Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kuntoro Boga
Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementan

Praktisi, Peneliti dan Pengamat Pertanian

Transformasi Perkebunan yang Inkusif

Kompas.com - 01/09/2025, 16:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERKEBUNAN Indonesia adalah cermin kekuatan dan ketahanan bangsa dalam mengelola kekayaan alamnya.

Sawit, karet, kopi, kakao, dan teh bukan hanya komoditas ekspor, tetapi juga sumber kesejahteraan jutaan keluarga petani.

Kelapa sawit, sebagai primadona, terus menunjukkan peran strategisnya. Pada 2024, produksi minyak sawit mentah (CPO) mencapai 48,16 juta ton, ditambah minyak inti sawit (PKO) 4,60 juta ton, sehingga total produksi mencapai 52,76 juta ton.

Meski ada penurunan sekitar 3,8 persen dibanding 2023, konsumsi domestik justru melonjak ke 23,86 juta ton, didorong peningkatan pemanfaatan biodiesel yang mencapai 11,45 juta ton, atau naik 7,5 persen dari tahun sebelumnya.

Tren ini menegaskan bahwa perkebunan tidak hanya menjadi tulang punggung ekspor, tetapi juga penggerak ekonomi hijau di dalam negeri.

Dinamika ini membuka peluang besar menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Proyeksi 2025 menunjukkan konsumsi domestik terus menguat, mencapai 26,1 juta ton, termasuk 13,6 juta ton untuk mendukung implementasi biodiesel B40.

Baca juga: Saatnya Perkebunan Naik Kelas: Ekspor Olahan, Bukan Sekadar Mentah

Meski ekspor turun dari 32,22 juta ton pada 2023 menjadi 29,54 juta ton di 2024, dan diperkirakan sekitar 27,5 juta ton pada 2025, tren ini menegaskan perubahan arah industri.

Pasar domestik kini menjadi jangkar utama pertumbuhan sektor sawit, mendorong transformasi industri ke arah yang lebih inklusif, berwawasan lingkungan, dan tangguh menghadapi dinamika global.

Adaptasi sektor perkebunan

Produksi sawit Indonesia pada 2025/2026 diperkirakan naik 3 persen menjadi 47 juta ton, seiring kondisi cuaca yang lebih normal dan turunnya harga pupuk global hingga 59 persen sejak 2022.

Konsumsi domestik diproyeksikan berada pada angka 22,6 juta ton, dengan 14,9 juta ton terserap untuk industri biodiesel dan oleokimia.

Ekspor diperkirakan stabil di kisaran 24 juta ton, sementara stok akhir naik 8 persen menjadi 5,3 juta ton.

Gambaran ini memperlihatkan keseimbangan baru antara konsumsi domestik yang kian meningkat, ekspor relatif stagnan, dan stok yang harus dikelola agar tidak menimbulkan gejolak harga.

Namun, di balik proyeksi ini, masalah mendasar muncul. Banyak petani berusia lanjut tidak memiliki penerus, sementara anak-anak mereka enggan melanjutkan usaha sawit.

Kondisi ini menimbulkan ancaman stagnasi. Jika replanting tidak dipercepat, produksi sawit Indonesia pada 2045 bisa merosot hingga 44 juta ton.

Sebaliknya, bila program ini berhasil, produksi berpeluang melonjak sampai 83 juta ton. Perbedaan yang sangat besar ini menunjukkan betapa krusialnya replanting dalam menentukan arah masa depan.

Baca juga: Menembus Pasar Premium Organik

Kebijakan B40 yang mulai berlaku pada 2025, membawa konsekuensi ganda. Di satu sisi, kebijakan ini mendukung agenda energi hijau nasional. Di sisi lain, kebutuhan sawit untuk biodiesel menyedot pasokan yang sebelumnya ditujukan ke pasar global.

Reuters memprediksi harga CPO Malaysia akan naik sekitar 5,4 persen menjadi RM 4.350 per ton karena pasokan dunia menyusut. Kondisi ini menguji ketahanan dan strategi sektor perkebunan kita.

Harmonisasi ekonomi, ekologi dan sosial

Di tengah situasi dan dinamika yang terjadi, jalan ke depan harus dibangun di atas harmonisasi antara kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial.

Pada dimensi ekonomi, peremajaan dan modernisasi perkebunan merupakan kunci. Replanting tidak boleh lagi dianggap pilihan, melainkan keharusan.

Pemerintah harus memperkuat skema insentif bagi petani kecil, memperluas pembiayaan yang terjangkau, dan mendorong model koperasi modern.

Teknologi digital seperti drone untuk pemantauan kebun, precision farming, dan irigasi cerdas perlu diterapkan agar produktivitas meningkat.

Dengan pendekatan ini, generasi muda juga bisa kembali tertarik pada perkebunan, karena sektor ini tidak lagi dipandang sebagai kerja tradisional yang penuh risiko, melainkan arena inovasi dengan prospek modern.

Dari sisi konsumsi domestik, biodiesel B40 adalah tonggak penting yang akan menuju B50. Namun, pemerintah harus memastikan kapasitas produksi biodiesel nasional terus ditingkatkan agar lonjakan konsumsi tidak melupakan ekspor.

Diversifikasi produk juga harus dipacu. Sawit sebaiknya tidak hanya digunakan untuk produk pangan dan energi saja, melainkan juga untuk berbagai produk bernilai tambah tinggi, mulai dari oleokimia, kosmetik, farmasi, hingga pangan sehat. Diversifikasi ini sekaligus memperkuat daya saing global.

Baca juga: Liberika dan Excelsa: Jejak Eksotisme Kopi Nusantara

Pada dimensi lingkungan, era transisi hijau menuntut komitmen kuat. Sawit Indonesia sering menjadi sorotan karena tuduhan deforestasi.

Untuk menjawabnya, regulasi larangan alih fungsi hutan dan gambut harus ditegakkan tanpa kompromi.

Pengembangan agroforestri dan pertanian regeneratif dapat menjadi solusi yang menyeimbangkan produksi dengan konservasi ekosistem.

Pemanfaatan limbah sawit menjadi energi terbarukan juga harus digalakkan sebagai wujud komitmen terhadap ekonomi sirkular.

Ketertelusuran dan sertifikasi menjadi instrumen vital untuk menembus pasar global yang semakin ketat, terutama dengan hadirnya regulasi European Union Deforestation Regulation (EUDR).

Sertifikasi ISPO tidak boleh berhenti sebagai formalitas administratif. Implementasi yang nyata dengan sistem ketertelusuran berbasis digital, bahkan dengan teknologi blockchain yang akan menjadi jaminan integritas produk sawit Indonesia di mata dunia.

Dimensi sosial juga tak kalah penting. Sekitar 40 persen kebun sawit di Indonesia dikelola oleh petani kecil. Mereka seringkali menghadapi keterbatasan modal, teknologi, dan akses pasar. Inklusi sosial perlu dijadikan prioritas, bukan pelengkap.

Petani kecil harus mendapat dukungan finansial, pelatihan, dan kemitraan yang adil dengan perusahaan besar.

Perlindungan bagi buruh perkebunan pun perlu ditingkatkan. Kontrak kerja yang jelas, upah layak, serta jaminan keselamatan kerja harus menjadi standar yang ditegakkan.

Poros transisi ekonomi hijau

Seluruh agenda di atas tentu tidak bisa dijalankan oleh pemerintah sendiri. Kolaborasi dengan sektor swasta mutlak diperlukan.

Pemerintah berperan menyiapkan regulasi yang ketat dan adil, sementara swasta perlu meningkatkan investasi pada praktik baik, mulai dari penerapan teknologi perkebunan pintar hingga pengembangan energi terbarukan berbasis limbah.

Hanya dengan kolaborasi erat, sektor perkebunan Indonesia bisa benar-benar bertransformasi menjadi motor hijau yang inklusif.

Perkebunan tidak lagi hanya soal devisa. Ia kini menjadi poros penting transisi energi dan pembangunan berkelanjutan.

Jalan yang ditempuh harus mampu mengintegrasikan produktivitas ekonomi, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial.

Dengan kebijakan tepat, inovasi konsisten, serta keberanian untuk menempatkan manusia dan alam sebagai pusat pembangunan, sektor perkebunan Indonesia bisa menjadi model dunia, yaitu produktif, ramah lingkungan, dan inklusif.

Masa depan perkebunan Indonesia adalah masa depan bangsa itu sendiri. Di sinilah kita menentukan, apakah perkebunan tetap menjadi warisan yang mampu menghidupi generasi berikutnya, atau justru menjadi beban akibat kegagalan beradaptasi dengan zaman.

Era transisi hijau memberi kita kesempatan emas untuk memilih jalan yang benar. Dengan komitmen kolektif, kita bisa memastikan perkebunan Indonesia tumbuh sebagai motor ekonomi hijau bagi pembangunan, penjaga lingkungan, dan penopang kesejahteraan masyarakat.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Transformasi Perkebunan yang Inkusif
Transformasi Perkebunan yang Inkusif
Varietas Tanaman
Mungkinkah Indonesia Jadi Pusat Kopi Global?
Mungkinkah Indonesia Jadi Pusat Kopi Global?
Varietas Tanaman
Bisnis Domestik dan Ekspor Kacang Mete
Bisnis Domestik dan Ekspor Kacang Mete
Varietas Tanaman
Liberika dan Excelsa: Jejak Eksotisme Kopi Nusantara
Liberika dan Excelsa: Jejak Eksotisme Kopi Nusantara
Varietas Tanaman
Mengelola Dinamika Pasar dan Industri Kelapa Bulat
Mengelola Dinamika Pasar dan Industri Kelapa Bulat
Varietas Tanaman
Masa Depan Industri Tembakau Indonesia
Masa Depan Industri Tembakau Indonesia
Varietas Tanaman
Menggali Potensi Devisa dari Ekspor Lada Indonesia
Menggali Potensi Devisa dari Ekspor Lada Indonesia
Varietas Tanaman
Potensi Kelapa Genjah dan Pemenuhan Santan
Potensi Kelapa Genjah dan Pemenuhan Santan
Varietas Tanaman
Revitalisasi Kebun Teh
Revitalisasi Kebun Teh
Tips
Kelapa: Komoditas Strategis, Nasib Petani, dan Arah Kebijakan
Kelapa: Komoditas Strategis, Nasib Petani, dan Arah Kebijakan
Varietas Tanaman
Menguatkan Posisi Teh Indonesia di Pasar Global
Menguatkan Posisi Teh Indonesia di Pasar Global
Varietas Tanaman
Kebangkitan Petani dan Semangat Nasionalisme Baru
Kebangkitan Petani dan Semangat Nasionalisme Baru
Tips
Dari Kebun ke Pasar Dunia: Kelapa Indonesia di Tengah Gelombang Harga
Dari Kebun ke Pasar Dunia: Kelapa Indonesia di Tengah Gelombang Harga
Varietas Tanaman
Membawa Gambir ke Pasar Global
Membawa Gambir ke Pasar Global
Varietas Tanaman
Randu: Serat Emas Putih yang Terlupakan
Randu: Serat Emas Putih yang Terlupakan
Varietas Tanaman
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau