KOMPAS.com – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pernah merilis hasil dokumentasi mendalam mengenai tragedi kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998.
Laporan tersebut dituangkan dalam sebuah buku yang dicetak pada tahun 2008, tepat 10 tahun setelah peristiwa berlangsung.
Buku ini disusun oleh tim khusus, salah satunya Andi Yentriyani, yang kini menjabat sebagai Ketua Komnas HAM RI periode 2020–2025.
Dalam ulasan yang diterima Kompas.com dari Andi pada Senin (16/6/2025), dijelaskan bahwa korban kekerasan seksual Mei 1998 berasal dari berbagai latar belakang usia dan status sosial.
“Penutur para pendamping menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual Mei 1998, termasuk perkosaan, adalah terutama perempuan, dengan usia yang beragam, mulai dari anak-anak hingga dewasa, berkisar antara lima sampai dengan 50 tahun,” tulis buku tersebut.
Baca juga: Suara Kritik untuk Fadli Zon soal Klaim Pemerkosaan Massal Mei 1998 Tidak Ada, Makin Meluas
Menurut laporan tersebut, sebagian besar korban kekerasan seksual pada Mei 1998 adalah perempuan etnis Tionghoa.
Penyerangan dan penjarahan pada masa kerusuhan umumnya terjadi di kawasan permukiman komunitas Tionghoa, yang menjadikan perempuan dari etnis ini sebagai target utama.
Pemilihan korban disebut tidak terjadi secara acak, melainkan didasari motif etnis. Dalam salah satu kesaksian yang tercantum dalam buku, seorang perempuan lolos dari percobaan pemerkosaan karena ibunya diketahui beretnis pribumi.
“Mungkin kalau bukan karena ibu saya berwajah pribumi, saya sudah habis diperkosa hari itu. Pengalaman ini tidak pernah saya laporkan. Di rumah, kami hampir tidak pernah membicarakannya. Saat ini, saya sudah bisa menceritakan pengalaman ini dengan berjarak, meskipun kalau kamu pegang, tangan saya dingin,” ungkap seorang korban percobaan pemerkosaan.
Baca juga: Bambang Pacul Sentil Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 1998: Jangan Sok Benar
Kesaksian lain mencatat pelaku kekerasan seksual menghentikan aksinya setelah mendengar korban berteriak dalam bahasa Bugis.
Hal ini membuat pelaku menyadari bahwa korban bukan berasal dari etnis Tionghoa.
Buku tersebut juga memuat kisah korban kekerasan seksual yang merupakan seorang ibu dengan dua anak.
Ia diperkosa di dalam sebuah taksi dan diturunkan tanpa busana. Dalam kondisi trauma dan tanpa pakaian, ia berjalan ke rumah warga untuk meminta bantuan.
Meski mengalami kejadian traumatis, korban memilih tetap bekerja. Namun, dampak psikologis tak bisa dihindari.
Ia menunjukkan gejala disfungsi, seperti tidak mampu memasak meski tetap berbelanja. Suaminya pun sempat menolak menerima kenyataan bahwa istrinya menjadi korban kekerasan seksual.