Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir Informasi di Era Digital, Jurnalis Diingatkan untuk Tetap Patuhi Kode Etik

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Unsplash/Jakob Owens
ilustrasi profil Instagram, ilustrasi media sosial. Menjaga Etika di Tengah Banjir Informasi Digital, Pakar Tegaskan Jurnalis Tetap Harus Patuhi Kode Etik.
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - Media sosial memiliki pengaruh dalam membentuk opini publik. Kemudahan akses internet di era saat ini membuat informasi dapat menyebar sangat cepat.

Hal ini mendorong banyak orang berlomba-lomba membagikan berbagai konten melalui platform media sosial (medsos).

Di tengah derasnya arus informasi, praktik jurnalistik tetap menuntut adanya penerapan etika.

Salah satunya, kewajiban untuk melakukan penyensoran ketika menayangkan foto maupun video yang mengandung unsur kekerasan, peristiwa memalukan, atau konten sensitif lainnya.

Namun, pada kenyataannya, konten semacam itu sering kali sudah lebih dulu beredar luas dan ditonton banyak pengguna media sosial.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Kisah 5 Jurnalis yang Tewas akibat Serangan Israel ke Nasser Hospital di Gaza

Mantan Jurnalis RCTI, Jamalul Insan menegaskan, seorang wartawan tetap harus berpegang pada kode etik. 

Menurutnya, kewajiban etik tidak hilang meskipun informasi atau visual yang dianggap tidak layak sudah tersebar di media sosial.

"Meskipun visualnya orang-orang sudah pada tau, di medsos juga sudah banyak, maka tidak gugur kewajiban etik kita. Artinya kita tetap harus menjaga itu," ujarnya, saat menjadi mentor dalam salah satu sesi Journalism Fellowship on Corporate Social Responsibility (CSR) 2025 Batch 2, Kamis (4/9/2025).

Baca juga: Polisi Amankan Ribuan Anak Saat Demo, KPAI Ingatkan Bahaya Medsos


Kode etik, pembeda jurnalis dengan media sosial

Lebih lanjut, Jamal mengungkapkan, jurnalis perlu kreatif dalam menyajikan konten tanpa melanggar etika.

"Kalau semisal visual itu dirasa tidak perlu-perlu banget, misal kebanyakan blur jadi jelek, udah diganti aja. Kalau perlu dibikin animasi saja, itu bisa lebih menarik," kata Jamal.

Ia juga menekankan, kode etik merupakan pembeda antara jurnalis dengan pengguna media sosial.

Baca juga: Peran Jurnalis dalam Pemberitaan CSR yang Berdampak

Menurutnya, masyarakat saat ini hidup di era ketika siapa pun bisa merasa sebagai reporter sekaligus produsen konten.

Artinya, segala sesuatu yang dilihat dapat langsung dilaporkan melalui media sosial yang kini semakin sering digunakan.

"Di medsos sudah ada kok, ngapain kita pakai blur. Di situlah kita menjadi pembeda, bahwa kita memang beda. Kita itu profesi yang punya etik yang harus dijaga. Enggak ada pilihan lain, ketika itu tidak kita lakukan, maka kita enggak ada bedanya dengan uploder-uploder lain," ujarnya.

"Kalau kita mau jadi pembeda, ya bedanya di situ, bahwa kita memegang kewajiban etik," tambahnya.

Baca juga: Pemberitaan Ramah Anak, Apa Saja Batasan yang Harus Dijaga?

Batasan jurnalis dalam pemberitaan ramah anak

Selain itu, Jamal juga menekankan pentingnya menghindari penayangan wajah anak secara detail, terutama jika anak sedang terluka atau terlibat dalam peristiwa yang memalukan.

Menurutnya, hal ini bukan sekadar persoalan norma, tetapi juga upaya melindungi anak dari bahaya dunia digital yang tidak memiliki batasan.

Jika tidak memungkinkan menggunakan foto anak, bisa dengan gambar atau ilustrasi yang relevan.

Sementara itu, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Fajar Junaedi menegaskan, dalam proses peliputan, jurnalis harus tetap mengikuti kaidah etika.

Baca juga: Kisah Jurnalis Disway Tersiram Air Keras Saat Meliput Aksi Demo 29 Agustus 2025

Pertama, menjaga identitas anak yang dapat dilakukan dengan teknik penyamaran, seperti blur, siluet, atau pengambilan gambar dari belakang, agar wajah tidak terlihat jelas dalam foto maupun video.

"Wartawan juga sebaiknya tidak menyertakan informasi yang dapat mengidentifikasi anak, misalnya nama lengkap, alamat rumah, atau data pribadi lainnya," kata Fajar kepada Kompas.com, Kamis (4/9/2025).

Kedua, mengedepankan moralitas dalam peliputan, sebagaimana yang diamanatkan dalam kode etik jurnalistik.

Prinsip ini dapat diterapkan dengan menghindari penggunaan bahasa yang menyudutkan, menghakimi, atau stigmatisasi anak.

"Alih-alih menstigma anak, pemberitaan sebaiknya lebih berfokus pada kondisi kerusuhan, dampak yang ditimbulkan, serta konteks peristiwa yang terjadi," jelasnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi