JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menyebut bahwa peretas Pusat Data Nasional (PDN) Sementara 2 atau pihak yang memproduksi perangkat lunak perusak (ransomware) varian lockbit seharusnya ditangkap.
“PDN sedang diserang oleh ransomware, produk dari lockbit generasi tiga, mestinya lockbit ini harusnya dicari ini, ditangkap, yang memproduksi lockbit ini,” kata Najih saat membuka Workshop Kepemimpinan dalam Era Transformasi Digital di Jakarta, dikutip dari Antaranews, Rabu (26/6/2024).
Menurut dia, tindakan tegas tersebut harus dilakukan pemerintah karena peretasan yang dilakukan terhadap PDN sudah dikategorikan menyerang keamanan data nasional.
“Karena telah menyerang, mengganggu proses kegiatan digital di negara kita, sehingga mengganggu data yang sedang dipakai,” ujarnya.
Baca juga: Ransomware pada PDN: Pentingnya Backup dan Disaster Recovery
Lebih lanjut, Najih menekankan perihal pentingnya mengelola data yang bersifat penting secara lebih baik. Apalagi, yang melibatkan kecanggihan teknologi. Sehingga, ke depannya diharapkan tidak ada lagi peretasan terhadap data yang dimiliki oleh negara.
“Jadi, inilah situasi-situasi yang kita hadapi, maka bagaimana me-manage (mengelola) teknologi ini, karena ini diperlukan kita sebagai manusia yang mengoperasikan, memanfaatkan, itu kepemimpinan yang bagaimana yang kita sebut dengan leadership digital itu,” katanya.
Sementara itu, Chairman Lembaga Riset Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Dahlian Persadha mengatakan bahwa menangkap peretas, terlebih sekelas lockbit merupakan tugas yang sulit.
“Kalau kita tahu orangnya siapa, kita bisa pakai interpol, kerja sama, kita bisa tangkap. Ini kita cari orangnya saja enggak tahu, susah, ini yang jadi problem,” kata Pratama yang menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut.
Baca juga: Polri Usut Dugaan Pidana Terkait Serangan Ransomware di PDN
Meskipun, menurut dia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah mengatur proses hukum terhadap peretas.
“Ada Undang-Undang ITE Pasal 30 ayat 1, 2, dan 3; kalau hacker-nya bisa kita tangkap, itu bisa kita kenakan ancaman hukuman (paling lama) delapan tahun penjara, denda (paling banyak) Rp 800 juta,” ujar Pratama.
Oleh karena itu, dia mengatakan, saat ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan dan tata kelola yang baik dalam menjaga keamanan siber agar serangan siber dapat ditekan.
“Langkah terbaik apa? Kita harus membuat tata kelola pemerintahan yang baik, kita harus membuat tata kelola manajemen IT yang baik, kita harus membuat pengamanan sistem yang baik, dan itu tidak akan bisa dilakukan kalau pimpinannya tidak mengerti masalah IT,” kata Pratama.
Baca juga: Komisi I DPR Panggil Menkominfo dan BSSN Besok, Tuntut Penjelasan soal PDN Diserang
Sebelumnya, pemerintah menyebut gangguan yang terjadi pada PDN Sementara 2 yang menyebabkan terganggunya berbagai layanan masyarakat sejak 20 Juni 2024 merupakan akibat adanya serangan siber akibat ransomware bernama Braincipher.
"Ransomware ini adalah pengembangan terbaru dari ransomware lockbit 3.0. Jadi, memang ransomware ini dikembangkan terus. Jadi, ini yang terbaru dari yang kami lihat dari sampel setelah dilakukan forensik dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)," kata Kepala BSSN Letjen TNI Hinsa Siburian di Jakarta pada 24 Juni 2024.
Hinsa menjelaskan bahwa pemerintah, melalui koordinasi lintas lembaga antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), BSSN, Cyber Crime Polri, dan Telkom Sigma terus menelusuri serangan siber tersebut.
Berikut link berita Antaranews, https://www.antaranews.com/berita/4167837/ketua-ombudsman-peretas-pdns-2-harusnya-ditangkap
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini