KOMPAS.com - Ratusan anak dan warga menjadi korban penangkapan sporadis oleh aparat kepolisian usai aksi demonstrasi yang berlangsung pada Jumat (29/8/2025) hingga Minggu (31/8/2025) di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Arif Syamsudin, menilai praktik penangkapan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai kemanusiaan karena menyasar anak-anak, perempuan, dan penyandang disabilitas.
“Pertama ada 45 orang, lalu 10 orang lagi. Sejak jam 3 pagi 30 Agustus sampai sore, data kami menunjukkan 475 orang ditahan di Polda Jateng. Dari jumlah itu, 327 sudah dibebaskan, lebih dari 100 lainnya statusnya kami tidak tahu,” kata Arif saat konferensi pers di Kantor Keuskupan Semarang, Senin (1/9/2025).
LBH Semarang menemukan fakta bahwa ratusan anak ikut ditahan, termasuk anak SD.
“Mereka ditangkap, lalu mengalami depresi. Di situ kita melihat anak-anak menangis, linglung, kondisinya cukup mengenaskan,” ungkap Arif.
Arif menegaskan, penangkapan dilakukan tanpa prosedur yang sah.
“Tidak ada surat penangkapan, tidak ada surat penahanan, dan korban ditahan lebih dari 30 jam. Polisi menangkapi siapa saja yang lewat, yang dianggap mencurigakan. Ada perempuan yang hanya membeli es, lalu ditangkap. Ada penyandang disabilitas tuli dan bisu juga ditahan tanpa pendamping maupun juru bahasa isyarat,” ujarnya.
LBH Semarang juga mengecam kekerasan yang dilakukan aparat terhadap pengunjuk rasa. Bahkan warga yang tidak ikut demonstrasi pun ikut ditangkap dan dipukuli.
“Kami menemukan banyak korban dengan tubuh penuh memar akibat ditendang, dipiting, hingga dipukul saat penangkapan maupun pemeriksaan. Polisi menggunakan kekerasan berlebihan, ini bentuk abuse of power,” kata Arif.
Baca juga: Respons Situasi Nasional, Tokoh Lintas Agama di Semarang Terbitkan 7 Poin Seruan Moral
Menurutnya, kepolisian sengaja membangun stigma dengan melabeli korban sebagai “anarko” atau perusuh untuk membenarkan kekerasan yang dilakukan.
“Framing ini berulang sejak May Day, lalu aksi-aksi berikutnya. Polisi seolah-olah membenarkan tindak represif dengan menyebut anak-anak dan warga biasa sebagai anarko. Ini langkah mundur, merusak demokrasi, dan mengabaikan substansi tuntutan masyarakat,” lanjut Arif.
Arif pun menyoroti indikasi kuat salah tangkap. Polisi disebut menangkap secara acak tanpa surat penangkapan maupun penahanan.
Anak-anak bahkan diborgol dengan tangan di belakang dan sebagian tidak mendapat akses kesehatan.
“Stigma ‘anarko’ hanya akal-akalan polisi. Faktanya, ada anak-anak yang tidak ada kaitan dengan aksi, tetapi ditampilkan seolah perusuh,” tegas Arif.
Baca juga: Antisipasi Demo, Sekolah di Semarang Sesuaikan Pola Belajar demi Keselamatan Anak