
PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang sebagai mahakarya pemerintahan baru. Anggarannya fantastis.
Pada APBN 2025, pemerintah sudah menggelontorkan Rp 71 triliun ditambah Rp 28 triliun hingga akhir tahun, total Rp 99 triliun.
Tahun berikutnya, APBN 2026 melompat drastis menjadi Rp 335 triliun. Lonjakan lebih dari 200 persen hanya dalam setahun ini menjadikan MBG salah satu pos belanja terbesar sepanjang sejarah republik. Publik tentu berharap dana jumbo itu menjadi investasi terbaik bagi masa depan bangsa.
Janji yang dibawa MBG juga mulia. Program ini diklaim bukan sekadar soal makan siang, melainkan strategi besar untuk memperbaiki gizi, menurunkan stunting, dan menyiapkan generasi unggul.
“Investasi terbesar bukanlah pada infrastruktur, melainkan pada manusia,” begitu slogan yang berulang kali terdengar.
Namun, kenyataan di lapangan justru menampar. Kasus keracunan MBG merebak di sejumlah daerah. Anak-anak yang seharusnya pulang dengan perut kenyang justru dilarikan ke puskesmas.
Baca juga: Keracunan MBG: Satu Korban Terlalu Banyak!
Piring yang mestinya berisi harapan berubah jadi piring beracun. Alih-alih simbol penyelamat generasi, MBG malah jadi berita utama karena tragedi.
Pertanyaan besar pun muncul: ke mana Menteri Kesehatan Budi Sadikin?
Minimnya peran Menkes memperlihatkan problem serius dalam tata kelola kelembagaan. Urusan gizi kini ditempatkan di Badan Gizi Nasional (BGN), lembaga baru yang dibentuk lewat Perpres 83 Tahun 2024.
BGN ditempatkan langsung di bawah Presiden dengan mandat melaksanakan pemenuhan gizi nasional. Di atas kertas, langkah ini seolah menjawab kelemahan koordinasi gizi yang sebelumnya tercecer di berbagai kementerian.
Namun, publik cepat menangkap kejanggalan. Mayoritas pimpinan BGN, dari kepala hingga pejabat eselon I dan II, bukanlah ahli gizi atau kesehatan masyarakat, melainkan berlatar belakang militer atau birokrat pangan umum.
Padahal, mandat utamanya adalah urusan gizi yang sangat teknis: dari perbaikan pola konsumsi, standar menu, hingga pemantauan status gizi.
Bagaimana mungkin isu serumit ini dijalankan oleh mereka yang tidak punya basis keilmuan di bidangnya?
Dasar hukumnya jelas. UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur secara rinci soal gizi.
Pasal 64 ayat (1) menegaskan bahwa “Upaya pemenuhan gizi ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.”