
KEPUTUSAN Komite Olimpiade Internasional (IOC) menjatuhkan sanksi kepada Indonesia pada 22 Oktober 2025, adalah pukulan telak bagi dunia olahraga nasional.
Sebagai konsekuensi dari sanksi tersebut, IOC meminta seluruh federasi olahraga internasional tidak menggelar ajang olahraga di Tanah Air, termasuk berbagai event intenasional di bawah IOC, setelah Jakarta menolak visa bagi atlet Israel yang hendak berlaga di Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025.
Alasan politik luar negeri Indonesia—yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan invasi negara itu terhadap rakyat Palestina—oleh IOC dinilai bertabrakan langsung dengan prinsip universalitas olahraga: bahwa olahraga tidak boleh dikaitkan dengan politik, ras, atau agama.
Alasan IOC itu sebenarnya terbantahkan dan menjadi standar ganda bila melihat bagaimana mereka memboikot atlet Rusia di berbagai event olahraga internasional karena adanya invasi besar-besaran militer Rusia terhadap Ukraina.
Sementara atlet Israel dibiarkan IOC bebas untuk bertanding atau mengikuti berbagai event, meskipun militer Israel jelas telah melakukan genosida di Gaza, Palestina.
Kendati demikian, sanksi IOC ini mengingatkan publik terutama di Tanah Air, pada sejarah lama yang berujung pada lahirnya GANEFO (Games of the New Emerging Forces). Satu antitesa multi event olahraga internasional yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno tahun 1963.
Kala itu, Indonesia juga bersitegang dengan IOC setelah menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan dalam Asian Games 1962 di Jakarta.
Baca juga: 4 Keputusan IOC Usai Indonesia Tolak Atlet Israel
GANEFO lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni olahraga Barat, menjadi semacam pesta olahraga alternatif bagi negara-negara berkembang.
Saat itu, menghadapi situasi —yang mungkin tak jauh berbeda dengan saat ini—Soekarno dengan lantang menegaskan pada dunia bahwa olahraga tidak boleh buta terhadap keadilan politik dunia—“sport yes, but not sport alone.”
Meski akhirnya Indonesia diboikot IOC dan GANEFO hanya bertahan satu kali penyelenggaraan, perhelatannya meninggalkan jejak penting, bahwa olahraga bisa menjadi alat diplomasi ideologis, menunjukkan identitas bangsa dan keberpihakan terhadap kemanusiaan
Kini, enam dekade kemudian, bayang-bayang GANEFO kembali muncul. Apakah Indonesia akan mengulang sejarah melawan sistem yang dianggap tidak adil itu dengan menggalang solidaritas dunia atau memilih berdialog dalam tatanan global yang memang berubah?
Apalagi bila ditilik lebih jauh, GANEFO pun tak serta merta digagas, tapi memang sejalan dengan semangat Konferensi Asia Afrika (KAA)—lahirnya solidaritas bangsa-bangsa non blok yang juga digagas Soekarno.
Itu artinya, jika dahulu Bandung 1955 menjadi simbol kemandirian politik, mungkinkah kini Indonesia, di bawah komando Presiden Prabowo, memelopori semacam “Bandung Spirit” di ranah olahraga internasional, sehingga lebih berdaulat dan beretika?
Waktu dan sejarah yang akan menjawab. Sesuatu yang pasti Indonesia telah menunjukan pada dunia konsistensi dan keberpihakannya pada kemanusiaan dan keadilan global.
Terlepas dari sanksi IOC, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah kita akan tunduk sepenuhnya pada tekanan global, atau justru menemukan momentum untuk mereformasi wajah olahraga Indonesia yang selama ini terbelah, tumpang tindih, dan kehilangan arah?
Menjawab pertanyaan ini, sorotan pertama wajar dialamatkan pada keberadaan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), lembaga tua yang sejak 1946 berdiri sebagai payung besar olahraga nasional, tetapi makin hari semakin kehilangan relevansinya.
KONI memang lahir dengan semangat baik: mengonsolidasikan organisasi olahraga di seluruh Indonesia, membina atlet di tingkat nasional, dan menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON) sebagai ajang pemersatu bangsa. Itu konteks sejarahnya.
Namun, seiring perkembangan sistem olahraga dunia, apalagi sejak dibentuknya Komite Olimpiade Indonesia (KOI) atau National Olympic Committee (NOC) yang diakui IOC pada 1952, urusan internasional—termasuk Olimpiade, Asian Games, dan hubungan dengan federasi olahraga dunia—menjadi wewenang KOI.