KOMPAS.com – Nama Sumanto, mantan pelaku kanibalisme asal Purbalingga, Jawa Tengah, kembali mencuri perhatian publik. Setelah bebas dari hukuman penjara, pria yang pernah dijuluki “kanibal Purbalingga” ini kini bertransformasi menjadi kreator konten.
Melalui akun media sosial yang dikelola oleh pengurus yayasan tempatnya bernaung, Sumanto aktif membagikan berbagai konten kuliner dan aktivitas kesehariannya di panti rehabilitasi.
Bahkan, ia mengaku sudah mulai menerima sejumlah endorsement dari berbagai produk.
“Dulu ngejar orang, sekarang dikejar endorse,” ujar Sumanto saat ditemui di Purwokerto, belum lama ini.
Sebagian besar konten yang dibagikan Sumanto memang berfokus pada makanan. Ia terlihat menikmati aktivitas memasak hingga mencicipi beragam menu berbahan dasar daging.
“Dulu masak daging hidup-hidup, sekarang full matang,” kata Sumanto berseloroh.
Baca juga: Transformasi Sumanto: Dari Penjara, Rehabilitasi, hingga Viral Jadi Kreator Konten
Kasus kanibalisme Sumanto pertama kali terungkap pada 11 Januari 2003. Warga Desa Majatengah, Purbalingga, digemparkan dengan hilangnya jenazah Mbok Rinah (81) yang baru dimakamkan selama 16 jam.
Polisi kemudian menaruh kecurigaan pada Sumanto yang saat itu berusia 32 tahun. Kecurigaan itu terbukti setelah ditemukan tulang belulang dan sisa jasad Mbok Rinah di rumahnya.
Sumanto ditangkap pada 13 Januari 2003 tanpa perlawanan. Dalam pemeriksaan, ia mengakui perbuatannya.
Di hadapan penyidik, Sumanto mengaku tindakannya dilakukan sebagai bagian dari praktik ilmu hitam.
Ia percaya dengan memakan daging manusia, dirinya bisa memperoleh kekuatan gaib, mulai dari kekebalan terhadap senjata, ketenangan batin, hingga kekuatan fisik.
Baca juga: Sumanto Dijadikan Bahan Riset Film Labinak: Mereka Ada di Sini
Selain itu, faktor kesulitan ekonomi dan kegagalan rumah tangga disebut turut mendorongnya melakukan perbuatan tersebut.
Hasil penyelidikan juga mengungkap bahwa Mbok Rinah bukanlah korban pertama. Sumanto mengaku pernah melakukan hal serupa terhadap dua jenazah lain ketika bekerja di perkebunan tebu di Lampung.
Namun, berkat remisi, ia dibebaskan lebih cepat pada 24 Oktober 2006. Meski demikian, kebebasan tersebut tidak serta-merta membuatnya diterima kembali di masyarakat. Baik keluarga maupun warga sekitar menolak kepulangannya.