Begitu melangkah dari trotoar Kyoto yang panas pada 30 Juni, cobalah masuk ke sebuah toko wagashi tua di kota lama, kamu akan langsung disambut etalase kaca yang tampak dingin seperti kulkas.
Di dalamnya tersusun potongan putih berbentuk segitiga, masing-masing dihiasi kacang merah azuki yang mengilap seperti gugusan bintang.
Inilah minazuki, kue dari tepung beras kukus yang bentuknya seperti tumpukan salju kecil.
Bentuk segitiganya terinspirasi dari balok es yang dulu dipersembahkan oleh para bangsawan era Heian kepada dewa, sebagai permohonan agar panas musim berikutnya bisa teratasi.
Dari luar toko, bunyi lonceng kuil menggema.
Warga lokal yang mengenakan pakaian linen terlihat mengantre rapi untuk mengikuti ritual penyucian Nagoshi-no-Harae.
Mereka akan melintasi lingkaran besar dari alang-alang, lalu pulang untuk menyantap minazuki bersama keluarga.
Siluet segitiga kue ini bukan hanya menyerupai es, tetapi juga mengingatkan pada gudang es beratap jerami (himuro) yang dulu dipakai menyimpan salju musim dingin.
Bentuk dan musimnya bermain sebagai semacam permainan visual karena minazuki berarti “bulan tanpa air”, padahal hadir saat puncak musim hujan di Jepang.