkan terkait situasi global yang tidak menentu akibat dari perang tarif Amerika Serikat (AS) dengan China, tingkat pengangguran yang masih tinggi, hingga terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sedang dialami Indonesia.

Menurutnya, di tengah berbagai tekanan ekonomi global dan gejolak domestik, perlu menjadi perhatian bahwa tekanan terhadap kelompok menengah-bawah dapat berdampak negatif pada kinerja penerimaan pajak pada kuartal II hingga IV. 

“Jika tidak diantisipasi, permasalahan itu dapat memicu stagnasi atau penurunan tren penerimaan. Meskipun saya berharap ini tidak terjadi,” ungkapnya.

Kaisar menjelaskan, dalam teori ekonomi publik (Musgrave and Musgrave), tax ratio mencerminkan kapasitas pemerintah dalam memobilisasi sumber daya domestik tanpa bergantung pada utang. 

Baca juga: Kejar Setoran Pajak untuk Tingkatkan Tax Ratio, Sri Mulyani Bidik Sektor-sektor Ilegal

Tax ratio yang rendah biasanya disebabkan oleh rendahnya tingkat kepatuhan pajak, dominasi sektor informal yang belum tercakup sistem perpajakan, ketergantungan fiskal pada penerimaan tidak berulang (misalnya dari sumber daya alam), dan kebocoran dalam sistem administrasi perpajakan,” jelasnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke