Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

kolom

Pertarungan Satelit di Orbit Rendah

Kompas.com - 08/05/2025, 13:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MAKIN hari, angkasa luar kita makin penuh oleh satelit, terutama sejak dekade 2020-an, ketika nafsu manusia menguasai teknologi telekomunikasi makin bergairah.

Catatan menyebutkan, hingga tahun 2022, sepanjang sejarah satelit komunikasi, sebanyak 14.450 satelit diluncurkan, sebanyak 6.680 di antaranya masih aktif.

Mayoritas satelit tersisa tadi berada di orbit GEO (geostationer earth orbit) yang ditempatkan di posisi setinggi sekitar 36.500 Km di atas Bumi.

Namun, tren satelit komunikasi saat ini adalah satelit LEO (low earth orbit) yang ditempatkan di ketinggian antara 500 Km hingga 2.000 Km di atas Bumi.

Satelit GEO, seperti satelit FSS (fixed satellite service) atau HTS (high throughput satellite) Satria-1 milik Kemkomdigi (Kementerian Komunikasi Digital), atau milik PSN (Pasifik Satelit Nusantara) adalah satelit raksasa, beratnya sekitar 5 ton.

Usia operasionalnya sekitar 15 tahun hingga 20 tahun tergantung “kebinalannya”. Semakin dia sering melenceng dari orbit, makin pendek usianya, karena bahan bakar cepat habis akibat banyak digunakan untuk menggerakkan satelit kembali ke orbit.

Satelit LEO seperti Starlink milik Elon Musk atau satelit milik Amazon dari Proyek Kuiper, juga satelit milik OneWebb, Eutelsat atau milik China, yang sudah berjumlah puluhan ribu yang mengorbit di angkasa, adalah satelit “mungil”. Beratnya bisa hanya 1 kilogram, hingga Starlink yang 227-260 kiloan.

Baca juga: Mengapa Jumlah Pesawat Indonesia Terus Berkurang?

Satelit LEO membuat nafsu pemilik modal menggelontorkan dana untuk menguasai layanan internet selebar hamparan Bumi, yang cakupannya seluas permukaan, bahkan mencapai tengah samudera dan hutan belantara.

Saat ini layanan internet umumnya sebatas cakupan BTS (base transceiver station) yang umum radiusnya maksimal lima kilometer.

Elon Musk siap menggelontorkan dana hingga 10 miliar dollas AS, sekitar Rp 165 triliun untuk meluncurkan sekitar 42.000 satelit LEO dengan roket SpaceX Falcon9 miliknya sendiri, hingga 2027.

Sekali seminggu meluncur dari Florida Falcon mampu membawa 60 satelit. Sementara beberapa pesaingnya baru bisa meluncurkan masing-masing di bawah 2.000 satelit.

Roket bolak-balik

Starlink unggul karena satelitnya bikinan sendiri, diluncurkan roket sendiri di lahan mereka sendiri. Bahkan roket yang usai melepaskan satelit di ruang angkasa balik lagi sendiri ke tempat peluncuran, mengangkasa lagi bawa satelit, balik, dan seterusnya.

Namun pada 16 Februari 2021, roket Falcon9 gagal mendarat di kapal drone-nya dan jatuh ke laut. Sementara roket milik perusahaan peluncuran roket umumnya jatuh ke Bumi sebagai sampah.

Musk memperkirakan pendapatan dari layanan internet satelitnya, selain dari kontrak militer, akan mencapai 11,8 miliar dollar AS pada akhir 2025 ini.

Sementara sepanjang tahun 2024, ia meraup pendapatan tidak kurang dari 6,6 miliar dollar AS, jumlah yang belum teraih semua pesaingnya, bahkan pun jika disatukan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau