KOMPAS.com - Anak-anak di bawah umur terlibat dalam aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan di beberapa wilayah Indonesia beberapa waktu terakhir.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Dwi Subagio mengatakan, sebanyak 1.747 pelaku kerusuhan dalam demonstrasi di Jawa Tengah sepanjang 29 Agustus-1 September 2025 telah ditangkap.
Dari jumlah tersebut, 687 orang merupakan pelaku dewasa, sedangkan 1.058 lainnya adalah anak di bawah umur.
Di Kalimantan Barat, aparat gabungan juga mengamankan 12 remaja di bawah umur. Mereka membawa senjata tajam, bom molotov, dan satu kantong berisi bahan bakar minyak (BBM) saat hendak menyusup ke dalam aksi demonstrasi mahasiswa di Gedung DPRD.
Lantas, bagaimana KPAI melihat fenomena tersebut?
Baca juga: Pemberitaan Ramah Anak, Apa Saja Batasan yang Harus Dijaga?
Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra mengatakan, anak-anak saat ini menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap banjir informasi, terutama isu-isu politik yang berulang dan viral di media sosial (medsos).
"Anak-anak juga merupakan pengguna terbesar informasi digital, sehingga mereka mudah terpapar konten yang memengaruhi emosi, pemahaman, dan perilaku mereka," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (4/9/2025).
Menurut Jasra, medsos sering menjadi sarana ajakan langsung kepada anak-anak untuk ikut dalam aksi demonstrasi. Fenomena ini terlihat meningkat sejak 2014.
"Bahwa tren anak-anak dalam pusaran massa demonstrasi terus naik, bila kita perhatikan sejak 2014, 2019, dan sekarang 2025 meningkat drastis," kata dia.
Ia juga mengatakan, banyak anak-anak yang terjebak dalam pusaran massa, sebagian karena dorongan fear of missing out (FOMO) akibat tekanan industri konten viral.
"Banyak anak-anak yang situasinya sebenarnya lebih didominasi karena motivasi dari FOMO akibat tekanan industri viral. Mulai dari sekadar datang ke keramaian, foto-foto, meng-upload situasi demo," jelas Jasra.
"Namun siapa sangka, akibat kondisi, situasi, dan paparan kekerasan yang terjadi, mereka akhirnya terpaksa mengikuti alur massa, terus-menerus terpapar bahasa kemarahan dan kekerasan, yang kita tahu kemarahan dan kekerasan itu sifatnya menular," sambungnya.
Baca juga: Bagaimana Cara Menjelaskan Aksi Demo kepada Anak?
Lebih lanjut, Jasra menyampaikan paparan berulang terhadap kekerasan dan kemarahan di tengah massa dapat berdampak negatif bagi perkembangan psikologis dan emosional anak.
Remaja berada pada usia kritis dalam pemikiran dan emosi mereka, sehingga ia menilai, pengalaman ikut demo secara langsung sangat berisiko bagi keselamatan, psikologis, dan hak anak.
"Bagaimana kalau dialami berulang-ulang pada anak, yang notabene psikologis, fisik, pemahaman, emosinya mudah dikuasai orang lain dengan menfigur (mencari aman dengan orang di sekitarnya)," ucap Jasra.