KOMPAS.com - Penggunaan gas air mata kembali menjadi sorotan setelah aparat kepolisian menembakkannya dalam sejumlah demonstrasi besar di Indonesia.
Asap putih yang mengepul di jalanan kerap membuat peserta aksi berhamburan, mengalami sesak napas, hingga membutuhkan bantuan medis.
Lantas, seberapa berbahayakah gas air mata bagi kesehatan manusia, dan bagaimana cara mengatasinya bila terkena paparan?
Baca juga: Sejarah Gas Air Mata, Senjata Perang Dunia yang Kini Jadi Alat Pengendali Demo
Menurut Shoim Hidayat, pakar toksikologi Universitas Airlangga (Unair), gas air mata dibuat dari berbagai senyawa kimia dengan sifat dasar iritan kuat.
Beberapa di antaranya adalah:
Dari senyawa tersebut, jenis CS adalah yang paling banyak digunakan dan diproduksi di Indonesia.
Shoim menjelaskan, gas air mata bekerja dengan mengiritasi selaput lendir (mukosa) tubuh manusia. Bagian yang paling terdampak biasanya adalah:
Menurut Shoim, bahaya gas air mata sangat ditentukan oleh kadar konsentrasi dan lama paparan.
"Kalau kadarnya itu rendah dan sebentar, efeknya akan terasa sekitar 20 detik dan hilang sekitar 30 menit sampai 1 jam. Tapi kalau parah, itu akan terjadi komplikasi dan itulah yang akan mengakibatkan kematian," jelas Shoim, dikutip dari situs resmi Unair, Senin (1/9/2025).
Gas air mata dapat menimbulkan radang ringan hingga berat.
Pada mata, radang berat bisa menyebabkan kerusakan kornea hingga kebutaan.
Pada saluran pernapasan, pembengkakan parah dapat mengakibatkan penyempitan jalan napas.
Dalam kondisi serius, hal ini memicu sindrom pernapasan akut yang berpotensi fatal.
Shoim menegaskan, gas air mata tidak secara langsung menyebabkan kematian, tetapi efek iritasi dan komplikasi yang ditimbulkan bisa berakibat fatal, terutama di ruang tertutup dengan oksigen terbatas.
Meski berbahaya, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi efek paparan gas air mata: